Pemerintah perlu bergerak lebih cepat dalam mengungkap pelaku dan motif teror yang mengguncang Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jangan sampai serangan yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan tersebut mengobarkan kembali konflik horizontal yang pernah mendera wilayah itu.
Sekelompok orang bersenjata membantai empat orang dari satu keluarga di permukiman transmigrasi Sigi, Jumat pekan lalu. Penyerang juga membakar tujuh rumah, yang salah satunya biasa digunakan untuk tempat ibadah jemaat Gereja Bala Keselamatan.
Polisi tak cukup mengumumkan bahwa komplotan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora bertanggung jawab atas pembantaian ini. Yang sangat mendesak, aparat harus memberi jaminan rasa aman bagi masyarakat Sigi, khususnya 150 keluarga di Desa Lembantongoa yang mengungsi setelah serangan itu.
Aparat selanjutnya mesti bergegas menangkap para pelaku dan menyeret mereka ke jalur hukum. Penangkapan pelaku serta hukuman yang setimpal bagi mereka penting untuk meminimalkan potensi kekerasan lanjutan dari insiden ini.
Kalau memang benar para pelaku itu gerombolan teroris pimpinan Ali Kalora, aparat seharusnya bisa mendeteksi dan mencegah serangan mereka. Sebab, bukan sekali ini saja kelompok MIT menyerang warga sipil di Sigi dan sekitarnya. Serangan berulang justru memunculkan pertanyaan soal efektivitas operasi penumpasan teroris di wilayah Sulawesi Tengah, yang dilakukan Satuan Tugas Tinombala sejak awal 2016.
Meski perlu bertindak cepat, dalam memburu para pelaku, aparat seharusnya tetap bergerak dalam koridor hukum pidana. Aparat tidak boleh bertindak serampangan dan menjadikan peristiwa ini sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan baru terhadap warga sipil.
Tindakan sembarangan aparat malah akan menjadi teror baru bagi masyarakat Sigi.
Ini bukanlah kekhawatiran yang berlebihan. Koalisi masyarakat sipil mencatat, selama 2017, setidaknya terjadi 39 insiden salah tangkap oleh Satgas Tinombala. Pada Agustus lalu, Satgas bahkan diduga salah menembak petani setempat.
Bersama pemerintah daerah, aparat juga perlu mengantisipasi provokasi atau upaya menggiring serangan teroris ini menjadi konflik horizontal berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jangan lupa, Sigi merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Tengah, di samping Poso, yang pernah dikoyak konflik berdarah pada awal masa reformasi.
Di pusat pemerintahan, Presiden Joko Widodo seharusnya tidak diam seribu basa atas insiden berdarah ini. Jokowi, yang cepat merespons kekerasan di Paris dan Nice, Prancis, beberapa waktu lalu, malah terkesan lambat menanggapi intoleransi dan teror yang terjadi di negeri sendiri. Jangan ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan malah jelas terlihat. ***