Menelusuri Sejarah Bahasa Anak Jaksel
Campur aduk bahasa ciri bahasa anak Jaksel. Mulai muncul pada 1950-an seiring pembangunan perumahan elite di Kebayoran Baru.
Istilah “bahasa anak Jaksel” tidak asing lagi di telinga kita. Istilah ini sering diartikan sebagai gaya percampuran antara bahasa Inggris dan Indonesia yang banyak digunakan oleh anak-anak muda urban—salah satu stereotipenya adalah mereka yang tinggal di Jakarta Selatan (Jaksel).
Misalnya, kita sering mendengar ungkapan-ungkapan bahasa Inggris, seperti “which is” (yang merupakan), “literally” (benar-benar), hingga “basically” (pada intinya), yang dicampur ke kalimat-kalimat bahasa Indonesia. Bahkan tak jarang kata-kata tersebut begitu populer di ruang maya sehingga viral dan digunakan secara luas oleh masyarakat di penjuru negeri.
Fenomena ini pun menjadi pemicu munculnya sejumlah istilah “bahasa gaul” baru yang populer digunakan dalam komunikasi di media sosial, seperti “fear of missing out” atau FOMO (takut ketinggalan berita atau tren) hingga “correct me if I’m wrong” atau CMIIW (koreksi aku jika salah).
Bagi sebagian orang, gaya bahasa ala anak Jaksel ini melambangkan tingkat pendidikan dan kelas sosial yang lebih tinggi. Hal ini mungkin benar adanya. Tapi fenomena ini sebenarnya bisa dikaji lebih dalam dari perspektif sejarah, tata ruang, dan kebahasaan.
Bagaimana sejarah kebudayaan dan tata ruang Jakarta Selatan melahirkan bahasa percampuran ala anak Jaksel?
Ilustrasi-Pengunjung menikmati makanan dan minuman di salah satu kafe di Kebayoran Baru, Jakarta. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
Sejarah
Sejarah subkultur ala anak Jaksel bisa dibilang mulai muncul dengan pembangunan kawasan Kebayoran Baru di Jakarta. Pada 1948, karena masalah keterbatasan akses perumahan, sebuah kawasan permukiman dibuka di Kebayoran, yang dulunya dihuni penduduk asli.
Sejarawan Susan Blackburn (dulunya Susan Abeyasekere) menulis bahwa Kebayoran Baru, yang awalnya dibangun untuk semua kalangan, justru berujung terisi oleh kelompok elite urban. Berbagai kantor pemerintahan dan perusahaan membeli banyak rumah untuk pegawai mereka di Kebayoran Baru sehingga wilayah itu menjadi didominasi oleh karyawan dan orang-orang yang berpendidikan dan mampu secara ekonomi.
Nasib penduduk asli wilayah tersebut yang terpinggirkan juga digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam cerpennya, Berita dari Kebayoran (1957).
Baca: Bulungan, Tempat Paling Gaul di Kebayoran Baru
Kelas sosial ini kemudian membentuk budaya urban yang baru. Ahli sejarah Indonesia asal Australia, Merle C. Ricklefs, mencatat bahwa pada periode 1950-an, kaum elite urban cenderung memandang rendah kebanyakan orang yang tak berbahasa asing, terutama bahasa Belanda. Hal ini juga diamini Blackburn, yang melihat bahasa sebagai pembeda kelas sosial.
Karena kurangnya rujukan, kaum elite kota melihat dunia Barat sebagai model untuk membentuk masyarakat urban. Pada 1950-an, sumber referensi tentang budaya urban Barat selain dari Eropa adalah Amerika Serikat (AS).
Selain itu, pada dekade tersebut berlangsung proses “de-Eropanisasi” sebagai efek dekolonisasi. Namun, di tengah menurunnya pengaruh Eropa, tren tersebut justru memberi peluang bagi masuknya pengaruh budaya Amerika dari berbagai lini, termasuk lewat film-film Hollywood yang amat populer.
Dalam konteks Perang Dingin, AS memang aktif mengekspor budaya populernya ke Indonesia untuk memperluas pengaruhnya. Departemen Perdagangan AS mencatat, pada 1955, misalnya, negara tersebut turut serta dalam acara Djakarta Fair dan membangun sebuah paviliun. Paviliun ini populer di kalangan masyarakat karena menampilkan televisi yang masih asing untuk orang Indonesia saat itu.
Secara bahasa, masuknya pengaruh Amerika ini mempunyai efek lain: bahasa Inggris menjadi sebuah pembeda di antara kelas-kelas sosial pada masyarakat kota. Pengaruh bahasa Inggris via AS ini pun turut mendorong perkembangan subkultur Jaksel pada masa awal, dengan munculnya sebuah istilah yang disebut “jengki”.
Tata Ruang
Istilah jengki yang populer pada periode 1950-an sampai 1960-an bukan hanya produk budaya, tapi juga spasial.
Jengki, dari istilah “yankee” (sebutan informal untuk orang AS meski terkadang bisa bersifat ofensif tergantung konteks), merujuk pada apa pun yang dianggap keren pada masa itu—banyak di antaranya merupakan bawaan budaya AS. Contohnya, celana greaser yang kerap dipakai oleh pemusik rock ‘n roll disebut sebagai “celana jengki”.
Pada awal 1950-an, biro arsitek Job en Sprey di Cikini juga merancang rumah pegawai Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM), anak perusahaan minyak dan gas Shell di Indonesia. Rumah-rumah yang bertempat di Jalan Martimbang, Kebayoran Baru, ini berwujud khas dan modern—meski sebenarnya desainnya merupakan respons terhadap iklim tropis di Indonesia dan agar talang air terlihat rapi.
Karena wujudnya yang diasosiasikan dengan modernitas, rumah-rumah berwujud serupa disebut sebagai “rumah jengki”.
Deretan rumah jengki di Kebayoran Baru, Jakarta, 28 Juni 2018. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat
Pada masa 1950-an pula, Kebayoran Baru dianggap sebagai ruang berkembangnya modernitas urban dan rumah jengki pun makin banyak bermunculan. Fasilitas di sana dianggap lebih modern daripada di Menteng, yang dikembangkan antara 1910 dan 1918.
Asosiasi daerah Kebayoran Baru dengan modernitas bisa jadi kemudian membuat kawasan permukiman ini dipilih menjadi latar film populer seperti Tiga Dara (1957).
Saat Jakarta diperluas pada pertengahan 1950-an, Kebayoran Baru menjadi bagian dari Ibu Kota. Kebayoran Baru menjadi bagian pertama di Jakarta Selatan yang direncanakan dan tertata. Kawasan ini kemudian menjadi katalis bagi perkembangan wilayah lain di Jakarta Selatan.
Penggunaan istilah dan berkembangnya tren “jengki” secara spasial menunjukkan semakin luasnya pengaruh bahasa Inggris, terutama Inggris Amerika, dalam keseharian warga di Jakarta Selatan pada masa itu. Penggunaan bahasa Inggris juga tampak dalam penamaan geng-geng remaja waktu itu, misalnya Cross Boys, seperti yang dicatat oleh Blackburn.
Tak Muncul dalam Ruang Hampa
Pengaruh budaya AS pada 1950-an hingga 1960-an merupakan periode paling krusial yang membuka pintu masuk budaya AS di Indonesia pada masa-masa awal—tren yang terus berlanjut hingga periode-periode berikutnya. Hal ini tentu memberikan pengaruh besar terhadap bagaimana anak Jakarta pada masa itu dan di kemudian hari berbahasa.
Meminjam kata-kata filsuf asal Prancis, Henri Lefebvre, pada akhirnya, sebuah ruang tidak muncul begitu saja, melainkan ia tercipta karena dinamika sosial.
Subkultur Jaksel yang populer dewasa ini lahir dari proses dan dinamika sosial kompleks yang telah berlangsung sejak kemerdekaan. Ia dibumbui dengan pergolakan politik dan kebudayaan dunia serta perubahan tatanan global.
Hal ini kemudian memungkinkan bertemunya gaya hidup ataupun bahasa baru dalam satu ruang yang sama. Pertemuan ini, menurut ahli sosiolinguistik Li Wei dari University College London (UCL) di Inggris, secara tak terelakkan mendorong percampuran kata dan bahasa—sebagai wujud kreativitas dan kekritisan terhadap sejarah dan budaya—serta membentuk tatanan sosiokultural baru dalam ruang tersebut.
Dalam konteks ruang urban, peneliti linguistik, Alastair Pennycook dari University of Technology Sydney (UTS) di Australia, menyebut keunikan percampuran bahasa seperti ala anak Jaksel ini sebagai “spatial repertoire”, yakni khazanah bahasa dan budaya yang hanya bisa diamati di tempat tertentu—which is hal yang unik bagi Jakarta Selatan.
---
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Iqwan Sanjani, kandidat doktor sosiolinguistik UNSW Sydney, Australia, dan Mohammad Nanda Widyarta, doseh sejarah arsitektur Universitas Indonesia. Terbit pertama kali di The Conversation.