Urgensi Mendinginkan Kawasan Urban
Suhu di perkotaan akan terus meningkat seiring dengan kenaikan suhu bumi. Upaya mendinginkan kawasan urban harus segera dimulai.
PENINGKATAN temperatur bumi, sebagai salah satu buntut dari perubahan iklim, telah menjadikan kota-kota kita makin panas. Apa dampaknya bagi kehidupan penduduk kota dan bagaimana mengatasinya?
Laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan suhu rata-rata global saat ini berada antara 0,8 derajat Celsius dan 1,2 derajat Celsius di atas suhu pra-industri pada 2017. Setiap dekade, kenaikan suhu bumi mencapai 0,2 derajat Celsius per dekade. Menurut IPCC, pada 2070, satu dari setiap tiga orang di seluruh dunia akan hidup dalam kondisi cuaca yang jauh lebih panas, dengan suhu rata-rata tahunan lebih dari 29 derajat Celsius.
Secara umum, temperatur di wilayah perkotaan saat ini cenderung lebih panas dibanding wilayah perdesaan dengan tingkat pemanasan dua kali lipat dibanding rata-rata global. Hal ini terjadi sebagai efek pulau panas perkotaan (urban heat island). Penyebabnya, kawasan perkotaan menyerap lebih banyak radiasi matahari, memiliki lebih sedikit vegetasi, melepaskan panas yang terkumpul lebih lambat, dan menghasilkan lebih banyak limbah panas dari emisi kendaraan.
Para ahli memperkirakan kota-kota besar di dunia mengalami peningkatan suhu sebesar lebih dari 2 derajat Celsius pada 2050. Adapun kota-kota berukuran sedang akan mengalami pemanasan sebesar 1 derajat Celsius.
Lonjakan Penyakit dan Kematian
Laporan World Resources Institute menyatakan cuaca panas telah menjadi bencana paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Situasi tersebut telah menewaskan sekurangnya 490 ribu orang di seluruh dunia dan menyebabkan masalah kesehatan yang parah bagi lebih banyak orang.
Faktanya, kondisi cuaca yang panas dapat meningkatkan lonjakan jumlah penyakit yang berhubungan dengan panas, termasuk kelelahan akibat panas dan sengatan panas (heat stroke). Dalam hal ini, populasi yang rentan, seperti mereka yang telah lanjut usia, anak balita, dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan buruk, menghadapi risiko yang lebih tinggi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian akibat cuaca panas diperkirakan meningkat sebesar 50 persen pada 2050.
Dalam hal aspek lingkungan, suhu panas pada perkotaan membawa implikasi negatif setidaknya pada dua hal. Pertama, tekanan pada ekosistem perkotaan. Temperatur yang terus meningkat dapat merusak vegetasi dan ruang hijau perkotaan sehingga menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya estetika kawasan perkotaan. Akibatnya, kapasitas kota dalam menyediakan kawasan hijau pun kian melemah.
Kedua, memperburuk pencemaran udara. Temperatur yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan ozon di permukaan tanah yang merupakan komponen utama kabut asap. Emisi polutan dari emisi kendaraan dan industri pun kian meningkat. Kombinasi panas dan polusi udara bakal makin memperburuk kualitas udara kawasan perkotaan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan risiko kesehatan yang makin serius bagi penduduk perkotaan.
Adapun dalam konteks kehidupan sosial, temperatur yang lebih tinggi rupanya berkorelasi dengan meningkatnya angka tindakan kejahatan dan kekerasan. Peningkatan suhu tahunan sebesar 1 derajat Celsius dihubungkan dengan rata-rata peningkatan angka pembunuhan sebesar 6 persen (Mares & Moffett, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa cuaca panas dapat memperburuk perbedaan kualitas hidup perkotaan antar-lingkungan melalui pengaruhnya terhadap kejahatan (Heilmann & Kahn, 2019).
Dalam konteks tersebut, korelasi antara suhu panas dan perilaku agresif atau kekerasan juga mempunyai implikasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya, perempuan dan anak-anaklah yang paling menanggung dampak dari kondisi tersebut (Cooper, 2019; Anderson & Delisi, 2011).
Lantas, hal apa yang perlu dilakukan untuk memitigasi peningkatan temperatur di kawasan perkotaan ini? Memahami dampak negatif cuaca panas perkotaan sangat penting dalam merumuskan strategi efektif untuk memitigasi berbagai dampaknya. Terutama dampak terhadap masyarakat yang termasuk kelompok rentan.
Dengan menyesuaikan komponen tutupan lahan, sebagai kontributor terbesar terhadap peningkatan temperatur, kawasan perkotaan dapat menurunkan suhunya secara drastis. Dalam hal ini, peningkatan infrastruktur, baik alami maupun buatan, umumnya dapat menurunkan suhu udara kota sebesar 3-4 derajat Celsius.
Infrastruktur alami mencakup infrastruktur hijau berupa pepohonan yang mampu melakukan evapotranspirasi (melepaskan air ke udara) sekaligus memberikan keteduhan. Selain itu, infrastruktur biru berupa sungai, danau, kolam, dan lahan-lahan basah lainnya dapat memoderasi cuaca perkotaan dengan cara mempengaruhi suhu dan kelembapan lingkungan sekitar melalui proses penguapan, konveksi panas, serta penyerapan radiasi sinar matahari.
Adapun infrastruktur buatan dapat berupa material-material pemantul sinar matahari yang dipasang pada atap, jalan, dinding bangunan, dan permukaan lainnya. Keberadaan infrastruktur semacam ini dapat segera mengirimkan panas kembali ke atmosfer dan tidak membiarkan panas terakumulasi di permukaan tanah.
Para pengelola kota sudah seyogianya melakukan investasi strategis untuk menunjang ketersediaan infrastruktur-infrastruktur tersebut. Dengan demikian, kota yang mereka kelola memiliki resiliensi yang lebih kuat dalam menghadapi kecenderungan peningkatan temperatur kawasan perkotaan, baik untuk masa kini maupun masa mendatang.