JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) akan meningkatkan produksi produk kelapa sawit tahun ini. Volume crude palm oil (CPO) yang akan dihasilkan mencapai 49 juta ton dan palm kernel oil sebanyak 4,65 juta ton.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menyatakan kenaikan ini dipengaruhi kegiatan pemupukan yang dilakukan tahun lalu. Sepanjang 2020 pun, cuaca cukup bagus sehingga produksi berpotensi meningkat tahun ini. "Harga juga sedang menarik," kata dia, kemarin. Pada 2021, Gapki memperkirakan harga CPO berada di kisaran US$ 850-900 per ton.
Joko yakin produksi tahun ini akan terserap optimal. Gapki memperkirakan mampu mengekspor 37,50 juta ton minyak sawit. Di dalam negeri, kebutuhan sawit juga diperkirakan masih tinggi. Dia berkaca pada kenaikan konsumsi domestik menjadi 17,3 juta ton pada 2020 dari tahun sebelumnya yang hanya 16,7 juta ton.
Kenaikan itu didorong konsumsi oleokimia yang bertambah menjadi 1,69 juta ton. Sementara itu, pada tahun sebelumnya hanya 1,05 juta ton. Permintaan terhadap produk oleokimia, seperti sabun dan hand sanitizier, yang terus meningkat di tengah pandemi berdampak positif bagi industri.
Bongkar-muat minyak sawit mentah atau crude palm oil di Pelabuhan Cilincing, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Ketua Umum Produsen Oleochemical Indonesia, Rapolo Hutabara, mengatakan permintaan dari pasar global juga meningkat tahun lalu. Total ekspor oleokimia pada 2020 sebesar 3,87 juta ton, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,21 juta ton.
Pasar ekspor tahun lalu didominasi Cina dengan total pengiriman hingga 952 ribu ton. Uni Eropa menjadi konsumen terbesar kedua dengan total ekspor 428 ribu ton. Selain itu, Indonesia mengekspor ke Amerika Serikat sebanyak 218 ribu ton dan India 194 ribu ton. "Pada 2021, kami perkirakan peta ini belum akan banyak berubah," ujarnya.
Serapan domestik lainnya akan dibantu komitmen pemerintah melanjutkan program B30. Tahun lalu, konsumsi sawit untuk biodiesel sebesar 7,22 juta ton. Angka konsumsi sawit untuk bahan bakar ini naik dari 2019 yang sebesar 5,83 juta ton.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, Suwandi Winardi, menyatakan pemerintah telah menetapkan 9,2 juta kiloliter B30 tahun ini. "Kami berharap bisa terserap 100 persen," katanya. Pasalnya, realisasi penyaluran B30 hanya 8,59 juta kiloliter. Jumlahnya lebih rendah dari target awal yang dipatok 9,59 juta kiloliter lantaran penurunan konsumsi bahan bakar selama masa pandemi.
Serapan biodiesel di pasar global pun menurun pada 2020. Pada 2019, volume ekspor biodiesel Indonesia mencapai 1,11 juta ton. Namun tahun lalu angkanya hanya mencapai 31 ribu ton. "Kecilnya angka ekspor ini disebabkan kondisi pasar yang tidak memungkinkan untuk ekspor," ujar Suwandi. Pasokannya kemudian disalurkan untuk memenuhi kebutuhan program B30 di dalam negeri.
Program pencampuran biodiesel ke solar seharusnya ditingkatkan menjadi 40 persen tahun ini. Namun pemerintah memutuskan menunda program B40. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, menyatakan harga sawit yang sedang melonjak menjadi alasannya. Harga sawit berada di kisaran Rp 1.000 per kilogram, sedangkan harga minyak mentah dunia di angka US$ 45 per barel. Perbedaan tersebut menimbulkan selisih sekitar Rp 5.000.
Dadan menyatakan jumlah dana pungutan yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit hanya mencukupi untuk membiayai insentif B30. "Jadi, secara kemampuan, kami tidak bisa melakukan itu karena anggaran untuk insentifnya tidak cukup,” katanya.
Menurut Suwandi, penundaan ini tak begitu berdampak pada industri biodiesel. "Kami semua optimistis B40 menjadi roadmap program pemerintah jangka panjang dan menengah," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN