maaf email atau password anda salah


Ancaman di Balik Kesuksesan Gadis Kretek

Peneliti dari Johns Hopkins University, AS, menulis ancaman kenaikan jumlah perokok di balik kesuksesan film Gadis Kretek.

arsip tempo : 171485262799.

Dian Sastrowardoyo dalam film Gadis Kretek. Dok. NETFLIX. tempo : 171485262799.

Sambutan meriah Gadis Kretek oleh penonton dan sineas Indonesia tecermin dari ramainya pemberitaan dan perbincangan di media sosial. Apalagi dengan tembusnya serial Netflix pertama dari Indonesia ini di Busan International Film Festival di Korea Selatan.

Namun, di tengah sorotan positif terhadap serial yang mendapat rating usia 13+ atau TV-14 ini, terdapat "gajah di dalam ruangan" yang luput oleh media dan penggemar: kretek itu sendiri. Sebenarnya, penayangan rokok atau adegan merokok bukanlah hal baru dalam film layar lebar dan streaming.

Studi Truth Initiative pada 2021 menemukan bahwa dari 15 program streaming yang paling digemari oleh anak muda usia 15-24 tahun di Amerika Serikat, yang 60 persen di antaranya menampilkan produk tembakau, menarik perhatian 25 juta anak muda di negara tersebut.

Ironisnya, fenomena ini terjadi saat sudah banyak studi yang menemukan bahwa paparan adegan merokok dalam film dapat meningkatkan risiko remaja mulai merokok, bahkan hampir dua kali lipat dibanding remaja yang tidak terpapar.

Karena itu, adegan merokok dalam film, televisi, dan online streaming sudah dianggap sebagai bentuk promosi produk tembakau secara halus tapi efektif. Taktik ini menjadi cara teranyar mempromosikan adiksi rokok di tengah semakin ketatnya aturan iklan produk tembakau dan nikotin di media konvensional.

Lalu apa yang membuat Gadis Kretek berbeda sekaligus mengkhawatirkan? Film ini menyebarkan aura positif industri rokok dan mengekspor adiksi rokok lintas negara via streaming, yang minim regulasi.

Salah satu adegan dalam film Gadis Kretek. Dok. NETFLIX

Romantisasi Industri Rokok

Berbeda dari sebagian besar hiburan sinematik lainnya yang juga menayangkan adegan merokok, cerita Gadis Kretek berporos pada industri kretek. 

Kisah cinta fiktif antara tokoh utama bernama Jeng Yah, seorang peracik saus kretek yang cerdas dan ambisius, dengan Soeraja, yang kemudian menjadi konglomerat perusahaan rokok Indonesia, berlangsung pada era 1960-an saat bisnis rumahan kretek di Indonesia mulai tumbuh subur dan berkompetisi. Penonton diajak melihat ke dalam dunia industri kretek: proses pembuatan dan pemasaran kretek, dari pembelian daun tembakau hingga penyebaran pamflet iklan produk kreteknya.

Sejak serial ini diluncurkan pada awal November lalu, gejala “glamorisasi”—serba gemerlapan, elok, atau menarik—merokok di dunia maya mulai tampak. Fenomena ini berpotensi membentuk citra positif industri rokok yang masih dianggap bisnis normal di Indonesia, bahkan penting bagi perekonomian negara. Misalnya, viralnya video kompilasi adegan Jeng Yah yang diperankan oleh Dian Sastro—aktris papan atas Indonesia yang banyak diidolakan anak muda—mengisap kretek banyak dikomentari dengan nada kagum oleh warganet dan tidak sedikit yang berkomentar ingin mencoba merokok.

Rokok dalam serial ini bukan hanya berperan sebagai dekorasi atau mendramatisasi karakter, tapi sentral untuk membangun karakter utama dan cerita serial ini secara keseluruhan. Di samping itu, anggapan bahwa kretek adalah “warisan budaya” Indonesia yang perlu dilestarikan dapat bangkit kembali dengan diangkatnya aspek historis dan tradisional kretek dalam serial ini. 

Di kehidupan nyata, narasi bahwa kretek harus dilindungi kerap digaungkan untuk menolak usulan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat. Padahal kretek telah ditolak untuk dimasukkan ke dalam UU Kebudayaan sebagai warisan budaya pada 2015.

Citra positif kretek bukan tidak mungkin dapat menguntungkan industri rokok secara umum. Hal tersebut dapat mengaburkan fakta industri rokok saat ini yang manipulatif dan eksploitatif dalam sepanjang rantai pasokan dari petani tembakau hingga pemasaran rokok jadi. Padahal usaha rokok di Indonesia bukan lagi didominasi oleh perusahaan domestik kecil ala film Gadis Kretek, melainkan korporat-korporat raksasa yang sudah banyak diakuisisi oleh perusahaan transnasional, seperti Philip Morris International.

Selain itu, normalisasi rokok dan industrinya akan semakin memuluskan jalan industri untuk mengintervensi kebijakan publik. Laporan terbaru Global Tobacco Industry Interference Index menunjukkan Indonesia selama lima tahun berturut-turut berada dalam lima besar negara dengan campur tangan industri tembakau terbanyak. Walhasil, intervensi ini senantiasa menghambat penerapan kebijakan pengendalian tembakau yang melindungi dan berpihak pada kesehatan masyarakat.

Promosi Rokok Lintas Negara

Ketika negara lain berlomba menurunkan konsumsi tembakau di kalangan warganya dan melakukan denormalisasi industrinya, Indonesia justru dengan bangga mengekspor banyak adegan merokok melalui serial ini ke luar negeri. Kenyataan bahwa Gadis Kretek dapat ditonton remaja dan ditayangkan di Netflix mancanegara, bahkan menempati peringkat 10 teratas di Malaysia dan Amerika Latin, mengindikasikan adanya ekspor promosi benda adiktif ini kepada anak-anak di luar negeri. Hal ini mengkhawatirkan mengingat belum semua negara melarang promosi dan iklan produk tembakau lintas negara.

Selain itu, Netflix dan media streaming lainnya belum mengatur penayangan adegan merokok atau produknya dalam program-program mereka. Pada 2019, Netflix pernah mengumumkan komitmennya untuk mengeliminasi tayangan rokok dalam program-program bagi anak milik mereka, tapi hingga kini hanya janji belaka.

Berbagai usaha pun dilakukan oleh kelompok masyarakat, termasuk anggota legislatif dan badan hukum di Amerika Serikat, untuk menekan industri hiburan serta media supaya segera menerapkan aturan yang melindungi anak muda dari paparan promosi rokok.

Hingga saat ini, India adalah satu-satunya negara yang memiliki aturan rokok di media streaming. Mereka mewajibkan penayangan pesan kesehatan anti-tembakau dalam semua program yang menampilkan produk tembakau atau penggunaannya.

Dian Sastrowardoyo dalam film Gadis Kretek. Dok. NETFLIX

Perlu Aturan yang Komprehensif dan Kerja Sama Lintas Negara

Persoalan Gadis Kretek ini merupakan puncak dari gunung es yang perlu diatasi akar permasalahannya: normalisasi, bahkan “glamorisasi”, rokok di Indonesia. Pengendalian tembakau yang lemah, terutama dalam aspek iklan dan promosi rokok, adalah salah satu penyebab utamanya.

Pemerintah dan komunitas media perlu mengambil langkah penting untuk melindungi kesehatan generasi masa depan kita. Pertama, media streaming perlu menetapkan rating "R" atau "18+" untuk program-program mereka yang menayangkan produk tembakau atau penggunaannya dengan cara memasukkannya sebagai kriteria penentuan rating usia.

Menurut laporan di Amerika Serikat, mengadopsi aturan seperti itu berpotensi mengurangi jumlah merokok pada remaja sebanyak 18 persen atau mencegah hingga 1 juta anak di Amerika memulai merokok. Disney, contohnya, sejak 2007 melarang penayangan adegan merokok atau produknya dalam film-film mereka yang ditargetkan untuk anak atau remaja (rating PG-13).

Kedua, Indonesia perlu menutup celah dalam kebijakan pengendalian tembakau yang selama ini masih memungkinkan promosi produk tembakau dan nikotin di Internet. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 hanya melarang wujud rokok dalam ranah film, sinetron, dan acara TV lainnya. Tayangan rokok dan adegan merokok dalam program streaming serta media digital lainnya belum diatur.

Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO (WHO FCTC) memiliki rekomendasi dan panduan bagi negara-negara anggotanya untuk menerapkan aturan komprehensif ihwal promosi serta iklan rokok. Rekomendasinya cukup tegas: larang total penayangan produk tembakau di media digital meskipun tidak memiliki hubungan dengan entitas bisnis produk tersebut. 

Larangan bukan hanya pada media streaming dan media sosial, tapi juga media terbaru metaverse tidak boleh luput dari peraturan pemerintah. Penelitian telah menyibak banyak konten komersial yang memanfaatkan influencer-influencer di media sosial untuk mempromosikan produk tembakau atau nikotin lainnya, seperti rokok elektrik.

Terakhir, kerja sama lintas negara perlu dijalin mengingat Gadis Kretek dan produk hiburan serupa tidak hanya ditonton oleh audiens domestik. Dalam rekomendasinya, WHO mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa iklan dan promosi produk tembakau lintas negara yang berasal dari wilayah mereka diatur dengan cara yang sama seperti aturan dalam negeri. 

Selain itu, negara perlu menggunakan hak kedaulatan mereka untuk mencegah masuknya iklan dan promosi tembakau ke wilayah mereka. Hampir setengah dari negara-negara di dunia yang meratifikasi WHO FCTC, tidak termasuk Indonesia, telah melarang iklan dan promosi rokok di Internet. Uni Eropa, misalnya, telah mewajibkan semua negara anggotanya melarang promosi dan iklan produk tembakau antarnegara mereka di berbagai media, termasuk program streaming. Perusahaan hiburan, kreator, distributor, seniman, aktor, dan para pengambil keputusan di pemerintahan perlu memahami dampak dari industri hiburan terhadap kesehatan masyarakat.

Di Indonesia, konsumsi tembakau telah merenggut nyawa 290 ribu orang setiap tahun dan merugikan negara hingga Rp 410 triliun. Industri hiburan harus menolak platform mereka dimanfaatkan oleh industri tembakau yang menempatkan generasi muda dalam risiko kecanduan nikotin sepanjang hayat yang akan menimbulkan kesakitan dan kematian.

---

Artikel ini ditulis oleh Beladenta Amalia, dari Institute for Global Tobacco Control, Johns Hopkins University, Maryland, Amerika Serikat. Terbit pertama kali di The Conversation

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan