Sidik Nugroho
Guru
Seorang wartawan yang telah lama berkecimpung di dunia jurnalistik, 25 tahun lebih, pensiun pada 2017. Beberapa tahun sebelum pensiun, dia kembali menyukai hobi lamanya, yakni bersepeda. Purwanto Setiadi, wartawan itu, menuliskan catatan-catatan perenungannya yang sangat beragam tentang sepeda.
Catatan-catatannya di buku Solilokui Sepeda ini tak berhubungan satu sama lain. Bukan seperti urutan bab yang runut dalam sebuah novel. Catatan-catatannya ada yang ringan, menghibur, reflektif, bahkan serius. Semua lahir dari kecintaan penulis terhadap sepeda dan bersepeda.
Bersepeda-aktivitas ini tampaknya semakin tak populer, apalagi bagi orang-orang yang hidup di kota besar-mereka dituntut untuk bersicepat. Kendaraan bermotor pun tumpah ruah di jalanan, demi memburu waktu, tuntutan pekerjaan, dan meraih kesempatan. Namun kendaraan bermotor membawa manusia metropolitan terjebak dalam kemacetan dan resah karena polusi udara yang semakin parah. Beberapa tahun lalu sempat muncul kesadaran untuk mengupayakan hidup sehat. Salah satunya dengan bersepeda. Kita pun mungkin akrab dengan acara-acara fun bike itu, walaupun kemudian timbul-tenggelam.
Penulis berkisah telah menjual mobilnya pada 2012. Sejak itu, dia sering menggunakan angkutan umum bila bepergian, terutama bila ke kantor untuk bekerja. Beberapa waktu kemudian, gagasan untuk bersepeda ke kantor-sering disebut bike to work, atau kadang-kadang disingkat B2W-muncul di benaknya. Dari situlah catatan-catatan di buku ini bermula: catatan-catatan yang mirip monolog, atau solilokui, berbincang dengan diri sendiri.
Purwanto mengakui bukanlah pesepeda yang cepat. Ia mengatakan kecepatannya bersepeda ada dalam rentang "gerakan kura-kura" dalam beberapa kesempatan bersepeda beramai-ramai. Suatu ketika, sewaktu mengelilingi sebagian Jakarta, ia berkisah telah langsung mencetak prestasi: tak hanya tertinggal jauh di belakang, tapi juga kehilangan rombongan (halaman 13).
Kisahnya itu tentu membangkitkan senyum, tapi dapat menggugah kesadaran pembaca bahwa bersepeda merupakan cara untuk bersenang-senang dan menikmati kebebasan serta kebahagiaan. Kebahagiaan karena bersepeda tak melulu digambarkan dalam narasi-narasi yang puitis oleh penulis, tapi juga saintifik. Bersepeda dapat membahagiakan karena "bahan kimiawi di dalam otak dan sistem saraf yang berfungsi mengirimkan sinyal antarsel saraf seperti serotonin dan dopamin meningkat" (halaman 7).
Kisah-kisah bersepeda untuk menikmati kebebasan semakin menggugah di bab-bab terakhir di buku ini, yang dikumpulkan dalam satu bagian bertajuk Trip Jauh, Touring. Pembaca akan disuguhi beragam kisah perjalanan ke kota-kota lain dengan bersepeda. Salah satu yang menarik berjudul "Ke Meru Betiri, Kenapa Tidak" (halaman 135-138). Perkebunan yang dilintasi selama perjalanan, kondisi jalan yang penuh tantangan, juga pantai-pantai yang cantik dapat membuat pembaca ingin pula mencicipi pengalaman membahagiakan itu.
Hal menarik lainnya-atau mungkin lebih pas disebut penting-dari buku ini adalah pemikiran-pemikiran penulis tentang peran sepeda dan bersepeda dalam kehidupan sosial. Penulis tak terjebak dalam narsisme hanya mengisahkan pengalaman-pengalamannya sebagai pesepeda, atau malah menggurui pembaca untuk segera bersepeda. Di beberapa bab, ada beberapa kisah yang ia sampaikan untuk memperkuat idealismenya tentang bersepeda, yang dalam hal ini berhubungan dengan perubahan sosial.
Kita bisa membaca kisah Sohaib Samara, pemuda Palestina yang melahirkan grup Cycling Palestine. Dalam waktu dua tahun sejak didirikan, grup itu telah mengantar ratusan pria dan wanita mengunjungi komunitas masyarakat di sepanjang Tepi Barat. Gerakan yang digagas Sohaib adalah gerakan perlawanan.
Suatu ketika, ia dan tujuh temannya bersepeda hingga 455 kilometer dari depan pos pemeriksaan Qalandia dan berakhir di Aqaba. Perjalanan itu membuat mereka melintasi titik-titik perbatasan yang dikuasai Israel, Palestina, dan Yordania. Dalam kehidupan sehari-hari, Israel memberlakukan berbagai batasan terhadap warga Palestina. Sohaib pun sering menghadapi pos pemeriksaan Israel saat bersepeda bersama teman-temannya. Perlawanan Sohaib dengan bersepeda menegaskan bahwa bangsa Palestina merindukan kebebasan.
Ada juga Cycling Without Age, gerakan yang diawali pertemuan Ole Kassow dan Thorkild Thim. Thorkild, berumur 97 tahun, yang tinggal di rumah jompo, suatu ketika diajak Ole bersepeda menggunakan becak yang ia pinjam dari temannya. Pengalaman penuh kebahagiaan itu menular. Sebanyak 600 orang lainnya ikut bergabung kemudian. Ada tukang ledeng, pengacara, pensiunan, pelajar, arsitek, dan lainnya. Gerakan itu tak hanya berhenti di Denmark, negeri asal Thorkild dan Ole, tapi juga menjalar ke seluruh Eropa, menjadi salah satu bentuk gerakan kepedulian kepada lansia.
Ada juga kisah Betsy Price, Wali Kota Forth Worth di Negara Bagian Texas, yang dijuluki "Wali Kota Gila". Perempuan 66 tahun itu suka bersepeda ke berbagai pelosok kota setiap pekan. Bersepeda, yang menghapus suasana formal, dianggapnya bagus untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat berbagai kalangan, membuat orang lebih mudah bercerita tentang apa saja.
Dia berupaya agar 800 ribu penduduk Forth Worth akrab dengan kesehatan. Dia pun meluncurkan Fitworth, kampanye yang berisi program-program untuk kesehatan masyarakat, salah satu di antaranya adalah Tour de Forth Worth, yang berisi kegiatan 21 hari bersepeda.
Itulah beberapa kisah kemanusiaan yang lahir karena kecintaan kepada sepeda. Sepeda tak hanya menyehatkan, membebaskan, tapi juga memberi warna pada kehidupan sosial. Sayangnya, masyarakat kita mudah terpesona oleh mobil-sebagai simbol kesuksesan, bahkan penentu harga diri. Dan Trabue, dalam Bicycle Love: Stories of Passion, Joy, and Sweat, mengatakan: "Saya tak sadar bahwa selama ini dikerangkeng.... Menurut semua reklame, kemerdekaan pribadi dan perempuan-perempuan cantik hanya bisa didapat dengan memiliki dan mengendarai mobil. Begitulah saya diberi tahu dan begitu pula saya percaya."
Solilokui Sepeda
Tebal:
xxvi + 164 halaman
Penulis:
Purwanto Setiadi
Percetakan:
Buring Printing
Edisi:
Cetakan I, Januari 2019