maaf email atau password anda salah


Hukuman untuk Pelaku KDRT dan Pembunuhan Anak di Jagakarsa

Kejahatan femisida, seperti kasus KDRT dan pembunuhan anak di Jagakarsa, meningkat. Apa hukuman yang pantas terhadap pelaku?

arsip tempo : 172852767360.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. PEXELS. tempo : 172852767360.

HALO, Klinik Hukum Perempuan. Saya Donna, mahasiswa, 19 tahun. Saya memperhatikan pemberitaan berbagai media massa dan konten viral di media sosial tentang kasus laki-laki berinisial P di Jakarta Selatan yang membunuh empat anak kandungnya yang masih bocah, paling besar 6 tahun dan tiga adik balitanya. Laki-laki itu juga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sehingga istrinya masuk rumah sakit karena luka-luka yang sangat parah akibat penyiksaan fisik. 

Saya, sebagai perempuan, merasa sangat geram terhadap perbuatan keji yang dilakukan oleh P. Saya juga sangat berduka atas apa yang dialami para korban, dalam hal ini istri dan anak-anaknya (almarhum). Karena itu, saya ingin tahu hukuman apa yang paling tepat diterima oleh P agar sang istri, yang mengalami KDRT dan kehilangan keempat anaknya, mendapatkan keadilan. Mohon penjelasannya sehingga saya dan perempuan pada umumnya mendapat informasi mengenai proses hukum dan sanksi bagi pelaku yang begitu keji tersebut. Sebab, keadilan bagi korban adalah juga keadilan bagi kaum perempuan dan anak-anak di Indonesia yang rentan mengalami KDRT. Terima kasih.

Donna,
Jakarta



Dijawab oleh

Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta

Halo, Donna. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Semoga proses penegakan hukum terhadap kasus tersebut berjalan lancar, dari tingkat kepolisian sampai pelimpahan perkara ke kejaksaan dan pengadilan. Dengan begitu, kita berharap perkara tersebut disidangkan dengan putusan akhir yang memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi korban, yakni ibu dan keempat anaknya yang meninggal.

Jumlah kasus KDRT serta pembunuhan ibu dan anak yang dilatarbelakangi kecemburuan lalu menjadi dendam dan kebencian, atau biasa disebut femisida, terus meningkat. Hasil pemantauan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) atas pemberitaan media online menemukan 145 kasus femisida sepanjang 2019. Sedangkan pada tahun ini, Komnas Perempuan telah mencatat 159 kasus. Jenis femisida dalam kasus-kasus tersebut, di antaranya, berupa pembunuhan ibu dan anak serta pembunuhan anak untuk melukai batin ibu atau istri. 

Dari pemantauan Komnas Perempuan pada 2019 pula diketahui bahwa relasi pelaku dan korban dalam kasus femisida didominasi perlakuan suami terhadap istri, yaitu sebanyak 48 kasus. Hubungan pelaku dan korban dalam perkara lain adalah relasi pertemanan (19 kasus), berpacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus). Hal yang perlu diingat adalah semua angka tersebut sebatas kasus femisida yang diliput media massa.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Shutterstock

Dalam kasus terbaru yang terjadi di Jagakarsa, Jakarta Selatan, suami berinisial P melakukan tindak KDRT secara fisik sehingga istrinya harus masuk rumah sakit akibat luka yang parah. P juga menghilangkan nyawa keempat anaknya. Perbuatan P ini dapat dikategorikan sebagai femisida karena motifnya adalah kecemburuan dan kebencian terhadap istrinya.

Femisida, atau ada juga yang menyebutnya dengan feminisida, merupakan sebuah istilah kejahatan kebencian (hate crime) berbasis jenis kelamin. Kejahatan ini banyak didefinisikan sebagai pembunuhan intensional terhadap perempuan karena mereka, para korban, adalah "perempuan"—meskipun definisinya beragam dan bergantung pada konteks sejarah. 

Istilah femisida pertama kali diangkat dan digunakan Diana E.H. Russell, aktivis dan penulis feminis. Lahir dan besar di Cape Town, Afrika Selatan, Diana pindah ke Inggris pada 1957, kemudian menetap di Amerika Serikat pada 1961. Selama 45 tahun terakhir, Diana terlibat dalam berbagai penelitian isu perempuan, khususnya mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Diana mendefinisikan femisida sebagai, "Pembunuhan perempuan oleh laki-laki atas dasar kebencian karena mereka adalah perempuan." 

Lantas, apa hukuman yang tepat diberikan kepada P? Dalam kasus ini, P berhadapan dengan dua perkara. Pertama, P dijerat dalam perkara KDRT terhadap istrinya, yang juga sudah dilaporkan ke polisi pada hari kejadian. Kedua, P juga berhadapan dengan perkara pembunuhan berencana terhadap keempat anaknya, yang dilakukan pada saat sang istri sedang di rumah sakit. Proses hukum atas kedua perkara ini juga sudah berjalan.

Atas tindak KDRT, P dapat dijerat dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ancaman pidananya berupa penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta. 

  Pasal 44 UU PKDRT

(1)


Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(2)


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

(3)

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(4)



Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).


Ketentuan Pasal 5 UU PKDRT yang dimaksudkan dalam Pasal 44 tersebut menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. KDRT itu meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran rumah tangga.

Selanjutnya, dari sejumlah pemberitaan media massa diperoleh informasi bahwa Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan akan menjerat P dalam kasus pembunuhan berencana dengan Pasal 338 juncto Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Polisi juga menjerat P dengan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Pelaku P diancam dengan hukuman berlapis, maksimal berupa hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.


  Pasal 338 KUHP

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.


  Pasal 340 KUHP

Barang siapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.


  Pasal 80 UUPA
(1)


Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2)

Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)

Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4)

Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.


Karena korban pembunuhan berencana berjumlah empat orang dan dalam kategori anak, hukuman yang akan menjerat P akan diakumulasi. Karena itu, ancaman pidana terhadap P menjadi maksimal, yaitu hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. 

Dua perkara tersebut akan disidangkan terpisah sehingga P akan mendapat dua vonis berbeda yang dijatuhkan berturut-turut. Vonis pertama terhadap P dijatuhkan atas tindak pidana KDRT terhadap istrinya. Vonis berikutnya atas pembunuhan berencana terhadap keempat anaknya. Pelaksanaan putusan vonis hakim dalam dua persidangan berbeda terhadap P ini dapat merujuk pada ketentuan Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

 
  Pasal 272 KUHAP

Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.

  Bagian penjelasan Pasal 272

Ketentuan yang dimaksud dalam pasal ini ialah bahwa pidana yang dijatuhkan berturut-turut itu ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana berturut-turut, secara berkesinambungan di antara menjalani pidana yang satu dengan yang lain.


Berdasarkan ketentuan tersebut, jika seseorang dijatuhi hukuman pemidanaan lebih dari satu kali dalam perkara berbeda, si terpidana menjalani pidananya secara berurutan sesuai dengan putusan pemidanaan yang lebih dulu diputuskan. Dengan demikian, pidana yang akan dijatuhkan untuk dijalani P adalah dua pidana sekaligus, yang ditetapkan berturut-turut sesuai dengan perbuatannya.

Demikian penjelasan kami. Semoga memberikan manfaat dan informasi mengenai proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus serupa. Dengan pengetahuan ini, selanjutnya kita dapat terus memantau proses penegakan hukum hingga korban mendapat keadilan.

Jika Anda atau kolega mengalami pelecehan seksual dan membutuhkan pendampingan hukum, Anda dapat menghubungi LBH APIK Jakarta atau Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender.

Klinik Hukum Perempuan tayang dwimingguan untuk menjawab dan memberikan informasi seputar isu hukum perempuan. Rubrik ini hasil kerja sama Koran Tempo, Konde.co, LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 10 Oktober 2024

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024

  • 7 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan