Bagaimana Majalah Cetak Bertahan di Era Digital
Media cetak melewati tenggat "kematian" yang diprediksi banyak pakar komunikasi sekian dekade lalu. Apa saja penyebabnya?
Dalam komedi klasik Ghostbusters (1984), sekretaris baru Janice mengangkat topik membaca sambil iseng membolak-balik halaman majalah. Ilmuwan Egon Spengler menanggapinya dengan penolakan kasar: “(produk) cetak sudah mati.”
Kata-kata Egon kini tampak tepat. Asumsi umum dalam beberapa dekade terakhir adalah media cetak perlahan-lahan terhambat oleh kebangkitan media digital. Majalah cetak, khususnya, sering dianggap terancam.
Meskipun tidak sepopuler dulu, majalah ternyata belum mati. Majalah-majalah baru justru dimulai sejak prediksi mengerikan tersebut, sedangkan yang lain terus menarik pembaca setia.
Jadi apa daya tarik majalah cetak? Mengapa ia tidak benar-benar mati seperti yang diperkirakan banyak orang?
Kata-kata Cetak di Dunia Online
Kata “majalah” (magazine) berasal dari istilah warehouse atau storehouse. Intinya, majalah adalah bentuk publikasi yang mengumpulkan berbagai jenis tulisan untuk pembaca. Setiap bagian mencakup berbagai suara, subyek, dan perspektif.
Budaya majalah cetak tentu saja menurun dibanding di masa kejayaannya pada abad ke-20. Majalah cetak yang dulu populer telah berpindah sepenuhnya menjadi online atau sebagian besar didukung oleh langganan digital yang terus meningkat.
Di tempat lain, situs web media Internet, seperti yang dipelopori oleh Buzzfeed dan para penirunya, makin memenuhi kebutuhan akan tulisan pendek yang beragam serta mendistraksi. Ledakan media sosial juga menggerus pasar periklanan yang selama ini menjadi andalan majalah cetak.
Audiens online mengharapkan konten baru setiap hari atau bahkan setiap jam. Pembaca biasa kurang bersedia menunggu majalah cetak mingguan atau bulanan tiba di pos atau di kios koran. Ketersediaan konten digital gratis, atau jauh lebih murah, dapat menghalangi mereka berlangganan majalah cetak atau terbitan individual.
Majalah The New Yorker. Shutterstock
Beralih dari Layar ke Halaman
Majalah cetak belum mati. Majalah-majalah yang sudah mapan, seperti The New Yorker dan Vogue, berhasil mempertahankan pembaca global mereka, baik untuk versi cetak maupun digital.
Nama-nama majalah baru juga bermunculan. Ini ditandai dengan peluncuran 122 majalah cetak baru pada 2021 di Amerika Serikat. Jumlah ini lebih kecil dibanding pada tahun-tahun sebelumnya, dan hal ini mungkin mencerminkan menyusutnya pasar media cetak secara umum.
Namun, mengingat situasinya, sungguh luar biasa jika masih ada terbitan berkala baru. Di Australia, angka penjualan majalah cetak meningkat 4,1 persen pada 2023 dan publikasi yang sebelumnya dihentikan, seperti Girlfriend, kini dicetak ulang untuk nostalgia.
Pasar majalah cetak memang tidak begitu berkembang. Namun mereka tidak menghilang secepat yang diperkirakan.
Beberapa komentator mengaitkan daya tarik abadi majalah cetak dengan pengalaman fisik membaca. Kita menyerap informasi secara berbeda dari halaman dibanding layar, mungkin dengan cara yang tidak terlalu terburu-buru dan tidak mudah terdistraksi.
“Kelelahan digital” selama bertahun-tahun masa pandemi bisa dibilang sedikit menyebabkan peralihan kembali ke media cetak. Bangkitnya minat terhadap majalah cetak juga disebabkan oleh preferensi “analog” pembaca Gen Z.
Seperti yang penulis Hope Corrigan catat, ada sesuatu yang menarik tentang estetika majalah cetak. Kehati-hatian dalam tata letak, gambar, dan penyalinan tidak selalu dapat direplikasi di layar. Memang benar, majalah-majalah yang sangat berfokus pada fotografi dan desain visual, seperti majalah fashion dan perjalanan, akan bertahan lama di media cetak.
Pakar majalah Samir Husni mengamati bahwa majalah-majalah cetak independen yang sedang berkembang lebih berfokus pada penargetan pembaca khusus. Kemajuan teknologi pencetakan membuat pencetakan dalam jumlah kecil menjadi lebih hemat biaya. Hal ini memungkinkan majalah baru berfokus pada kualitas daripada kuantitas.
Majalah cetak gelombang baru cenderung memiliki harga sampul dan standar produksi yang lebih tinggi. Majalah tersebut juga lebih jarang diterbitkan, dengan jadwal triwulanan atau dua tahunan menjadi lebih umum.
Majalah Vogue di San Francisco, Amerika Serikat. Shutterstock
Yang Tua Kini Keren Lagi
Tren ini menjauh dari gagasan bahwa majalah merupakan barang murah dan sekali pakai. Sebaliknya, hal ini membingkai ulang majalah sebagai produk mewah.
Majalah cetak tidak dapat bersaing dengan media digital dalam menyediakan konten terkini kepada khalayak ramai. Namun majalah berpotensi mempertahankan pembaca yang berdedikasi dengan publikasi yang bermakna dan estetis.
Artinya, majalah cetak dapat terhindar dari gejolak yang dialami situs web media yang hanya bergantung pada pendapatan iklan digital. Beberapa tahun terakhir, terjadi pergolakan staf, pengunduran diri massal, dan penutupan situs web bergaya majalah populer, seperti Deadspin, Onion AV Club, Escapist, dan Izebel (meskipun media tersebut telah kembali). Visi dan standar awal untuk situs-situs web ini bisa dibilang telah menderita karena dorongan terus-menerus untuk meningkatkan lalu lintas harian serta mengurangi biaya.
Majalah cetak mungkin juga mendapatkan kembali minat dari para pengiklan. Riset terbaru menunjukkan adanya preferensi yang kuat terhadap iklan cetak di kalangan konsumen. Pembaca lebih mungkin memperhatikan iklan cetak dan mempercayai kontennya. Sebaliknya, iklan online lebih mungkin diabaikan atau ditutup.
Kolektor majalah Steven Lomazow, Nathan Heller, dalam profil pada 2021 menulis:
"… apa yang membuat majalah menarik pada 1720 adalah hal yang sama yang membuat majalah tersebut menarik pada 1920 dan 2020: perpaduan antara ikonoklasme (gerakan memusnahkan ikon atau gambar-gambar religius) dan otoritas, kebaruan dan kontinuitas, daya jual dan kreativitas, serta keterlibatan sosial dan suara pribadi."
Meskipun sirkulasi dan pengaruhnya mungkin berkurang, majalah cetak tidak mati atau sekarat. Keberadaan majalah saat ini dapat dilihat sebagai produk yang tengah bergerak ke tempat yang lebih kecil tapi berkelanjutan dalam lanskap media.
---
Artikel ini ditulis oleh Julian Novitz, dosen media dan komunikasi di Swinburne University of Technology, Melbourne. Terbit pertama kali di The Conversation.