Berbisnis di sektor akuatik mungkin terkesan kuno bagi sebagian orang. Selain mengandalkan teknik dan peralatan kasar, mengurus kolam sangat bergantung pada ketidakpastian kondisi alam. Tapi, di tengah kemajauan teknologi dan kecerdasan buatan, kekhawatiran itu tidak lagi relevan.
“Kami bikin alat IOT (Internet of things) yang bisa mengawasi pertambakan secara real time,” ujar Liris Maduningtyas. Alumnus Universitas Gadjah Mada itu mendirikan perusahaan digital bernama Jala sejak 2017. Perusahaan ini memanfaatkan perangkat yang berfungsi sebagai pemantau tambak.
Perangkat ini lahir dari kegelisahan bisnis budi daya perikanan, seperti buruknya kondisi air. Pengawasan terhadap kesehatan hewan tambak dan komposisi air yang stabil juga amat terbatas. Sementara itu, tak mungkin pengurus tambak bisa memelototi keduanya 24 jam tanpa celah. Dari situlah Liris mengembangkan perangkat tadi.
Melalui perangkat ini, petambak lebih mudah menganalisis kondisi kolam. Selain pemantauan yang tiada henti, keakuratannya diklaim cukup mumpuni. Alat tersebut, kata Liris, bisa memantau kondisi air dari berbagai komponen kandungan mikro, seperti derajat keasaman (pH) dan oksigen (O2).
“Semua informasi ini langsung kami kirimkan melalui telepon seluler pengguna,” ujar Liris yang juga menjabat Kepala Eksekutif Jala. Dengan informasi yang didapat sedini mungkin, kata dia, petambak bisa segera melakukan langkah antisipasi. Ujungnya, kesehatan udang akan terjaga. Secara agregrat, menurut data Jala, sistem pengawasan dan manajemen yang baik bisa meningkatkan produktivitas dan efisiensi minimal 20 persen.
Tak hanya sampai di situ, Liris mengatakan mesin pembelajaran perangkat juga menyentuh perintilan kebutuhan udang itu sendiri. Jala, misalnya, menyediakan platform informasi ihwal tumbuh-kembang udang. “Kami juga punya logaritma untuk membikin program pakan dan nutrisi yang dibutuhkan.”
Jala, tutur Liris, memang mengkhususkan diri menyasar pasar pertambakan di hulu. Menurut dia, sektor hulu merupakan kunci faktor produksi komoditas. Meski begitu, Liris mengatakan entitasnya juga berupaya membantu para pengguna untuk membenahi perdagangan. Jala juga memiliki platform untuk memantau harga komoditas di titik-titik sentral perdagangan komoditas laut. Tak kurang ada ribuan titik pesisir yang terpantau oleh Jala.
“Para pengguna jadi bisa menentukan mau menjual di mana,” ucap Liris. Mitra sesama entitas digital di sektor hilir, dia menjelaskan, bakal terus diperbanyak agar para pengguna Jala bisa melebarkan akses pasarnya. Liris mengakui penetrasi jaringan dagang perusahaan ini masih seputar cold storage saja, belum sampai ke konsumen akhir.
Hingga saat ini, tak kurang dari 11 ribu kolam yang sudah dipasang alat pemantau Jala. Tak hanya di dalam negeri, Liris berpromosi alat tersebut juga sudah digunakan oleh penambak di Thailand dan Kolombia. “Ini bukti bahwa sentuhan digital amat dibutuhkan di sektor perikanan, seperti tambak udang,” katanya.
Pada September tahun lalu, Jala mendapatkan pendanaan putaran awal yang dipimpin oleh lembaga pembiayaan digital asal Amerika Serikat 500 Startups. Modal ventura itu yakin pasar komoditas laut, khususnya udang, memiliki potensi besar hingga US$ 24 miliar dari total US$ 160 miliar pada agregat sektoral. “Makanya kami juga akan menyasar komoditas selain udang dalam waktu dekat,” ujar Liris.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengelolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia, Budhi Wibowo, sangat mendukung adanya inovasi di sektor hulu perikanan. Menurut dia, jika produksi komoditas laut bisa ditingkatkan kualitasnya, hal itu akan memperlebar peluang pasar di sektor hilir. “Jangan salah, saat ini pangsa pasar dalam negeri sangat tinggi perkembangannya, terutama pada produk perikanan beku,” ujarnya.
Wabah corona, kata dia, mendorong perubahan perilaku bisnis ini. Dari sisi transaksi, pasar produk olahan perikanan beku bahkan lebih menguntungkan daripada ekspor komoditas mentah. “Selama ini, kan, pengusaha bangga kalau ekspor mentah. Padahal potensi dalam negeri besar sekali,” katanya. “Bayangkan, ada yang menjual produk ikan patin beku sampai Rp 200 ribu per bungkus.”
ANDI IBNU
Nama: PT Atnic Ekotekno Wicaksana
Sektor: Sistem manajemen perikanan/kelautan
Berdiri: 2017
Pendiri: Liris Maduningtyas, Hanry Aria Prestianto, Farid Inawan, Budhy Rahardjo, Aryp Wiryawan, Syaiqy Nurul Aziz
Pendanaan: Putaran awal dari 500 Startups (2019)
Alamat: Kompleks PT Indmira, Jalan Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta
Situs web: Jala.tech