maaf email atau password anda salah


Kapan Aparat Berhenti Melukai Rakyat

Kekerasan oleh polisi dan tentara terus berulang dan memakan korban. Bukti nyata gagalnya reformasi di kedua institusi. 

arsip tempo : 172661412222.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172661412222.

KEKERASAN yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer di Indonesia terus berulang. Minimnya pengawasan, tidak adanya sanksi tegas, serta gagalnya reformasi di kedua institusi tersebut menjadi faktor utama yang memungkinkan kekerasan terus terjadi.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melaporkan, sepanjang Juni 2023-Mei 2024, terjadi 60 peristiwa kekerasan dengan 92 korban—18 orang di antaranya meninggal. Angka itu bahkan lebih tinggi dibanding jumlah peristiwa kekerasan pada periode sebelumnya, yang tercatat 54 peristiwa.

Lebih tajam lagi, Kontras menyoroti beberapa kasus penyiksaan yang terjadi pada Mei-Agustus 2024, termasuk kasus di Padang, Sumatera Barat; Medan, Sumatera Utara; dan Klungkung, Bali. Kasus yang paling banyak mendapat perhatian publik adalah kematian Afif Maulana di Padang. Bocah 13 tahun itu diduga tewas akibat penganiayaan polisi saat menangani kasus tawuran. Di Bali, polisi diduga menyiksa seorang pengusaha rental mobil, I Wayan Suparta. Sedangkan di Medan, Mikael H. Sitanggang diduga mengalami penganiayaan oleh tentara.

Berulangnya kasus kekerasan ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dan aparat Indonesia dalam menghapus praktik penyiksaan. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan seolah-olah menjadi hal yang biasa. Padahal Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Bagian penting konvensi tersebut, antara lain, polisi dan tentara secara periodik harus dibekali keterampilan menangani masalah sosial, termasuk dalam mengatasi konflik dan demonstrasi. Cara-cara yang diambil polisi dan tentara mesti menghormati martabat manusia. Penggunaan kekerasan dan penyiksaan, menurut konvensi itu, sama sekali tak bisa dibenarkan. Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia seharusnya memastikan bahwa polisi dan tentara sudah dibekali keterampilan untuk menangani masalah sosial tanpa menggunakan kekerasan.

Kekerasan oleh aparat harus dicegah dan dihentikan sekarang juga. Dalam investigasi kasus pidana, misalnya, polisi semestinya lebih mengedepankan pendekatan ilmiah, bukan mengejar pengakuan tersangka dengan kekerasan. Polisi yang terbukti menggunakan kekerasan dalam mengusut perkara harus diberi sanksi berat: dipecat dari jabatannya serta dijatuhi hukuman pidana yang setimpal.

Konstitusi negara kita dengan jelas menyatakan bahwa polisi bertanggung jawab menjaga ketertiban dan keamanan. Namun permasalahan sering muncul ketika polisi menerapkan pendekatan militer dalam menafsirkan perintah "mengamankan" masyarakat. Kekeliruan dalam penafsiran ini sering kali berujung pada tindakan represif yang justru merugikan rakyat.

Sementara itu, tugas utama tentara, sesuai dengan konstitusi, adalah menjaga pertahanan negara. Di era modern ini, pertahanan tidak hanya meliputi aspek militer, tapi juga mencakup aspek politik, ekonomi, dan lingkungan. Seiring dengan dinamika hubungan internasional, ancaman terhadap pertahanan negara pun tidak lagi hanya berasal dari militer luar, tapi juga dari berbagai sektor lain. Begitu banyaknya jenis ancaman terhadap pertahanan negara yang mesti mereka tangani, tentara seharusnya tidak cawe-cawe mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat sipil.   

Pendek kata, dengan segala kewenangan yang dimilikinya, polisi dan tentara seharusnya berperan melindungi masyarakat, bukan malah melukainya. Bila polisi dan tentara berhenti melakukan kekerasan dan penyiksaan, aparat lembaga lain yang kerap menggunakan kekerasan boleh jadi akan menahan diri. Pada akhirnya, impian masyarakat untuk terbebas dari kekerasan aparat lebih mungkin terwujud.*

Konten Eksklusif Lainnya

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan