Istiqomatul Hayati
Wartawan Tempo
Jaraknya memang tak jauh, cuma 40 kilometer dari rumah jabatan Bupati Belu Willybrodus Lay di Nusa Tenggara Timur. Namun, untuk menyaksikan puncak perayaan Festival Fulan Fehan di puncak Gunung Lakaan, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, tepat di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, membutuhkan upaya yang luar biasa. Dengan ketinggian 1.562 meter, Gunung Lakaan merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Medan menuju Lamaknen itu begitu sulit sekalipun ditempuh dengan mobil. Jalanannya masih berupa tanah, naik-turun bukit, melewati kubangan lantaran jembatan sedang diperbaiki, tanah yang tandus dan udara terasa panas, serta tikungan yang tajam. Semua itu benar-benar membuat perjalanan selama satu setengah jam tersebut terasa lama. Total kami melewati tiga kecamatan sebelum masuk ke puncak Gunung Lakaan, yakni Tasifeto Timur, Lasiolat, dan Lamaknen.
Saya dan Fadwa Langka dari TelusuRI sengaja menumpang mobil Satuan Polisi Pamong Praja yang berbak terbuka bersama sepuluh petugas Satpol PP, yang memang menjadi pembuka jalan iring-iringan rombongan. Sepuluh menit pertama memang mengasyikkan. Apalagi saat ditunjukkan bahwa perbukitan di sisi kiri yang kami lewati itu sudah masuk negara Timor Leste. Sesaat saya merasakan "wow" untuk sesuatu yang sulit digambarkan.
Namun kencangnya angin kemudian memporak-porandakan jilbab saya. Suara bising sirene dari mobil Satpol PP itu terasa menghantam kepala. Belum lagi teriakan-teriakan petugas Satpol PP saat meminta pengendara lain menepikan kendaraannya. "Belum sarapan dan makan siang, kencangnya mobil ditambah jalan yang geronjal bikin perasaan tak karuan," kata Fadwa. Ia kemudian terdiam. Ia mungkin sedang meredakan amarah di perutnya. Saya pun memutuskan menelan obat untuk membuang mual, kemudian tidur selama sepuluh menit sisa perjalanan sebelum sampai di rumah adat Dirun untuk melihat upacara penerimaan adat dari Bupati Belu kepada para tamu undangan.
Di rumah adat Dirun yang bernama loos (Dirun adalah nama desa), para tamu undangan terpilih dipanggil satu per satu untuk masuk ke rumah panggung. Mereka dipakaikan kain tenun langsung oleh Bupati Belu Willybrodus Lay satu demi satu. "Ini sebagai simbol sudah diterima sebagai warga Belu," ujar Bupati sambil mengikat kain tenun di selendang tenun kepada seorang pejabat dari Jakarta.
Setelah berfoto di depan rumah adat loos itu, perjalanan menuju Festival Fulan Fehan dilanjutkan kembali. Saat itu, saya baru tahu bahwa Pak Willy memilih mengendarai sepeda motor trail-nya bersama iringan sepeda motor trail lain. Dari caranya mengemudi di jalanan terjal itu, ia terlihat sudah terbiasa touring berkendara dengan sepeda motor.
Untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung, saya dan Fadwa memutuskan berpindah ke mobil double cabin. Jalanan makin menanjak dan tikungan makin curam. Jika tidak melewati jurang, di samping kiri terhampar rimbunnya pohon kaktus. "Di Australia, bunga kaktus ini dijadikan selai dan harganya mahal," kata Mardiyah Chamim, Direktur Eksekutif Tempo Institute, yang satu mobil bersama kami.
Festival Fulan Fehan itu memang diprakarsai Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan pemerintah daerah dan Tempo Institute melalui platform Indonesiana. Festival tahunan itu bertujuan melestarikan kebudayaan yang hidup di perbatasan agar tidak hilang ditelan waktu. "Festival ini untuk merayakan persahabatan di daerah perbatasan," kata Bupati Willy saat memberikan sambutannya.
Perjalanan sempat tersendat lantaran antrean masuk ke puncak. Terus terang, saya merasa jeri karena mobil sempat tersendat dan susah ditahan meski Vincent, pengemudi yang mengantar kami, terus menggerakkan kopling. Ia lalu berteriak kepada warga lokal yang menumpang di kabin belakang untuk turun dan mencari pengganjal roda agar mobil tidak terguling.
Begitu sampai di puncak, yang ternyata berupa hamparan sabana, rupanya ribuan penduduk sudah menyemut menunggu pergelaran puncak festival. Untuk berlindung dari panas matahari yang lumayan terik, mereka berpayung daun lontar yang dianyam sendiri. Di depan tenda dari jerami dan rotan itu, ada panggung yang memanfaatkan bukit Teletubbies tersebut. Panggung itu sudah siap mempertontonkan drama tari kolosal.
Festival Fulan Fehan sudah dua tahun belakangan digelar. Tahun lalu, festival juga diadakan pada bulan yang sama, Oktober, di sisi lain bukit Teletubbies, untuk memperingati Sumpah Pemuda. Bekraf kemudian menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata guna menggelar Festival Fulan Fehan untuk kedua kalinya.
Festival Persahabatan di Perbatasan
Dalam festival yang saya datangi itu, warga berpesta menonton pertunjukan drama tari musikal antama, yang berarti berburu di hutan. Ada sekitar 2.000 penari usia 11-18 tahun dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Belu yang dilibatkan dalam drama tari antama atau berburu masuk hutan dalam perayaan ini.
Mereka dilatih Eko Supriyanto, atau lebih dikenal dengan nama panggung Eko Pece, dosen Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta. Eko Pece adalah koreografer upacara pembukaan dan penutupan Asian Games 2018 yang menghebohkan warga Asia. "Semula hanya diikuti 1.200 penari, tapi selama latihan terus bertambah, orang datang dari berbagai desa. Mereka bawa alat musik sendiri, kain sendiri, minta diikutkan. Hingga akhirnya total ada 2.000 penari yang berlatih selama dua pekan," ucap Willy.
Willy mengatakan Festival Fulan Fehan menghadirkan festival dari pinggiran Indonesia untuk Indonesia. Festival juga diadakan untuk menunjukkan bahwa wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste ini menjadi wilayah perbatasan paling damai. "Kami ingin merajut Indonesia dari perbatasan sekaligus membikin perbatasan ini jadi paling aman di dunia," tutur Willy.
Untuk menghadirkan suasana persahabatan, Willy juga mengundang para kepala daerah di Nusa Tenggara Timur, Bupati Halmahera Barat; di Maluku Utara, Danny Missy; serta perwakilan dari Konsulat Timor Leste di Indonesia. Drama antama ini berpijak pada tari likurai. Tarian ini sudah biasa dibawakan orang Timor sejak kecil. Hanya tiga daerah yang memiliki gerakan yang sama, yakni Timor Leste, Kabupaten Malaka, dan Belu. Tari likurai biasanya dilakukan sebagai upacara ritual menyambut warga setelah memenangi peperangan atau sebelum berburu.
Raja Dirun, Alfons Deremali, menuturkan antama merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan orang Timur. Setiap tahun, sebelum antama digelar, raja akan mengundang 38 suku untuk mengirim lima atau enam orang dalam perburuan itu. Jadi, bayangkan saja berapa pasukan yang hendak berburu ke dalam hutan. "Kami berburu apa saja, memburu hewan liar diawali dengan upacara ritual," ujarnya. Upacara itu untuk memohon kekuatan dan restu nenek moyang agar mereka kembali dengan selamat.
Namun, kata Alfons, tradisi ini sudah hilang. Seingat dia, tradisi ini sudah tidak lagi dilakukan sejak 1997 lantaran lahan liar tak ada lagi. Peperangan pun tak ada. "Jadi, sekarang tarian diadakan untuk pelestarian saja," tuturnya.
Akhirnya yang ditunggu pun muncul. Diawali dengan kemunculan ratusan pemusik dari balik bukit, yang memainkan musik magis dari tiupan seruling panjang. Ada dirigen yang mengatur ritme bak orkestra di padang sabana. Magis dan berhasil menyihir penonton untuk tak berkedip.
Kemudian datang ratusan perempuan membuka tarian dengan memukul alat musik tabor (semacam kendang). Seorang pria yang dikisahkan dewasa menceritakan tentang kejayaan daerah.
Dalam satu adegan, sempat muncul peragaan busana adat Timor yang dipertunjukkan puluhan laki-laki dan perempuan berwajah elok. Lalu adegan seperti peperangan, yang saya lihat dari pertemuan ratusan laki-laki bersenjatakan tombak dengan sahutan irama tabor.
Keseluruhan tari kolosal ini berlangsung sekitar satu jam. Penonton terus disihir dengan gerakan tari yang dinamis dan musik yang magis, juga mata yang dimanjakan motif-motif kain tenun kreasi mama-mama dan nona-nona dari tepian Indonesia. Cantik, magis, dramatis, dan kolosal.
Secara keseluruhan, saya sangat menikmatinya meski sesekali tertidur lantaran efek obat mual dan belum istirahat dari perjalanan panjang Jakarta-Belu. Rasanya lunas sudah untuk perjuangan sebelum menonton pertunjukan drama antama itu. Oktober tahun ini, jika ada kesempatan lagi, saya harus menikmatinya dengan kondisi fisik lebih prima.