maaf email atau password anda salah


Studi Perubahan Iklim: Siap-siap Jawa Mengalami Kekeringan Ekstrem

Jawa berisiko terkena kekeringan ekstrem pada 2060-2100 akibat perubahan iklim. Mitigasi krisis iklim perlu ditingkatkan.

arsip tempo : 173057139456.

Petani menanam padi di area persawahan kering di Babelan, Bekasi, Jawa barat. TEMPO/Tony Hartawan. tempo : 173057139456.

KEKERINGAN akibat El Nino 2023 membuat sektor pangan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, kelimpungan. Panen padi di Indonesia tahun lalu turun 3,95 juta ton atau 17,54 persen lebih rendah dibanding pada 2022. Situasi ini mengerek inflasi sektor pangan Indonesia ke angka tertinggi se-Asia Tenggara.

Situasi kekeringan bisa menjadi lebih parah di masa depan. Studi terbaru saya bersama tim memprediksi Jawa berisiko mengalami penurunan hujan tahunan secara signifikan dibanding kondisi saat ini. Penurunan ini berkisar rata-rata 10 persen hingga 2060 dan 16,2 persen hingga akhir abad ini. Perubahan tersebut dapat berdampak pada 73 persen total penduduk Jawa atau lebih dari 100 juta jiwa.

Kami membuat prediksi ini berdasarkan asumsi bahwa dunia membiarkan pelepasan emisi sangat banyak dan terus meningkat tanpa dibarengi upaya pengurangan. Situasi ini sepatutnya menjadi catatan pemerintah Indonesia dan dunia untuk terus meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim semaksimal mungkin.

Risiko Besar Kekeringan

Pada akhir abad ke-21, riset kami menaksir hari tanpa hujan di Pulau Jawa secara berturut-turut meningkat sebesar 18,6-34,6 persen dibanding pada saat ini.

Ancaman kekeringan lebih besar terjadi di dataran rendah. Kabupaten-kabupaten di sepanjang pesisir utara Jawa, dari Serang hingga Madura, dapat mengalami penurunan curah hujan hingga 37 persen.

Foto udara sawah yang mengalami gagal panen akibat kemarau panjang di Kampung Darim, Losarang, Indramayu, Jawa Barat. TEMPO/M Taufan Rengganis

Sementara itu, di rata-rata daerah di Jawa, curah hujan berkurang 8-18 persen. Kekeringan akan meningkat hingga dua kali lipat sepanjang musim kemarau.

Potensi kekeringan bakal kian parah karena naiknya temperatur maksimum harian. Pada saat itu, temperatur di Pulau Jawa berpotensi meningkat 1,7°-3,1° Celsius.

Suhu tertinggi yang mencapai 40° Celsius mungkin akan dialami beberapa kabupaten, seperti Indramayu, Cirebon, Subang, Karawang, dan Kota Yogyakarta. Di daerah tersebut, jumlah hari dengan suhu sangat ekstrem akan naik delapan kali lipat dibanding pada saat ini.

Pada akhir abad ke-21, rata-rata wilayah Jawa akan mengalami 209 hari berturut-turut dengan suhu maksimum harian yang sangat ekstrem (rerata di atas 36° Celsius). Padahal, secara historis, suhu ekstrem rata-rata tersebut hanya terjadi selama empat hari berturut-turut.

Rerata perubahan relatif (%) hujan akumulatif 5-harian (Rx5day) maksimum tahunan selama akhir dekade (2060–2100) terhadap periode historis (1985–2014). Simulasi berdasarkan skenario emisi tinggi (RCP8.5). Foto: Dokumen Vempi Satriya Adi Hendrawan/Via The Conversation

Dampak Kekeringan terhadap Pertanian

Penumpukan emisi di atmosfer pada 2100 juga akan membuat 10 persen daerah Pulau Jawa (sekitar 13 ribu kilometer persegi) berisiko mengalami kekeringan. Daerah yang terkena dampak ini merupakan lembah-lembah lahan pertanian dataran rendah yang subur sekaligus penyangga kebutuhan beras di Indonesia.

Di kawasan pantai utara Jawa, daerah yang terkena dampak adalah Pandeglang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Pati, Grobogan, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.

Sementara itu, daerah di kawasan selatan, seperti Gunungkidul, Jember, Cianjur, Sukabumi, dan Cilacap, juga turut terkena imbasnya.

Kekeringan dapat mengurangi tampungan air untuk irigasi. Hal ini pada akhirnya akan mengancam ketersediaan air untuk pertanian.

Jika emisi tidak dikurangi secara maksimal, krisis pengairan akan mengancam produksi pertanian. Hal tersebut dapat menaikkan harga bahan pangan akibat kelangkaan di dalam negeri hingga mengancam ketahanan pangan negara.

Rerata perubahan relatif (%) hujan total tahunan selama akhir dekade (2060–2100) terhadap periode historis (1985–2014). Simulasi berdasarkan skenario emisi tinggi (RCP8.5). Foto: Dokumen Vempi Satriya Adi Hendrawan/Via The Conversation

Fenomena cuaca El Nino juga akan membuat risiko kekeringan lebih tinggi di masa depan. Studi lain meramalkan bahwa El Nino akan terjadi lebih sering dan parah.

Pasokan listrik dari pembangkit yang mengandalkan stabilitas debit air bendungan juga dapat terganggu. Hal ini sudah terbukti di Sulawesi Selatan yang mengalami banyak kejadian byar-pet alias pemadaman bergilir pada musim kering tahun lalu.

Panas Menyengat di Perkotaan

Penelitian kami juga mencatat, pada 2100, semua penduduk Jawa akan merasakan kenaikan suhu setidaknya 1,5°-2,5° Celsius. Bahkan mayoritas penduduk (63 persen) yang bermukim di kota-kota padat penduduk, seperti Jabodetabek, Surabaya, Bandung, dan Semarang, dapat terkena dampak kenaikan suhu 3° Celsius atau lebih.

Kenaikan suhu, apabila terjadi saat musim kemarau, berisiko memicu intensifikasi suhu panas di perkotaan (urban heat).

Meskipun ancamannya tidak akan seserius di negara subtropis, suhu panas ekstrem di kota dapat meningkatkan kebutuhan pendinginan dalam ruangan. Walhasil, pada saat seperti itu, konsumsi energi juga akan meningkat.

Sementara itu, bagi puluhan juta penduduk kota-kota besar di Jawa yang tidak memiliki akses pendinginan yang memadai, panas ekstrem dapat menurunkan kebugaran, menimbulkan gangguan kecemasan, bahkan menyebabkan kematian.

Tak Hanya Kekeringan

Tak hanya kekeringan, studi kami juga meramalkan kenaikan hujan deras ekstrem di sepanjang dataran tinggi Pulau Jawa. Kenaikannya rata-rata 5,6 persen di dataran tinggi—apabila dihitung berdasarkan total hujan selama lima hari berturut-turut.

Hujan yang makin deras dan sering di wilayah hulu sungai berisiko memicu banjir bandang dan banjir kiriman ke kawasan bantaran sungai di daerah hilir. Fenomena ini juga menaikkan ancaman tanah longsor di lereng-lereng curam.

Rerata perubahan relatif (%) hujan akumulatif 5-harian (Rx5day) maksimum tahunan selama akhir dekade (2060–2100) terhadap periode historis (1985–2014). Simulasi berdasarkan skenario emisi tinggi (RCP8.5). Foto: Dokumen Vempi Satriya Adi Hendrawan/Via The Conversation


Ada sekitar 10 juta penduduk di kawasan yang membentang di sepanjang pegunungan Jawa, dari hulu Sungai Cidanau di Banten hingga Sungai Bajulmati, Banyuwangi, yang berisiko menjadi korban.

Ini belum termasuk kerugian materi apabila bangunan dan hewan ternak tersapu air bah ataupun tanah longsor. Pasokan komoditas tanaman hortikultura yang acap ditanam di dataran tinggi, seperti kentang dan tomat, juga dapat terganggu.

Jika meluas, banjir dari hulu juga dapat merusak pertanian padi. Hal ini terjadi di bantaran sawah Bengawan Solo pada 2007 dan 2013.

Antisipasi Sejak Dini

Pembuat kebijakan, akademikus, dan masyarakat harus bekerja sama mengembangkan serta menerapkan strategi guna mengurangi dampak peningkatan kejadian ekstrem di masa depan. Proses pengambilan keputusan juga perlu disertai kesadaran akan potensi perubahan di masa depan.

Sektor pertanian Indonesia perlu berbenah. Kita bisa melakukan upaya seperti memperbaiki sistem pengelolaan irigasi serta menerapkan praktik pertanian yang tahan terhadap kekeringan dan panas ekstrem. Petani dan masyarakat juga perlu kita libatkan dalam upaya beradaptasi dengan peningkatan suhu.

Kita pun perlu memperhatikan ancaman banjir dan tanah longsor, khususnya di hulu sungai-sungai besar di Jawa. Pemerintah perlu meredam alih fungsi lahan, mencegah sedimentasi, serta memulihkan ekosistem alami di sepanjang daerah aliran sungai, juga di daerah tangkapan air di kawasan hulu.

Rumah terendam banjir di Desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah. TEMPO/Budi Purwanto

Perancangan infrastruktur mitigasi banjir juga harus mulai mempertimbangkan perubahan pola hujan ekstrem dan banjir di masa depan. Sebagai contoh, dimensi infrastruktur pengendali banjir seperti tanggul tidak bisa lagi kita desain berdasarkan data-data empiris masa lalu.

Sebaliknya, Indonesia harus mendesain dimensi bangunan-bangunan infrastruktur mitigasi bencana dengan mempertimbangkan perubahan pola hujan ekstrem masa depan.

Indonesia juga perlu berinvestasi dalam sistem peringatan dini dan perbaikan infrastruktur pencegah bencana untuk mengurangi risiko bencana yang berkaitan dengan cuaca ekstrem. Mitigasi bencana terbukti sangat efektif dan efisien dalam mengurangi kerusakan, korban jiwa, dan kerugian materi ketika bencana terjadi.

Selain itu, saat melakukannya, pemerintah harus memastikan partisipasi masyarakat secara aktif dalam sistem kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana. Hal ini bertujuan meningkatkan pemahaman warga seputar risiko bencana agar mereka bisa meredam dampaknya.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024

  • 31 Oktober 2024

  • 30 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan