JAKARTA – Kementerian Kesehatan menyatakan kekeliruan di dalam pengetesan Covid-19 dapat menambah penularan Covid-19 di lapangan karena ada orang-orang yang seharusnya dites menjadi tidak dites. Hal itu disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi. “Ini bisa menambah penularan karena tidak tepat testing-nya. (Orang) yang harusnya dites, jadi enggak (di-testing), mereka tetap berada di luar (tidak terdeteksi),” kata Nadia kepada Tempo, kemarin.
Ia menambahkan, kalau hanya berpatokan pada jumlah pengetesan, harus dapat dipastikan tes itu tepat sasaran. Nadia mengatakan pengetesan selama ini ada dua, untuk keperluan diagnostik dan untuk screening seperti bagi pelaku perjalanan. Ia menilai pengetesan yang bersifat screening jumlahnya lebih banyak dibanding untuk kepentingan diagnostik, misalnya mereka yang melakukan tes karena mendapatkan kontak erat dengan kasus positif.
Kejadian ini, kata Nadia, membuat seolah-olah kapasitas testing Indonesia sudah mencapai target yang sesuai dengan kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). “Jadi, kalau positif ditindaklanjuti, cari yang berkontak. Kalau yang berkontak negatif, dipisahkan. Kalau yang screening buat perjalanan, memang negatif orang itu,” ujar dia.
Nadia menuturkan pemerintah akan membetulkan data hasil tes Covid-19. Pemerintah menginginkan data pelaporan dikelompokkan menjadi mana yang untuk keperluan diagnostik dan mana yang untuk keperluan screening perjalanan. Selain itu, Kementerian Kesehatan tengah berupaya memperluas upaya pelacakan kontak.
Suasana swab test dan rapid test COVID-19 massal di halaman Gedung KPU, Jakarta, 4 Agustus 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ihwal antrean untuk pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) di sejumlah fasilitas layanan kesehatan primer, Kementerian Kesehatan dalam waktu dekat segera mengirim rapid test antigen pada Februari-Maret mendatang. Tujuannya agar pemeriksaan dapat dilakukan tanpa harus mengirim spesimen ke lokasi lain, sehingga hasilnya bisa diketahui lebih cepat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menilai Indonesia telah salah menerapkan sistem pemeriksaan (testing) Covid-19. “Testing, tracing, dan treatment (3T) serta isolasi bagaikan menambal ban bocor. Tapi kita kan tidak berdisiplin. Cara testing-nya, kita salah,” kata dia seperti dikutip dari kanal YouTube Pikiran Rakyat Media Network Suara Cimahi (PRMN SuCi) pada 22 Januari lalu.
Budi menyayangkan selama ini tes dilakukan bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan atau keperluan lainnya. Ia pun mencontohkan dirinya yang rutin menjalani tes usap ketika akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo. “Testing-nya banyak, tapi kok naik terus? Habis (yang) dites orang kayak saya. Setiap kali mau ke Presiden dites. Tadi malam barusan saya di-swab. Seminggu saya bisa lima kali di-swab kalau masuk Istana. Apakah benar (testing) seperti itu,” ucap Budi.
Menurut Budi, mereka yang seharusnya dites adalah suspect Covid-19 atau orang yang memiliki gejala. Mantan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara itu mendapat informasi tersebut setelah berbincang dengan sejumlah epidemiolog.
Tes cepat Antigen di bandara Adi Soemarmo, Solo, Jawa Tengah, 21 Januari 2021. Tempo/Bram Selo
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan testing Covid-19 di Indonesia selama ini bukan hanya salah sasaran, tapi juga kurang sasaran. Kekurangan ini, kata dia, lantaran kapasitas pengetesan belum sesuai dengan jumlah penduduknya dan eskalasi pandeminya.
Dicky mencontohkan, sampai hari ini masih ada kesan pemeriksaan spesimen dihitung, padahal satu orang bisa memeriksakan dirinya sebanyak 2-3 kali. Ia merasa hal itu memang perlu, misalnya untuk kepentingan presiden mau pergi kunjungan ke sejumlah tempat dan itu memang harus dilakukan untuk keamanannya. Namun Dicky meminta hal seperti itu tak dimasukkan ke cakupan pengetesan.
Ia menjelaskan, cakupan testing untuk pendeteksian hanya dihitung di dalam data testing yang pertama kali dilakukan oleh seorang individu. Jika individu melakukan tes yang kedua dan ketiga, sebaiknya tes berikutnya tidak dihitung. “Kalau orang itu sudah dites, jangan dihitung dua kali. Yang pertama saja, kecuali kalau dia positif. Kalau dia positif, tes dia yang negatif jangan dihitung. Ini harus diluruskan,” kata Dicky kepada Tempo, kemarin.
Dicky menyatakan kekeliruan testing ini sangat berbahaya lantaran dapat menyebabkan kesalahan dalam merumuskan strategi penanganan Covid-19. Belum lagi, kata dia, jika tes yang dilakukan mutunya tidak terjamin, akan berpengaruh terhadap potensi penularan.
Bagi Dicky, esensi pengetesan adalah mendeteksi kasus secara dini demi mencegah penularan lebih lanjut dan melacak kasus positif. “Intinya adalah kasus testing ini harus juga tertata, ada manajemennya. Siapa yang melakukan, tempatnya, dan sistem pelaporannya,” kata Dicky.
Epidemiolog dari Universitas Padjadjaran, Panji Fortuna Hadisoemarto, mengatakan apa yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan merupakan ilustrasi tidak meratanya pengetesan. Artinya, hanya sekelompok orang yang sering dapat pengetesan, misalnya pejabat. “Jadi, kalau saya ingin mengelaborasi strategi testing-nya, memang harus diperbaiki lebih banyak tes, dan tidak terbatas pada mereka yang suspek, terutama mereka yang menjalin kontak dengan yang positif,” tutur Panji.
ANDITA RAHMA | KHORY ALFARIZI | DIKO OKTARA