Jokowi Harus Mundur sebagai Presiden Jika Ingin Kampanye
Jokowi menyatakan presiden boleh memihak dan berkampanye. Mengutip aturan secara tak utuh demi kepentingan keluarga.
PERNYATAAN Presiden Joko Widodo tentang presiden boleh memihak calon presiden dalam pemilihan umum asal tak memakai fasilitas negara adalah pernyataan manipulatif berkedok konstitusi. Untuk meyakinkan pernyataannya sesuai dengan aturan, di depan wartawan, Jokowi menunjukkan kertas bertulisan "Pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Umum".
Ayat itu menyebutkan presiden dan wakil presiden berhak melaksanakan kampanye. Pernyataan Jokowi ini hanya satu ayat, sepotong, dan tidak utuh memahami bunyi pasal dalam undang-undang. Sebab, Pasal 299 itu mengatur hak kampanye presiden yang sedang mencalonkan diri kembali. Karena itu, pasal ini terkait dengan Pasal 272.
Dalam ayat 1 pasal tersebut, UU Pemilu mewajibkan semua peserta dan pelaksana kampanye terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Kita tahu, Jokowi tak tercatat dalam tim kampanye tiga kandidat presiden yang akan bertarung dalam pemilihan pada 14 Februari mendatang atau anggota partai yang mendukung salah satu pasangan calon presiden.
Alih-alih menyemprit Jokowi dengan pernyataannya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari malah membolehkan Jokowi berkampanye asal cuti sebagai presiden. Pernyataan Ketua KPU ini jenis manipulasi lain. Apalagi, menurut Hasyim, Jokowi harus mengajukan cuti kepada presiden. Hasyim membawa pemilu—salah satu anasir penting dalam demokrasi—turun derajat menjadi dagelan.
Cuti presiden yang berkampanye diatur dalam Pasal 281. Namun pasal ini pun terikat dengan Pasal 299 dan 272. Maka Jokowi bisa cuti untuk berkampanye jika memenuhi dua pasal tersebut.
Pertanyaannya, Jokowi akan berkampanye untuk siapa? Jika merujuk pada polahnya dalam sebulan terakhir, Jokowi berpihak kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Gibran tak lain anak sulungnya. Keberpihakan itu dipertegas oleh Iriana Jokowi, istrinya, yang mengacungkan dua jari—nomor urut Prabowo-Gibran—saat mengikuti kunjungan kerja suaminya ke Salatiga, Jawa Tengah, pada 22 Januari lalu.
Jika hendak memakai celah Pasal 299 ayat 2 yang mengatur kampanye pejabat negara sekaligus anggota partai politik, Jokowi pun tak masuk dalam kategori ini. Jokowi dan Gibran masih tercatat sebagai anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai ini mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud Md. sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3.
Jadi Jokowi tidak punya celah sedikit pun berlindung di balik pasal-pasal UU Pemilu agar bisa berkampanye untuk anaknya. Ia bukan calon presiden, bukan peserta dan pelaksana kampanye yang terdaftar di KPU, juga bukan anggota partai yang mengusung calon presiden yang ia dukung. Jokowi bisa berkampanye jika memakai lubang Pasal 299 ayat 2 untuk Ganjar Pranowo karena koleganya satu partai, bukan untuk Prabowo dan anaknya.
Lebih jauh dari sekadar pasal-pasal presiden berhak berkampanye dalam UU Pemilu, keberpihakan dan tidak netralnya presiden melanggar asas netralitas yang diatur dalam Pasal 48. Menurut pasal ini, KPU harus melaporkan penyelenggaraan pemilu kepada presiden. KPU adalah wasit pemilu yang wajib menyelenggarakannya secara jujur, adil, dan tidak berpihak. Jika presiden berpihak, netralitas KPU pun ternoda.
Selain itu, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan melarang presiden atau penyelenggara negara mencampuradukkan kewenangan dan kepentingan politik. Keberpihakan Jokowi jelas mencampuradukkan kewenangannya sebagai kepala pemerintahan dan kepentingannya sebagai tokoh politik.
Lagi pula keberpihakan presiden kepada salah satu calon—apalagi kandidat itu anaknya—akan merusak pemilu yang jujur dan adil. Dengan segala kewenangan dan alat negara di bawahnya, Jokowi bisa mengerahkan aparatur pemerintah yang harus netral itu agar memobilisasi suara untuk calon presiden yang ia dukung. Gejala itu makin kentara dengan pengerahan tentara, polisi, dan perangkat desa yang mendeklarasikan dukungan bagi Prabowo-Gibran.
Satu-satunya cara agar Jokowi bisa berkampanye untuk anaknya adalah ia harus mundur sebagai presiden. Dengan meletakkan jabatan, Jokowi bisa bebas mempromosikan anaknya, bisa bebas cawe-cawe menentukan penerusnya. Tanpa mundur, dosa Jokowi memain-mainkan konstitusi akan makin banyak dan makin jauh merusak tatanan norma serta hukum di Indonesia.