Gugatan Cerai Berlatar KDRT
Gugatan perceraian dan harta bersama dapat dilakukan bersamaan atas tindakan KDRT. Apa proses yang harus diperhatikan?
Halo, Klinik Hukum Perempuan. Saya akan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Suami saya melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara fisik. Apakah saya bisa mengajukan perceraian sekaligus menuntut harta bersama? Jalur hukum apa yang harus saya tempuh?
Sebagai informasi, saya mempunyai dua anak, masing-masing berumur 5 dan 3 tahun. Anak pertama saya akan masuk sekolah sehingga saya membutuhkan biaya. Selama menikah, saya dan suami mempunyai aset bersama berupa rumah dan mobil. Terima kasih.
***
Terima kasih telah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Saya akan menguraikan upaya dan proses hukum yang dapat Anda lakukan.
Anda dapat membuat laporan ke kepolisian atas dasar KDRT dan mengajukan gugatan cerai secara simultan. Anda dapat mengadukan KDRT tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), layanan terintegrasi bagi perempuan dan anak yang mengalami diskriminasi serta kekerasan. Setiap kota dan kabupaten memiliki layanan P2TP2A. Anda bisa menghubungi unit ini melalui situs web www.kemenpppa.go.id. Harapannya, Anda akan mendapat pendampingan P2TP2A dalam membuat aduan ke kepolisian.
Selanjutnya, Anda dapat datang ke unit Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) di kantor polisi terdekat. Anda akan diwawancarai perihal kronologi KDRT yang Anda alami dan diminta menyerahkan bukti pendukung. Setelah selesai, Anda akan diberi surat tanda terima laporan polisi sebagai bukti bahwa Anda seorang pelapor. Dengan surat tanda laporan ini, Anda berhak atas informasi mengenai sudah sejauh mana perkara telah ditangani kepolisian.
Kepolisian juga akan memberikan surat rujukan kepada rumah sakit agar Anda melakukan pemeriksaan visum, baik fisik maupun psikiatri. Hasil visum ini akan dikirimkan langsung oleh pengelola rumah sakit kepada unit kepolisian yang memberikan rujukan. Visum tidak bisa dilakukan tanpa adanya laporan atau aduan serta rujukan kepolisian.
Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Shutterstock
Dasar hukum pemidanaan tindakan KDRT secara fisik diatur dalam Pasal 5 huruf a juncto Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal itu mengatur:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000.00 (lima belas juta rupiah)”.
KDRT, perselisihan antara suami-istri, atau penelantaran merupakan alasan untuk mengajukan gugatan cerai. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 39 ayat 2 menyatakan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, di antaranya:
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
- Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan serta pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Anda dapat mengajukan gugatan cerai dengan atau tanpa didampingi kuasa hukum. Pengadilan Agama memberikan fasilitas bantuan hukum bagi masyarakat dalam proses gugatan perceraian.
Tahapan Penting dalam Gugatan Perceraian
Setidaknya terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan perceraian. Pertama, gugatan diajukan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 118 HIR 142 RBg juncto Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Surat gugatan ini memuat nama, umur, pekerjaan, agama, serta tempat kediaman penggugat dan tergugat, fakta kejadian, serta hal-hal yang dimohonkan kepada pengadilan berdasarkan uraian fakta.
Kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Peradilan Agama, pengajuan gugatan ditujukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat. Ketentuan ini dapat dikecualikan apabila penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
Ketiga, penggugat menyiapkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan gugatan, seperti kartu tanda penduduk, buku nikah istri yang asli, dan beberapa berkas lainnya. Karena Anda bercerai dengan alasan terjadi KDRT, surat tanda laporan polisi dan salinan visum dari rumah sakit—jika bisa diperoleh—dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat untuk disampaikan kepada majelis hakim. Selain menyiapkan bukti dokumen, Anda harus mempersiapkan minimal dua saksi.
Keempat, setelah mendaftarkan gugatan, Anda akan dipanggil pengadilan secara resmi. Ketika sidang dimulai dan dihadiri suami atau tergugat, majelis hakim akan meminta kedua pihak melakukan upaya mediasi di hadapan mediator secara tertutup. Jika mediasi gagal, gugatan perceraian akan berlanjut.
Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Shutterstock
Lantas, apakah bisa mengajukan gugatan cerai secara bersamaan dengan gugatan hak asuh anak, gugatan nafkah anak, dan gugatan gana-gini? Jawabannya: bisa.
Anda dapat mengajukan gugatan tersebut bersamaan atau setelah gugatan perceraian didaftarkan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 86 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan:
“Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami-istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap".
Ketentuan tersebut diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015. Adapun bunyinya adalah:
“Perkara kumulasi antara person recht dan zaken recht dapat diajukan bersama-sama atau setelah terjadi perceraian. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 66 ayat 5 jo. Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009”.
Namun, karena gugatan berkaitan dengan harta bersama, pastikan harta bersama tersebut diperoleh pada saat menikah. Alternatif lainnya, Anda dapat berdiskusi dengan suami atau tergugat, apakah harta bersama akan dijual lebih dulu atau diwasiatkan kepada anak setelah dewasa nanti. Demikian yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.
MONA ERVITA
Advokat pada Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Klinik Hukum Perempuan tayang dwimingguan untuk menjawab dan memberikan informasi di seputar isu hukum perempuan. Rubrik ini hasil kerja sama Koran Tempo, Konce.co, LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika.
Jika Anda atau kolega mengalami pelecehan seksual dan membutuhkan pendampingan hukum, Anda dapat menghubungi LBH APIK Jakarta atau Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender.