JAKARTA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklaim paspor untuk buron kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, terbit karena petugas Imigrasi Jakarta Utara tidak mengenalnya. Kementerian juga berdalih nama Joko Tjandra tidak muncul dalam sistem verifikasi Kementerian Hukum dan HAM lantaran sudah tidak masuk daftar catatan merah Interpol.
Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Jhoni Ginting, menyatakan instansinya telah memeriksa petugas yang menerbitkan paspor Joko Tjandra tersebut. "Petugas kami baru ya, masih 20 tahun, 23 tahun, dia baru lulus, enggak akan kenal ini (ternyata) Joko Tjandra kalau pagi-pagi datang. Enggak ujug-ujug hari itu juga (selesai)," ucap Jhoni ketika rapat dengar pendapat dengan Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, kemarin.
Joko Tjandra menjadi buron Kejaksaan Agung sejak 2009. Ia kabur ke luar negeri sehari sebelum Mahkamah Agung menerbitkan putusan peninjauan kembali yang menyatakan dia bersalah dalam korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali. Dalam putusan PK yang diajukan Kejaksaan Agung itu, Joko divonis 2 tahun bui. Duit Joko di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar pun dirampas negara. Duit tersebut diterima perusahaan Joko, PT Era Giat Prima, dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank Indonesia karena Bank Bali mengalami gagal bayar. Meski pengajuan hak tagih ini telah melewati batas waktu, BPPN tetap mengucurkan dana ke perusahaan Joko.
Jhoni mengatakan Joko datang ke imigrasi pada 22 Juni sekitar pukul 08.00. Petugas imigrasi kemudian melayani permohonan Joko. Karena masih baru, petugas tersebut tidak mengenali bahwa Joko merupakan buron kasus korupsi. Apalagi nama Joko sudah tidak masuk dalam DPO. Setelah paspor itu terbit, Joko mengambilnya melalui surat yang dikuasakan ke orang lain.
Pernyataan itu dipaparkan Jhoni untuk menjelaskan kepada DPR bagaimana mudahnya Joko mendapatkan paspor meski dalam status buron. Namun Jhoni tidak menjelaskan alasan lembaganya menerbitkan paspor dalam waktu singkat atau hanya sehari. Jhoni hanya menjelaskan bahwa permohonan Joko telah sesuai dengan persyaratan utama, di antaranya kartu tanda penduduk dan paspor lama yang diterbitkan pada 2007 dan telah berakhir pada 2012.
Jhoni juga berdalih petugasnya tidak memiliki alasan untuk tidak menerbitkan paspor yang diajukan Joko Tjandra. Alasannya, nama Joko tidak terdaftar dalam nama orang yang harus dicegah untuk membuat paspor. “Apalagi nama Joko tidak tercatat dalam sistem imigrasi,” kata dia.
Dari informasi yang diperoleh Jhoni, Joko hanya mendapat paspor selama dua tahun dari Papua Nugini. Setelah itu dicabut oleh pihak Papua Nugini karena sempat dipersoalkan oleh Ombudsman Republik Indonesia. Apalagi Joko tidak pernah melepaskan statusnya sebagai warga negara Indonesia sesuai dengan mekanisme stelsel aktif atau tindakan hukum yang aktif untuk memilih menjadi warga negara. “Joko juga tidak pernah menyerahkan surat pencabutan sebagai warga negara,” ucap Jhoni.
Merespons Jhoni, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman, meminta agar Jhoni menghentikan dalih ihwal usia petugas yang masih muda dan tidak mengetahui bahwa Joko merupakan buronan kakap. "Tolong penjelasan seperti itu enggak usahlah. Jangan penjelasan bahwa petugas masih 20 tahun dan enggak kenal, itu kan pegawai Bapak dan sistemnya ada," ucap Benny.
Selain Benny, anggota Komisi III Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mencecar Jhoni ihwal Joko yang dengan mudah mendapatkan paspor Indonesia. Menurut dia, Joko merupakan warga negara asing yang berpaspor Papua Nugini. "Bagaimana seorang WNA bisa mendapatkan paspor? Bagaimana imigrasi bisa mengeluarkan paspor?"
Arsul mendesak pemerintah agar mengakui kesalahan jika terbukti lalai dalam menerbitkan paspor tersebut. Apalagi nama Joko merupakan buronan terkenal dalam dua dasawarsa terakhir.
Anggota Komisi III Fraksi NasDem, Taufik Basari, menyatakan Joko Tjandra tak mungkin sendirian mengurus berbagai keperluan di Indonesia, dari pembuatan KTP, paspor, hingga pendaftaran peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Enggak mungkin urus printilan sendirian atau andalkan satu-dua orang untuk urus semuanya. Ini pasti melibatkan jaringan, ada mafia hukum yang harus dibongkar,” kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIKO OKTARA | AVIT HIDAYAT
Dalih Imigrasi Soal Paspor Joko Tjandra