JAKARTA – Sumber pendapatan kelompok-kelompok besar preman di Jakarta nyaris tidak berubah dalam satu dekade terakhir. Mereka memanfaatkan ceruk bisnis yang memang identik dengan kekerasan. Dari jasa pengamanan lahan dan tempat hiburan hingga jasa penagihan (debt collector).
Seorang karyawan bank menuturkan, ia kerap menjalin kerja sama dengan kelompok preman dari kelompok etnis tertentu untuk menagih utang kepada debitor. Tapi kerja sama itu terjalin secara resmi. “Mereka memiliki badan hukum berupa perusahaan atau agensi,” kata karyawan bank swasta yang menolak disebutkan namanya itu, kemarin. “Biasanya mereka yang mendatangi bank untuk menawarkan kerja sama.”
Menurut dia, jasa para debt collector ini dibutuhkan untuk menangani nasabah yang menunggak pembayaran utang lebih dari tujuh bulan. Tunggakan semacam itu sering dilakukan oleh nasabah yang meminjam tanpa jaminan. “Contohnya, nasabah kartu kredit atau produk pinjaman tanpa agunan atau personal loan,” katanya.
Secara normatif, kata dia, bank meminta preman itu menagih nasabah sesuai dengan aturan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. “Kalau mereka nagih dengan kekerasan, sudah pasti bank tidak akan bertanggung jawab,” ujarnya. Ia menilai kerja sama ini saling menguntungkan. Bank bisa mendapatkan uang kembali dan para debt collector bisa memperoleh komisi dari jumlah utang yang bisa ditagih.
Menurut seorang anggota organisasi kemasyarakatan yang sering dilibatkan dalam jasa pengamanan, sebagian besar kelompok preman di Ibu Kota memang tergabung berdasarkan etnis. Untuk jasa penagihan utang didominasi oleh kelompok asal Indonesia timur, seperti Maluku dan Flores. Sedangkan untuk penguasaan lahan parkir serta penjagaan tempat hiburan malam lahan tidak didominasi oleh kelompok etnis tertentu. “Itu kan enggak harus punya pengalaman. Yang penting berani,” katanya.
Sumber tersebut menjelaskan, salah satu perusahaan yang menggunakan jasa para preman itu adalah leasing atau multifinance. Menurut dia, kemitraan penagihan itu juga dalam bentuk resmi karena kelompok preman itu membentuk badan usaha. “Leasing juga enggak mau kasih kerjaan (penagihan) kalau enggak punya badan hukum,” ujarnya.
Penggunaan jasa debt collector oleh leasing itu acap kali menimbulkan kericuhan. Misalnya, pada 18 Februari lalu terjadi bentrokan antara para penagih utang dan pengemudi ojek online di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.
Bentrokan diawali oleh tindakan debt collector yang memaksa seorang pengemudi ojek online menyerahkan sepeda motornya karena dituduh menunggak cicilan. Pengojek itu menolak menyerahkan kendaraannya karena merasa sudah melunasi cicilan. Akhirnya terjadi keributan sehingga polisi turun tangan.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan praktik premanisme memang masih marak di Ibu Kota. Polisi kesulitan memberantas praktik ilegal ini karena minimnya laporan. "Pemberantasan premanisme ini bergantung pada peran serta masyarakat," katanya, Senin lalu. "Biasanya orang yang dipalak malas untuk membuat laporan. Mungkin karena kerugian tidak seberapa, jadi tidak mau repot."
GANGSAR PARIKESIT | INGE KLARA SAFITRI
‘Bisnis Kekerasan’ Bermodal Nyali