maaf email atau password anda salah


Dampak Asap Kebakaran Hutan bagi Orangutan

Kebakaran hutan merusak kesehatan orangutan. Kesehatan orangutan penting, mengingat peran mereka sebagai spesies indikator.

arsip tempo : 171476472914.

Orangutan di Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Foto: Aprianto . tempo : 171476472914.

Orangutan Borneo adalah satu dari tiga spesies orangutan. Semuanya berstatus critically endangered atau satu status lagi sebelum dinyatakan punah. Mereka adalah penghuni rawa gambut kaya karbon di Kalimantan. Ekosistem yang rawan terbakar.

Kebakaran hutan dan lahan 2015 menjadi tahun polusi udara yang terburuk akibat amukan api sepanjang sejarah. Bencana tersebut dipicu El Nino, yang membuat cuaca amat kering di Asia-Pasifik.

Kebakaran gambut, dibandingkan dengan daerah lainnya, membuat api menjalar hingga ke bawah tanah. Kebakaran ini menghasilkan gas-gas yang sangat berbahaya (termasuk juga partikel debu hasil pembakaran) ke udara. Gambut yang terbakar menjadi penyebab utama kasus kematian dan penyakit akibat polusi udara di dunia.

Orangutan diketahui sebagai indikator spesies. Artinya, keberadaan mereka menjadi penanda kesehatan suatu ekosistem. Kesehatan dan perilaku mereka juga sensitif terhadap perubahan lingkungan. Paparan asap beracun yang sering dan intens bisa berdampak parah, baik bagi orangutan maupun kehidupan satwa liar lainnya.

Baca: Derita Orangutan Selama Dua Windu

Pencemaran gas beracun juga berdampak pada kesehatan dan keamanan para peneliti. Untungnya, teknik penginderaan jauh, seperti citra satelit, data GPS, dan pemantauan akustik, kian populer digunakan untuk melacak populasi satwa liar. Teknik-teknik ini juga dimanfaatkan untuk mengetahui bagaimana para satwa menghadapi perubahan lingkungan.

Saya mempelajari perilaku, ekologi, dan komunikasi akustik primata liar di Indonesia sejak 18 tahun silam. Dalam studi terbaru, saya dan kolega melakukan telaah suara orangutan Borneo untuk menyelidiki sejauh mana mereka terkena dampak oleh emisi beracun akibat kebakaran hutan Indonesia pada 2015.

Api membakar lahan gambut di Kecamatan Liang Anggang, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Juni 2023. ANTARA/Bayu Pratama S

Bahaya Jangka Panjang

Di seluruh dunia, kasus kebakaran hutan dan lahan terus naik. Asap dari amukan api yang menyelimuti langit berisi gas-gas berbahaya, termasuk juga partikel debu (PM).

Yang terbaru, kebakaran di Kanada yang menyelubungi langit di sepanjang Pantai Timur Amerika Serikat dan kawasan Midwest pada awal Juni 2023. Asap membikin langit berwarna jingga, kemudian memicu munculnya peringatan kesehatan.

Banyak riset menunjukkan asap kebakaran hutan berisiko terhadap kesehatan pernapasan, penyakit kardiovaskular, peradangan sistemik, dan kematian dini. Sementara itu, bagi satwa liar, studi semacam ini belum banyak.

Ada serial riset yang terbit pada 2021 dan 2022. Dalam studi ini, ilmuwan dari California National Primate Research Center melaporkan temuan yang cukup mengkhawatirkan. Studi menemukan lonjakan kasus keguguran pada monyet rhesus betina yang terpapar udara tercemar partikel debu (PM 2,5) berkonsentrasi tinggi di kandang luar ruangan.

Bukan cuma itu, janin yang hidup dan bayi monyet rhesus tetap menderita efek jangka panjang. Mereka mengalami gangguan kapasitas paru-paru, respons kekebalan tubuh, peradangan, level kortisol, perilaku, dan ingatan.

Nah, selama kebakaran hutan 2015 di Indonesia, konsentrasi partikel debu dalam udara Kalimantan jauh melebihi tingkat pencemaran dalam studi di atas. Karena itu, dampak kebakaran bagi orang-orang ataupun satwa liar yang menghirup asap hingga hampir dua bulan sangatlah mengkhawatirkan.

Orangutan di Tengah Jerubu

Saya sedang mempelajari orangutan liar di hutan Borneo saat kebakaran 2015 melanda. Saya dan kolega di Tuanan Orangutan Research Station melacak sumber api dan berpatroli di dekat titik panas untuk menilai risiko penyebaran api ke lokasi riset kami.

Berbekal masker N-95, pemantauan orangutan kami lanjutkan. Harapannya, kami bisa mempelajari cara hewan menghadapi api yang menjalar dan asap tebal.

Baca: Ancaman Kebakaran Hutan Meningkat

Beberapa pekan kemudian, saya mendengar perbedaan suara “suara panjang” (long call) yang dilontarkan orangutan jantan. Suara ini sekaligus menjadi fokus penelitian saya.

Suara panjang cukup nyaring dan bisa didengar dari jarak sekitar 1 km. Sebagai hewan yang semisoliter dan tinggal dalam komunitas yang tersebar, suara orangutan memiliki tujuan sosial yang penting. Orangutan jantan dewasa mengeluarkan suara untuk memikat betina di sekitarnya, sekaligus menakut-nakuti pesaing mereka.

Beberapa pekan setelah asap mengepul, saya merasa suara tersebut berubah: terdengar parau bak suara seorang perokok berat.

Kami memperhatikan orangutan selama 44 hari selama kebakaran, hingga akhirnya kobaran api menjangkau tempat penelitian kami. Penelitian terpaksa dihentikan. Kami membantu pemadaman api bersama warga lokal, kelompok masyarakat sipil, dan aparat pemerintah. Di area studi kami, kebakaran berlangsung hingga tiga pekan.

Berbekal data yang terkumpul pada sebelum, selama, dan pascakebakaran, saya memimpin analisis perilaku dan kesehatan populasi orangutan Kalimantan. Hasilnya, beberapa pekan setelah kebakaran, orangutan tak sesibuk biasanya. Sang primata lebih banyak rebahan, lalu bepergian dengan jarak yang lebih pendek. Mereka pun melahap kalori lebih banyak daripada biasanya.

Meskipun mereka makan lebih banyak dan bergerak lebih sedikit, kami—melalui analisis urine—justru menemukan proses pembakaran lemak tubuh orangutan masih terjadi. Ini menjadi tanda bahwa mereka masih menghabiskan banyak energi.

Hipotesis kami, hal tersebut terjadi karena adanya peradangan yang membuat rasa bengkak, demam, nyeri, dan pusing pada tubuh hewan maupun manusia sebagai respons atas infeksi ataupun luka.

Orangutan di Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Foto: Aprianto 

Suara Waspada

Berbagai studi menemukan bahwa paparan partikel debu dapat menyebabkan peradangan di saluran pernapasan hingga ke seluruh tubuh manusia. Kami pun ingin mengetahui apakah paparan asap kebakaran menyebabkan perubahan suara orangutan, seperti halnya efek merokok pada manusia.

Dalam studi ini, saya bersama kolega menganalisis lebih dari seratus rekaman suara empat orangutan jantan yang kami rekam sebelum dan selama kebakaran. Harapannya, kami bisa mengetahui respons suara orangutan terhadap kebakaran hutan.

Penelitian menunjukkan bahwa seperangkat fitur vokal, seperti nada, kekasaran vokal atau suara serak, dan getaran, mencerminkan kondisi kesehatan manusia ataupun satwa. Kami mencari petunjuk akustik bagaimana udara beracun dapat mempengaruhi orangutan.

Selama kebakaran hingga beberapa pekan sampai jerebu mereda, orangutan jantan mengeluarkan suara lebih jarang daripada biasanya. Dalam kondisi normal, orangutan mengeluarkan suara panjang sekitar enam kali sehari. Namun, selama kebakaran, jumlah suara mereka berkurang separuh. Nada suara lebih rendah dan lebih menunjukkan suara serak yang tidak biasa.

Nah, secara kolektif, fitur suara seperti ini terkait dengan gejala inflamasi, stres, dan penyakit—termasuk Covid-19—pada manusia maupun satwa.

Mendengarkan Suara-suara Hewan

Paparan asap beracun yang panjang dan sering bisa berakibat parah bagi orangutan ataupun hewan lainnya. Penelitian kami menyoroti pentingnya kajian dampak jangka panjang dan jangkauan kebakaran gambut di Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbanyak di dunia.

Dengan menguak hubungan akustik, perilaku, dan perubahan penggunaan energi orangutan, studi kami dapat membantu pemantauan kesehatan orangutan dan hewan lainnya oleh para ilmuwan dan pengelola satwa liar.

Pemantauan akustik pasif dapat digunakan untuk mempelajari spesies indikator yang aktif bersuara seperti orangutan. Hal ini sekaligus menambah masukan bagi pemahaman dampak kebakaran bagi populasi satwa liar di seluruh dunia.

---

Artikel ini ditulis oleh Wendy M. Erb, peneliti postdoctoral konservasi biologi di Cornell University, Amerika Serikat. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan