maaf email atau password anda salah


Menakar Bahaya Wabah Pneumonia di Cina

Pneumonia banyak menyerang anak-anak di Cina. Seberapa mengkhawatirkan wabah pneumonia itu? 

 

arsip tempo : 171480206937.

Sejumlah anak dipasangi infus di tengah wabah pneumonia di sebuah rumah sakit, Beijing, Cina, 29 November 2023. Reuters/Kyodo. tempo : 171480206937.

Laporan peningkatan penyakit mirip pneumonia (radang paru-paru), yang terutama menyerang anak-anak di Cina bagian utara, telah menarik perhatian kita. Terakhir kali kita mendengar wabah pernapasan misterius yang menyebabkan penumpukan pasien di rumah sakit saat awal pandemi Covid-19 pada awal 2020. Maka, tidak mengherankan jika hal ini menimbulkan kekhawatiran.

Pada 22 November, Organisasi Kesehatan Dunia alias WHO meminta informasi dari Cina perihal lonjakan ini. Otoritas kesehatan Cina mengatakan wabah ini disebabkan oleh sejumlah patogen pernapasan.

Patogen apa yang mungkin menyebabkan peningkatan penyakit pernapasan ini? Apakah kita perlu khawatir bahwa ada potensi pandemi? Mari kita lihat.

 

Mycoplasma

Salah satu bakteri yang telah menyebabkan wabah penyakit pernapasan di Cina sejak Juni tahun ini adalah Mycoplasma.

Mycoplasma biasanya dapat diobati dengan antibiotik, sehingga jarang ada pasien yang sampai perlu rawat inap. Ini juga bisa disebut fenomena “pneumonia berjalan”, yaitu ketika rontgen dada terlihat jauh lebih buruk daripada yang terlihat pada pasien.

Namun, di Taiwan, laporan menunjukkan adanya resistansi antibiotik tingkat tinggi terhadap Mycoplasma, yang mungkin menjelaskan alasan mengapa lebih banyak rawat inap di rumah sakit.

Seorang dokter mengambil darah dari jari pasien di unit gawat darurat rumah sakit di Shanghai, Tiongkok, 14 November 2023. Reuters/Costfoto/NurPhoto

Influenza

Tingkat penularan influenza turun menjadi sangat rendah selama dua tahun pertama pandemi Covid-19 karena adanya pola hidup penggunaan masker, pembatasan fisik dan jarak sosial, serta tindakan lainnya. Namun, begitu keadaan mulai kembali “normal”, infeksi flu cenderung bangkit kembali.

Influenza paling parah menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang lanjut usia, sehingga mungkin menyebabkan rawat inap di kalangan anak-anak.

RSV dan adenovirus

Virus pernapasan syncytial (RSV) juga bisa berdampak parah pada anak-anak. Seperti influenza, penyakit ini menghilang dalam dua tahun pertama pandemi. Namun sekarang penyakit ini kembali menyebar luas.

Adenovirus, yang dapat menyebabkan berbagai sindrom, termasuk gastroenteritis dan penyakit mirip flu, juga dilaporkan berkontribusi terhadap wabah yang saat ini terjadi di Cina. Ada laporan anak-anak muntah dan gambar anak-anak menerima cairan IV, mungkin untuk dehidrasi akibat gastroenteritis.

Peran Covid-19

SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, juga dapat menyebabkan pneumonia, tapi lebih jarang terjadi pada anak-anak. Pada awal pandemi ini, kita mengetahui bahwa SARS-CoV-2 dapat menunjukkan pneumonia dalam pemindaian dada pada anak-anak yang tidak menunjukkan gejala, sehingga Covid-19 juga bisa disebut “pneumonia berjalan” pada anak-anak.

SARS-CoV-2 menyebabkan lebih banyak kematian pada anak-anak dibanding influenza, sehingga kemungkinan besar berkontribusi terhadap kepadatan yang terlihat di rumah sakit.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga dapat menyebabkan disfungsi kekebalan setelah infeksi. Ini menjelaskan mengapa terjadi peningkatan infeksi lain yang tidak terduga, termasuk infeksi streptokokus dan Mycoplasma, sejak pandemi.

Orang tua mendampingi anaknya yang menderita penyakit pernafasan antre di rumah sakit anak di Chongqing, Tiongkok, 23 November 2023. REUTERS/Costfoto/NurPhoto

Koinfeksi

Orang dapat terinfeksi SARS-CoV-2 dan bakteri atau virus lainnya pada saat yang sama (koinfeksi), yang mungkin juga menjelaskan betapa parahnya epidemi yang terjadi saat ini. Sebuah penelitian menunjukkan koinfeksi dengan SARS-CoV-2 dan Mycoplasma sangat umum dan mengakibatkan komplikasi yang lebih serius.

Mungkinkah ini pandemi baru?

Gambar di bawah menunjukkan laporan wabah penyakit mirip influenza dan pneumonia yang tidak dijelaskan secara spesifik, serta penyebab yang diketahui, yaitu influenza A dan B, SARS-CoV-2, RSV, pertusis (batuk rejan), adenovirus, dan Mycoplasma. Hal ini menegaskan adanya peningkatan angka penyakit pernapasan pada tahun ini di Cina dibandingkan dengan waktu yang sama pada tahun lalu.

Sebaliknya, perbandingan yang sama untuk dunia menunjukkan adanya penurunan pada tahun ini dibanding tahun lalu, yang menunjukkan bahwa Cina memang mengalami lebih banyak penyakit pernapasan daripada yang diperkirakan.

Jika penyebab lonjakan ini tidak diketahui, hal ini akan menimbulkan kekhawatiran lebih besar. Namun beberapa di antaranya telah teridentifikasi, sehingga memberi kita keyakinan bahwa kita tidak sedang menghadapi virus baru.

Virus yang paling kita khawatirkan dan berpotensi menjadi pandemi adalah virus flu burung, yang dapat bermutasi menjadi mudah menular pada manusia. Cina telah menjadi episentrum flu burung pada masa lalu, meskipun penyebaran H5N1 telah bergeser ke benua Amerika, Eropa, dan Afrika.

Adapun tahun ini Cina telah melaporkan beberapa kasus pada manusia yang disebabkan oleh berbagai jenis flu burung, termasuk H3N8, H5N1, H5N6, dan H9N2. Dengan wabah yang besar dan terus-menerus pada burung dan mamalia, ada kemungkinan lebih besar terjadinya mutasi dan pencampuran materi genetik influenza burung dan manusia, yang dapat menyebabkan virus pandemi influenza baru.

Ancaman virus baru semakin meningkat dan potensi pandemi paling besar terjadi pada virus yang menyebar melalui jalur pernapasan dan cukup parah untuk menyebabkan penyakit radang paru-paru. Tidak ada indikasi bahwa situasi saat ini di Cina merupakan pandemi baru, tapi kita harus selalu mengidentifikasi dan memperhatikan kelompok pneumonia yang tidak terdiagnosis.

Sistem peringatan dini memberi kita peluang terbaik untuk mencegah pandemi berikutnya. ***

*) Artikel ini ditulis oleh C. Raina MacIntyre (Professor of Global Biosecurity, NHMRC Principal Research Fellow, Head, Biosecurity Program, Kirby Institute, UNSW Sydney), Ashley Quigley (Senior Research Associate, Global Biosecurity, UNSW Sydney), Haley Stone (PhD Candidate, Biosecurity Program, Kirby Institute, UNSW Sydney), dan Rebecca Dawson (Research Associate, The Kirby Institute, UNSW Sydney). Dikutip dari The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan