Perdebatan konsep pengelolaan sungai selalu muncul setiap kali banjir melumpuhkan Jakarta. Silang kata itu semakin tajam akibat polarisasi politik. Padahal masalah tata kelola air di Ibu Kota bukan sekadar perbedaan normalisasi dan naturalisasi yang menjadi obyek perdebatan.
Perdebatan itu kembali mengemuka segera setelah bah mengepung sejumlah wilayah di Jakarta pada Sabtu, 20 Februari lalu. Banjir ini setidaknya menewaskan lima orang dan memaksa ribuan orang mengungsi. Hujan deras berjam-jam dan drainase yang buruk disebutkan sebagai penyebab.
Silang kata normalisasi dan naturalisasi berpusat pada perbedaan kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan. Pada periode 2014-2017, Basuki menjalankan konsep normalisasi: membangun beton di sepanjang 13 sungai. Tujuannya untuk melancarkan aliran air agar cepat sampai ke laut. Ketika memenangi pemilihan gubernur pada 2017, Anies mengubahnya menjadi naturalisasi: memperbaiki ekosistem sungai demi memperlambat air sampai ke laut.
Kenyataannya, baik normalisasi maupun naturalisasi sebenarnya tak lagi cukup untuk menyelamatkan Jakarta dari sergapan banjir. Perubahan bentangan alam di daerah hulu yang berada di kawasan Bogor membuat air menggelontor ke Jakarta ketika hujan turun. Apalagi perubahan alam juga terjadi di sepanjang aliran sungai, seperti di Depok. Jakarta pun menjadi penampung air raksasa karena posisi kawasan pesisir juga lebih tinggi akibat pemanasan global dan penurunan muka tanah. Idealnya, normalisasi dan naturalisasi sungai dijalankan bersamaan.
Kerusakan kawasan hutan di hulu sungai, yang menjadi persoalan utama, pun mesti diselesaikan. Rasio tutupan hutan di daerah aliran Sungai Ciliwung kini hanya tersisa 8,9 persen. Padahal, Undang-Undang Kehutanan sebenarnya telah mengatur rasio luas tutupan hutan untuk satu daerah aliran sungai minimal 30 persen. Alih-alih dijalankan demi memperbaiki lingkungan, ketentuan itu justru dihapus dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Selain memperbaiki tutupan hutan, usaha mengendalikan banjir mesti dilakukan dengan memperbanyak penampung air. Situ Ciawi di Jawa Barat, yang saat ini sedang dibangun, mungkin akan mengurangi kecepatan air menuju Jakarta. Namun penampung air lain yang sebagian besar tak lagi aktif mesti dihidupkan kembali.
Gubernur Anies Baswedan jelas bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan di wilayahnya. Ia perlu mengembalikan ruang hijau yang terus terkooptasi bangunan fisik. Izin pembangunan properti, seperti di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, yang membuat wilayah itu menjadi “langganan banjir”, mesti ditinjau kembali. Pada 2016, pemerintah Jakarta Selatan mendata 300 bangunan yang melanggar peruntukan dan aturan garis sempadan Kali Krukut yang melintasi Kemang. Namun, hingga kini, pelanggaran itu masih terjadi.
Masalah yang mengakibatkan banjir di Jakarta jelas melampaui batas-batas wilayah administratif. Pemerintah pusatlah yang semestinya memegang kendali agar bisa memadukan kebijakan pemerintah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. Usaha mengatasi banjir mesti dilakukan terus-menerus dan tidak berhenti ketika musim hujan berlalu.