JAKARTA – Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan pandemi Covid-19 mempengaruhi pengadaan dan produksi satelit multifungsi SATRIA (Satelit Republik Indonesia)-1. Akibatnya, kata dia, terjadi pengunduran jadwal penempatan satelit multifungsi tersebut pada orbitnya. “Yang sedianya ditempatkan pada orbit di bulan Maret tahun 2023, harus mengalami pengunduran jadwal,” kata dia, kemarin.
Pemerintah pun meminta perpanjangan waktu penempatan satelit di orbit kepada International Telecommunication Union (ITU) selaku regulator internasional. “Selama 14 bulan yang kami perkirakan, atau paling cepat meletakkan satelit di orbit pada kuartal keempat tahun 2023,” ujarnya. Johnny mengklaim pengunduran jadwal penempatan satelit dalam orbit merupakan hal yang biasa terjadi karena adanya keadaan kahar atau force majeure. “ITU Board meminta informasi tambahan kepada Indonesia,” katanya. Pertimbangan akan diputuskan dalam rapat ITU pada Maret 2021.
Johnny mengatakan proses produksi SATRIA-1 sedang berjalan. Menurut dia, pembiayaan satelit ini telah mendapat persetujuan dari lembaga keuangan asal Prancis, Bpifrance Assurance Export (Bpi), dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). “Kedua lembaga itu telah menyediakan deposannya, setelah dilakukan kesepakatan porsi pembiayaan bersama operator,” kata Johnny. Kesepakatan preliminary working agreement (PWA) antara PT Satelit Nusantara Tiga dan Thales Alenia Space sudah berjalan.
Selain meminta perpanjangan waktu, Indonesia menyiapkan dua alternatif untuk mengisi orbit satelit 146 BT yang sedianya diisi SATRIA-1. Johnny mengatakan pihaknya telah memiliki backup filing satelit yang sudah didaftarkan di ITU, yaitu Nusantara PE1-A dan floater satellite atau satelit sewaan yang ditempatkan dalam jangka tertentu.
SATRIA-1 dengan kapasitas 150 Gigabita per detik (Gbps) merupakan salah satu satelit terbesar di Asia. Pemerintah meluncurkan satelit ini untuk mempercepat digitalisasi berbagai sektor di Indonesia. Salah satunya melalui sambungan Internet nirkabel atau Wi-Fi di 150 ribu titik layanan publik, termasuk 93.900 titik layanan pendidikan.
Proyek SATRIA dikerjakan dalam skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dengan nilai US$ 550 juta atau sekitar Rp 8 triliun. Kementerian Komunikasi dan Informatika bertindak selaku penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK). Sedangkan pengadaan dan operasinya dilakukan PT Satelit Nusantara Tiga serta konsorsium PSN, yang terdiri atas PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera.
Direktur Utama Satelit Nusantara Tiga, Adi Rahman Adiwoso, mengatakan pihaknya sudah bekerja sama dengan perusahaan manufaktur satelit asal Prancis, Thales Alenia Space, untuk memulai konstruksi SATRIA-1 pada September lalu. Menurut Adi, proyek SATRIA bagi kelompok usaha PSN merupakan bagian dari rangkaian Satelit Nusantara yang dimulai pada 2019. “Dengan kapasitas sebesar 150 Gbps, berarti lebih besar tiga kali lipat dari semua kapasitas satelit nasional yang saat ini masih digunakan,” kata dia, beberapa waktu lalu.
Adi mengatakan total investasi SATRIA akan dibiayai oleh sindikasi bank internasional, yaitu The Hongkong and Shanghai Bank Corporation Limited (HSBC), Banco Santander, dan The Korean Development Bank (KDB). Ada pula bank penjamin, yaitu Bpi, Export Credit Agency dari Prancis, dan AIIB. Total fasilitas pinjaman US$ 425 juta (sekitar Rp 6,3 triliun), sedangkan sisa kebutuhan US$ 125 juta menggunakan modal konsorsium PSN.
CAESAR AKBAR | FERY F.