Sinta panik ketika ia tak mendapati ibunya di rumah, padahal ia membutuhkan ibunya untuk bisa hadir dalam persiapan upacara pernikahannya dengan Vikash. Tak ada pesan yang bisa menenangkan Sinta (Lala Karmela). Ibunya, Widhi (Cut Mini), pun tak bisa dihubungi. Sinta hanya menemukan sebuah foto tua yang memperlihatkan tiga anak berpose di Candi Borobudur. Ia pun meminta Vikash (Sahil Shah) membujuk orang tuanya menunda acara persiapan itu. Sinta yang lahir dan besar di India-hasil perkawinan ibunya dari Jawa dan ayahnya dari India-langsung terbang ke Indonesia yang tak pernah dikunjungi sebelumnya.
Sampailah Sinta di kawasan Candi Borobudur yang megah itu, dengan membawa koper besar. Dia bertemu dengan Panji (Dimas Aditya)-seorang mahasiswa antropologi yang bertengkar dengan pemandu wisata. Panji, yang tak jelas asal-usulnya, kemudian membantu mengantarkan Sinta menemukan ibunya di homestay milik Dimas (Dian Sidik), adik ibu Sinta.
Sinta berusaha membujuk ibunya pulang ke India demi pernikahannya. Namun, sang ibu berkukuh tak mau kembali dan menyelesaikan persoalan keluarganya. Dari sinilah kemudian perlahan-lahan tabir rahasia ibunya dan keluarganya mulai terkuak, apalagi ketika kemudian Sinta pun diculik oleh sekelompok pencuri arca.
Film Kuambil Lagi Hatiku yang disutradarai Azhar Kinoi Lubis ini berkisah tentang drama keluarga dengan bumbu percintaan Sinta dan Vikash serta perbedaan budaya India-Indonesia. Kisah ini menyuguhkan perbedaan budaya dan status sosial, tentang kisah cinta dan masa lalu ibunya. Karena percintaannya dengan lelaki India, sang ibu dibuang dari keluarga. Mereka pun pergi dan hidup di India. Sinta lahir dari percintaan terlarang itu. Ia pun dijauhkan dari kegemarannya menari karena luka batin sang ibu.
Untuk menampilkan keragaman budaya, para tokoh harus menampilkan percakapan dalam dua bahasa, India-Indonesia. Lala Karmela sebagai Sinta boleh diacungi jempol untuk kelancaran berbahasa India. Cut Mini juga lumayan dalam dialog berbahasa Indianya. Bahkan, ia sesekali berceloteh dalam bahasa Jawa, seperti ketika berbicara dengan asisten rumah tangganya (Ence Bagus). Sayangnya bahasa Jawa yang disampaikan Ence berlepotan.
Cerita drama keluarga dengan bumbu percintaan ini agak dipaksakan dengan adanya adegan penculikan dan pencurian arca. Meski begitu, penonton masih bisa mendapatkan hiburan dari tingkah kocak kadang konyol dari tokoh Dimas, bungsu dari keluarga ningrat yang terobsesi menjadi bintang film. Atau tokoh Dewi (Ria Irawan), yang mengurus bisnis keluarga-terlihat tegas, galak, dan jaim tapi hatinya mudah meleleh-atau Marwoto, komedian yang berakting sebagai penjahat.
Hal yang cukup menarik dari film ini adalah para tokoh perempuan yang cukup mandiri dan berani mengambil keputusan dengan konsekuensi yang harus dihadapi tanpa menjadi cengeng dan berlebihan. Jika pun ada air mata, air mata itu adalah ekspresi emosi yang wajar.
Boleh dikatakan produksi film Kuambil Lagi Hatiku adalah upaya menghidupkan lagi institusi Produksi Film Negara (PFN) yang sudah mati suri selama 26 tahun. Mohamad Abduh Aziz, Direktur Utama PFN, mengatakan sangat lega, PFN akhirnya ikut terjun mencoba peruntungan pasar. "Harapannya setelah film ini, bisa memproduksi film-film selanjutnya," ujar Abduh seusai pemutaran film di Epicentrum XXI.
Untuk memproduksi film layar lebar ini, PFN bekerja sama dengan PT Wisata Candi Borobudur yang mengelola Candi Borobudur dan Wahana Kreator Nusantara serta sejumlah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) lainnya. Setidaknya dibutuhkan biaya produksi mencapai Rp 7 miliar. "Sekarang sudah agak ringan. Sebelumnya, saya harus meyakinkan perusahaan BUMN bahwa PFN bisa membuat film, dan ini sudah terbukti," ujarnya.
PFN berani terjun ke pasar industri film, bersaing dengan rumah produksi atau produser besar dengan mengandalkan nilai-nilai budaya Indonesia yang akan tampil di film. Seperti Kuambil Lagi Hatiku, kata Abduh, film ini ingin menonjolkan nilai keberagaman, nilai kekayaan budaya di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan tokoh-tokoh yang hidup di negara lain, seperti India, tapi masih mengingat akar budayanya sebagai orang Jawa dan Indonesia. Juga kekayaan budaya dengan lokasi syuting Candi Borobudur dan budaya gotong royong masyarakat.
Sebelum film ini, PFN berusaha bangkit dengan menggarap materi audio-visual promosi untuk produk institusi di bawah Kementerian BUMN. Mereka juga masih memproduksi film si Unyil yang menjadi ikon sejak lama melalui serial Petualangan Si Unyil dengan format animasi tiga dimensi (3D). Film anak-anak ini saat ini ditayangkan oleh salah satu televisi swasta. Pada masa aktifnya dulu, PFN memproduksi sejumlah film dokumenter bertema kepahlawanan, film cerita pendidikan dan penerangan, serta propaganda pemerintah. Dua film terakhir yang digarap adalah Pelangi di Nusa Laut (1992) dan Surat untuk Bidadari (1994). DIAN YULIASTUTI