JAKARTA – Pakar intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, menganggap aksi pembantaian terhadap satu keluarga di Desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat lalu merupakan tindakan balas dendam kelompok teroris Ali Kalora. Sebab, dua pekan sebelum insiden tersebut, dua anak buah Ali Kalora tewas tertembak di Parigi Moutung, Sulawesi Tengah.
Stanislaus menduga kelompok Ali Kalora menyasar masyarakat sipil karena kalah pasukan ketika harus berhadapan dengan Satuan Tugas Operasi Tinombala, gabungan pasukan dari Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia. “Jaringan Mujahidin Indonesia Timur itu akan melawan orang-orang sipil yang dianggap thaghut. Mereka melakukan aksi secara terencana dan terorganisasi,” kata dia, kemarin.
Stanislaus berharap Satgas Tinombala mengerahkan lebih banyak lagi personel untuk memutus rantai logistik ke kelompok teroris. Satgas juga seharusnya masuk ke desa-desa yang berdekatan dengan dugaan tempat persembunyian kelompok Ali Kalora. Tujuannya adalah mencegah kelompok teroris itu melakukan kekerasan kepada masyarakat.
Satgas Tinombala memulai operasi pengejaran kelompok Mujahidin Indonesia Timur pada Januari 2016. Satgas Tinombala ini merupakan kelanjutan dari operasi Camar Maleo, yaitu nama operasi pengejaran kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah. Operasi ini melibatkan Polri dan TNI. Selama operasi, puluhan anggota Mujahidin Indonesia Timur terbunuh, termasuk pemimpin mereka, Santoso alias Abu Wardah, yang tewas tertembak pada 2016. Setelah Santoso terbunuh, kepemimpinan MIT berpindah ke tangan Ali Kalora.
Kelompok teroris ini diduga bersembunyi di Gunung Biru, seluas 2.400 kilometer yang terbentang dari Poso, Sigi, hingga Parigi Moutung. Mereka juga sesekali menyerang penduduk, termasuk pembantaian terhadap satu keluarga di Lemban Tongoa, tiga hari lalu.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Pertahanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Najib Azca, mengatakan masyarakat pasti mempertanyakan kegiatan Satgas Tinombala dengan adanya tragedi berdarah tersebut. "Operasi ini sudah makan ratusan miliar rupiah dan kejadian di Sigi ini sudah memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap Operasi Tinombala," kata Najib.
Menurut Najib, Satgas Tinombala seharusnya bisa segera menumpas anggota MIT tersebut karena jumlahnya tersisa belasan orang. Tapi ia tak memungkiri kondisi medan di kawasan Gunung Biru dan sekitarnya menyulitkan pasukan gabungan mengejar kelompok teroris tersebut.
Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono, mengatakan lembaganya belum bisa menjawab kritik terhadap kinerja Satgas Tinombala. "Mohon waktu, ya," kata Argo.
Adapun Komandan Komando Resor Militer 132 Tadulako, Brigadir Jenderal TNI Farid Makruf, mengatakan pasukannya memang tergabung dalam Satgas Tinombala. Pasukannya itu dilengkapi tim intelijen, teritorial, dan pemburu. Namun pasukannya hanya bertugas membantu kepolisian. "Menurut saya, sinergitas TNI-Polri sangat efektif, sehingga membuat kelompok MIT Poso terdesak dan merasa terancam hingga melakukan jalur lain," kata Farid.
Farid mengklaim selama ini ada masyarakat yang membantu kelompok MIT dengan cara menyediakan bahan makanan serta memberi informasi ihwal keberadaan pasukan TNI dan Polri. Karena itu, Farid mengajak masyarakat berhenti membantu kelompok teroris tersebut.
AVIT HIDAYAT | INDRA WIJAYA | ANTARA
Pembantaian Sigi Diduga Balas Dendam Kelompok Ali Kalora