Perlunya Pengusutan Pelanggaran HAM Berat Proyek Strategis Nasional

Proyek strategis nasional (PSN) memunculkan banyak pelanggaran hak asasi manusia berat. Komnas HAM harus menyelidiki.

Teo Reffelsen

Jumat, 27 September 2024

PROYEK strategis nasional atau PSN yang dimulai pada 2016 menjadi salah satu catatan kelam kondisi hak asasi manusia Indonesia selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Kebijakan ini menimbulkan banyak dampak akibat rancangannya yang dibuat secara top-down dan tidak melibatkan partisipasi bermakna atau persetujuan atas dasar informasi yang cukup tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) bagi masyarakat yang terkena dampak.

Walhasil, pengerjaan PSN di beberapa tempat mendatangkan ekses penderitaan serius bagi masyarakat akibat pelanggaran hak asasi manusia yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 

Padahal Indonesia sudah meratifikasi kedua kovenan tersebut melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.

Namun tampaknya pemerintah tak menganggap penting tanggung jawab pemenuhan hak asasi dalam pelaksanaan berbagai PSN. Kondisi ini membuat berbagai proyek ambisius pemerintahan Jokowi malah menjadi sumber tiga jenis kekerasan: kekerasan struktural, kekerasan langsung (fisik), dan kekerasan kultural (Walhi, 2023).

Ekses buruk PSN juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang melibatkan aktor keamanan dalam pelaksanaannya, seperti kepolisian, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, Komponen Cadangan, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Pelibatan tersebut menerangkan bahwa desain pelaksanaan PSN dititikberatkan pada “pendekatan keamanan” ketimbang “dialog-partisipatif”.

Pola ini, pada akhirnya secara sengaja atau tidak, membentuk lingkaran yang meletakkan masyarakat menjadi titik obyek kekerasan fisik ataupun psikis. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sepanjang 2021-2023, setidaknya ada 1.675 dugaan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan konflik agraria dan sumber daya alam yang meliputi konflik terkait dengan pertanahan, perkebunan, infrastruktur, PSN, serta pertambangan. 

Ada beberapa kasus yang bisa dicuplik untuk melihat bagaimana kejahatan HAM ini berlangsung. Dalam kasus proyek Rempang Eco-City, Batam, Kepulauan Riau, misalnya, lebih dari 1.000 personel aparat gabungan dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan Batam memaksa masuk ke Pulau Rempang pada 7 September 2023.

Kejadian itu berujung pada penangkapan, penahanan, dan pemidanaan sewenang-wenang setidaknya terhadap 30 orang. Bentrok antara aparat dan warga juga menimbulkan korban luka fisik serta psikis. Kelompok rentan, seperti kaum perempuan, anak-anak, dan lanjut usia, tidak luput dari sasaran kekerasan.

Setelah kejadian itu, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau dan Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru, kondisi di Pulau Rempang tak kunjung membaik. Aparat gabungan mendirikan pos-pos yang berdekatan dengan permukiman warga yang sewaktu-waktu dapat digerakkan untuk melakukan penggusuran. Di tengah trauma yang belum pulih, warga harus beraktivitas dengan kecemasan dan ketakutan.

Penggusuran penduduk secara paksa dan segala bentuk tindakan tidak manusiawi yang menyertainya, baik secara permanen maupun sementara, merupakan bentuk pelanggaran HAM berat. Hal ini tertuang dalam Resolusi Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 77 Tahun 1993. Resolusi itu menjelaskan, tindakan penggusuran paksa merupakan prima facie atau contoh paling awal yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM sebagaimana dijelaskan dalam Komentar Umum Kovenan Ekonomi Sosial Budaya PBB Nomor 4 Tahun 1991 dan Nomor 7 Tahun 1997. 

Penggusuran paksa menyebabkan masyarakat tercabut dari tanah, sumber-sumber kehidupan, serta budayanya. Masyarakat yang tergusur menjadi pengungsi internal (internally displaced person) baik di tempat yang sudah disediakan maupun berasimilasi dengan masyarakat lain dan di tempat yang lain. 

Dalam kasus Rempang, BP Batam mengklaim ada 189 keluarga yang menerima opsi relokasi ke hunian sementara (Bisnis.com, 9 September 2024). Namun pilihan tersebut tidak bisa diterima sebagai “persetujuan bebas”. Ada kondisi, fakta, atau kejadian yang menyertai, mengkondisikan, atau menentukan keputusan tersebut, seperti intimidasi, ancaman kriminalisasi, serta trauma kekerasan sebelumnya.

Tak hanya di Rempang, pelanggaran HAM yang berkaitan dengan PSN juga terjadi pada 2019-2023. Pelanggaran ini tersebar di 22 provinsi, dengan total 79 kejadian, yang mengakibatkan 101 korban luka, penangkapan terhadap 248 orang, serta 64 orang mengalami kekerasan psikologis (Kontras, 2024). 

Selanjutnya, sepanjang 2020-2023, terdapat 115 konflik agraria akibat PSN dengan luas lahan mencapai 516.409 hektare yang berdampak terhadap 85.555 keluarga (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2024). Rentetan pelanggaran HAM di berbagai tempat tersebut tidak bisa hanya dilihat secara kasuistik. Kasus-kasus ini terjadi akibat adanya kebijakan dan tindakan di lokasi pengerjaan PSN.

Kekerasan terhadap penduduk sipil yang menolak PSN mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti tertuang dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM Juncto Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma). Pasalnya, pelanggaran ini terjadi secara sistematis, menyebar dan meluas, serta mengakibatkan hilangnya kebebasan fisik (pemenjaraan) atau menyebabkan penderitaan besar terhadap tubuh, mental, ataupun kesehatan fisik.

Ihwal kondisi tersebut, harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya. Karena itu, Komnas HAM layak menggunakan kewenangannya untuk menyelidiki berbagai pelanggaran tersebut. 

Komnas HAM mengambil terobosan progresif dengan membentuk tim ad hoc yang melibatkan ahli dan praktisi mumpuni untuk menyelidiki secara disiplin, cermat, teliti, serta hati-hati. Keberanian lembaga ini bisa mencegah terulangnya kejahatan kemanusiaan yang lahir akibat kebijakan PSN. Sebaliknya, jika Komnas HAM malah menutup mata atas berbagai kasus itu, lembaga ini akan menjadi bagian dari infrastruktur impunitas pelanggaran hak asasi manusia.

Berita Lainnya