JAKARTA – Bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah di Indonesia dalam sebulan terakhir diduga kuat karena adanya deforestasi alias penggundulan hutan secara masif di daerah tersebut. Sesuai dengan kajian Yayasan Auriga Nusantara, lembaga nonpemerintah di bidang lingkungan, terjadi penggundulan hutan seluas 879.783 hektare di sejumlah daerah di 14 provinsi yang mengalami banjir ataupun tanah longsor.
Analis Spasial Data Auriga Nusantara, Yustinus Seno, mengatakan organisasinya menemukan ada kehilangan tutupan hutan di 40 kabupaten pada 14 provinsi yang dilanda banjir tersebut. Deforestasi terparah terjadi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Angkanya mencapai 320.319 hektare atau sekitar 23 persen dari total luas hutan di daerah ini yang mencapai 1,4 juta hektare.
Kawasan hutan tersebut berubah fungsi menjadi pertambangan dan perkebunan sawit. Sebagian hutan itu berubah fungsi karena perusahaan tambang mendapat izin pinjam-pakai kawasan hutan serta pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Sebagian lagi diduga karena kegiatan perambahan hutan secara ilegal. "Wilayah itu merupakan pusat korporasi besar, seperti perusahaan tambang dan perkebunan sawit," kata Yustinus, kemarin.
Yustinus mengatakan lembaganya mendata proses deforestasi di Ketapang sejak 2000. Setiap tahun daerah ini mengalami deforestasi 2.000-32 ribu hektare. Deforestasi terparah terjadi pada 2015, yang mencapai area seluas 35.536 hektare.
Anggota Basarnas melakukan evakuasi korban reruntuhan rumah akibat gempa Bumi di Kota Mamuju, Sulawesi Selatan, 16 Januari 2021. Tempo/Iqbal Lubis
Dua pekan lalu, sejumlah desa di Kecamatan Delta Pawon dan Banua Kayong, Ketapang, terendam banjir. Empat bulan sebelumnya, 15 desa di dua kecamatan berbeda juga dilanda banjir setinggi 50 sentimeter hingga 2 meter.
Banjir terjadi setelah turun hujan terus-menerus, yang membuat beberapa sungai, seperti Sungai Laur dan Pawan, airnya meluap. Terdapat 21 daerah aliran sungai (DAS) dan sub-DAS di Ketapang. Luas seluruh DAS dan sub-DAS itu mencapai 14.613.079 hektare. Semua DAS tersebut tidak hanya terbentang di Ketapang, tapi juga di beberapa daerah tetangga Ketapang.
Sesuai dengan catatan Auriga, keseluruhan DAS tersebut mengalami penggundulan hutan seluas 942.210 hektare dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Hampir separuh dari luas deforestasi itu berada di Ketapang.
Sesuai dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama Januari tahun ini terjadi banjir dan tanah longsor di 72 kabupaten dan kota di Indonesia. Khusus di Kalimantan Barat, ada empat daerah yang dilanda banjir pada bulan ini, yaitu Ketapang, Sanggau, Landak, dan Bengkayang. Di tiga daerah itu juga terjadi deforestasi 59-75 ribu hektare.
Wilayah lain yang juga dilanda banjir dan tanah longsor adalah Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Semua daerah ini juga mengalami penggundulan hutan.
Kondisi desa pasca banjir bandang di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 24 Januari 2021. ANTARA /Bayu Pratama S.
Yustinus mengatakan lembaganya memperoleh angka deforestasi setelah menganalisis kondisi hutan di daerah tersebut dengan metode spasial dan citra satelit. Lalu angka luas deforestasi diperoleh berbasis pada data GLAD Hansen, yang dikombinasikan dengan peta tutupan hutan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan analisis tersebut, selain Ketapang, angka deforestasi yang cukup luas terjadi di Aceh. Luas deforestasi di delapan daerah yang dilanda banjir dan tanah longsor di provinsi ini mencapai 75 ribu hektare. Penggundulan hutan terparah terjadi di Kabupaten Aceh Timur seluas 32 ribu hektare. Sebagian wilayah ini merupakan kawasan pertambangan.
Luas hutan alam di Aceh Timur mencapai 300.273 hektare pada 2000. Setahun berikutnya, wilayah itu mengalami penggundulan hutan seluas 310 hektare. Pembabatan makin masif pada tahun-tahun berikutnya. Akumulasi deforestasi di sini dalam kurun waktu 20 tahun mencapai 32.377 hektare. “Ini yang diduga menjadi biang banjir terus berulang di wilayah tersebut,” kata Yustinus.
Pada awal tahun ini, banjir melanda sembilan kecamatan di Aceh Timur. Tinggi banjir antara 50 sentimeter dan 1 meter. Bencana ini mengakibatkan ribuan unit rumah terendam air. Pada saat yang sama, terjadi tanah longsor di Desa Paya Aye, Kecamatan Idi Tunong, Aceh Timur.
Ahli pengelolaan daerah aliran sungai dari Universitas Lampung, Slamet Budi Yuwono, mengatakan salah satu penyebab suatu daerah dilanda banjir ataupun tanah longsor adalah deforestasi. Apalagi penggundulan hutan itu tidak diimbangi dengan upaya reboisasi dan reklamasi terhadap lahan terbuka. "Banjir terjadi karena kecepatan penambahan lahan kritis akibat deforestasi lebih tinggi daripada kegiatan rehabilitasinya," kata Slamet.
Ia mengatakan deforestasi semakin masif karena adanya alih fungsi hutan yang berubah menjadi lahan pertanian, permukiman, perkebunan sawit, dan pertambangan. Kondisi ini menyebabkan kemampuan tutupan hutan untuk menyerap air hujan semakin berkurang.
Slamet mencontohkan deforestasi secara besar-besaran yang terjadi di Kalimantan. Banyak perusahaan tambang dan perkebunan sawit pada lima provinsi di Kalimantan yang berada di sekitar daerah aliran sungai. Kegiatan mereka yang membabat hutan disinyalir menjadi salah satu penyebab kerusakan di sekitar daerah aliran sungai.
Kondisi tersebut diperparah oleh perubahan pola hujan dalam lima tahun terakhir. Menurut Slamet, musim hujan yang semula mengguyur sepanjang 6 bulan menjadi 3 bulan saja. Padahal, angka curah hujan tak berubah sepanjang tahun. Kemudian muncul anomali wet spel atau peristiwa hujan yang mengguyur selama tiga hari berturut-turut dengan kuantitas di atas 50 milimeter per hari.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Raditya Jati, tak memungkiri jika dikatakan deforestasi menjadi salah satu biang penyebab banjir dan tanah longsor di berbagai daerah. Namun ia mengatakan setiap daerah memiliki karakteristik deforestasi yang berbeda. "Tidak bisa digeneralisasi. Tapi secara umum ada kerusakan di hulu, kemudian dilihat kajiannya terhadap pengaruh sedimentasi, lahan kritis, dan sebagainya," kata Raditya.
Ia menganggap urusan bencana banjir dan tanah longsor sangat kompleks karena harus melihat banyak faktor, seperti alih fungsi lahan, luas lahan kritis, dan curah hujan.
Adapun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan adanya anomali fenomena iklim yang terjadi secara bersamaan. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan ada perubahan iklim yang berlangsung ketika puncak musim hujan, yang memicu cuaca ekstrem. "Sejak Oktober 2020, BMKG memberikan peringatan dini tentang potensi terjadinya kondisi ekstrem terkait dengan cuaca akibat adanya berbagai fenomena yang dikhawatirkan akan terjadi bersamaan dengan musim hujan," katanya.
AVIT HIDAYAT | ANT