maaf email atau password anda salah


PSN, Kemiskinan, dan Mimpi Pertumbuhan Inklusif

Fokus PSN pemerintahan Presiden Jokowi bukanlah infrastruktur pertanian dan perdesaan, tempat sebagian besar penduduk miskin.

arsip tempo : 172921748029.

Pemukiman padat semi permanen di kawasan Kebon Kacang, Jakarta, 2 Juli 2024. TEMPO/Tony Hartawan. tempo : 172921748029.

AKSELERASI penyediaan infrastruktur telah menjadi strategi utama pembangunan sekaligus ambisi terbesar Presiden Joko Widodo. Sejak awal kekuasaannya, Jokowi gencar mendorong pembangunan infrastruktur, bahkan dengan lebih banyak mendorong pendanaan dari investor swasta. Ambisi infrastruktur Jokowi secara umum terangkum dalam proyek strategis nasional atau PSN yang berisi daftar ratusan proyek prioritas.

Sepanjang 2016-2023, pemerintahan Jokowi menuntaskan pembangunan 190 PSN senilai Rp 1.515,4 triliun. Arus besar percepatan pembangunan infrastruktur ini masih akan berlanjut di masa depan. Hingga akhir 2023, terdapat 30 PSN yang baru beroperasi sebagian dan 50 PSN yang masih dalam tahap konstruksi. Daftar PSN terbaru (berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023) berisi 204 proyek dan 13 program senilai Rp 5.919 triliun.

PSN, Kemiskinan, dan Mimpi Pertumbuhan Inklusif

Namun arus besar pembangunan infrastruktur prioritas di sepanjang 2016-2023 itu terlihat tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat banyak. Jumlah penduduk miskin lebih banyak dipengaruhi oleh krisis dan bantuan sosial. Sebelum masa pandemi, angka kemiskinan turun drastis dari 11,22 persen pada Maret 2015 menjadi 9,22 persen pada September 2019, dengan jumlah penduduk miskin turun dari 28,6 juta orang menjadi 24,8 juta orang.

Pandemi kemudian meningkatkan angka kemiskinan menjadi 10,19 persen pada September 2020 dengan jumlah penduduk miskin melambung menjadi 27,6 juta orang. Seiring dengan berlalunya pandemi, angka kemiskinan perlahan menurun. Yang terbaru, angkanya kembali ke tingkat sebelum masa pandemi, yaitu 9,03 persen pada Maret 2024, dengan jumlah penduduk miskin 25,2 juta orang. Selain didorong pemulihan ekonomi seiring dengan pelonggaran pembatasan sosial, turunnya angka kemiskinan setelah masa pandemi juga banyak ditopang bansos.

Setahun menjelang Pemilihan Umum 2024, pemerintah secara masif menggelontorkan bansos atas nama El Nino. Selain pemberian bansos reguler, seperti Program Keluarga Harapan, bantuan pangan nontunai, Kartu Indonesia Pintar, dan bantuan langsung tunai desa, pemerintah dengan deras menggulirkan berbagai bansos ad hoc tambahan nyaris tiada henti sejak awal 2023. Banjir bansos yang secara jelas lebih bermotif kepentingan elektoral jangka pendek ini hanya sedikit menurunkan angka kemiskinan dari 9,36 persen pada Maret 2023 menjadi 9,03 persen pada Maret 2024, dengan jumlah penduduk miskin turun dari 25,9 juta orang menjadi 25,2 juta orang.

Jalan Tol dan Kemiskinan

Infrastruktur konektivitas merupakan PSN andalan dan kebanggaan Presiden Jokowi, dengan proyek jalan tol menjadi yang terdepan. Meski awalnya banyak berbicara tentang tol laut, di sepanjang masa kekuasaannya, Jokowi jauh lebih banyak mendorong pembangunan jalan tol. Sepanjang 2015-2024, diperkirakan terbangun 2.132 kilometer jalan tol baru, dengan 1.005 km berlokasi di Jawa dan 986 km di Sumatera. Jalan tol yang terbangun dalam sepuluh tahun terakhir ini melampaui capaian empat dekade sebelumnya pada 1978-2014, dengan 933 km jalan tol yang bisa dibangun.

Pembangunan jalan tol terkonsentrasi di Jawa, pulau terpadat dengan jumlah permintaan transportasi yang tinggi, karena menjanjikan pengembalian investasi menarik bagi investor jalan tol. Hingga kini sekitar 60 persen jalan tol dibangun di Jawa dengan panjang mencapai 1.864 km, yang terdiri atas jalan tol Jabodetabek 393 km, Trans Jawa 1.103 km, dan non-Trans Jawa 368 km.

Dalam upaya menghubungkan Pulau Jawa dalam jaringan jalan tol Trans Jawa, dari Pelabuhan Merak di Kabupaten Cilegon hingga Pelabuhan Ketapang di Kabupaten Banyuwangi, penyelesaian ruas tol di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi krusial. Sejak Desember 2018, dua kota terbesar di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, berhasil tersambung dalam jaringan jalan tol Trans Jawa. Kabupaten Pasuruan dan Nganjuk menjadi daerah yang banyak terkena dampak pembangunan jalan tol pada era Jokowi ini.

Dalam upaya menyelesaikan jaringan jalan tol Trans Jawa, ruas tol di Kabupaten Nganjuk menjadi strategis karena menghubungkan dua kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo dan Surabaya. Karena berlokasi di antara dua kota besar ini, Nganjuk menjadi salah satu daerah paling terkena dampak pembangunan jalan tol Trans Jawa, dengan Kecamatan Kertosono menjadi titik transit.

Dari sebelah barat, Kabupaten Nganjuk terhubung oleh ruas tol Ngawi-Kertosono sepanjang 87,1 km yang beroperasi penuh sejak Maret 2018. Dari ruas tol Ngawi-Kertosono, Nganjuk terhubung dengan Solo. Sedangkan dari sebelah timur, Nganjuk terhubung oleh ruas tol Kertosono-Mojokerto sepanjang 40,2 km yang beroperasi penuh sejak Oktober 2014. Dari ruas tol Kertosono-Mojokerto, Nganjuk terhubung dengan Surabaya.

Ke depan, Kabupaten Nganjuk direncanakan terhubung dengan Kabupaten Kediri melalui ruas tol Kertosono-Kediri. Pembangunan ruas tol sepanjang 20,3 km yang sedang dalam proses konstruksi ini, selain ditujukan mendorong pusat ekonomi baru di Jawa Timur bagian selatan, akan membuka akses menuju Bandar Udara Internasional Dhoho Kediri.

Setelah akselerasi pembangunan jalan tol, angka kemiskinan Kabupaten Nganjuk terlihat menurun tapi lambat, hanya 0,25 persen per tahun, dari 13,14 persen pada 2014 menjadi 10,89 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin hanya turun 2.300 jiwa per tahun dari 137 ribu jiwa menjadi 116 ribu jiwa. Berdasarkan pengalaman Nganjuk pada era tanpa jalan tol, angka kemiskinan justru turun secara progresif hingga 1,75 persen per tahun dari 25,83 persen pada 2006 menjadi 13,60 persen pada 2013, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 16.400 jiwa per tahun dari 225 ribu jiwa menjadi 141 ribu jiwa.

Infog Studia PSN, Kemiskinan, dan Mimpi Pertumbuhan Inklusif

Pengalaman serupa terlihat di Kabupaten Pasuruan yang dipenuhi proyek pembangunan jalan tol dalam dekade terakhir. Pasuruan berlokasi di antara dua kota terbesar di Jawa Timur, yaitu Surabaya dan Malang, sekaligus menjadi daerah yang menghubungkan Surabaya dengan Pelabuhan Ketapang di Kabupaten Banyuwangi. Dengan posisi geografis yang strategis ini, sebagaimana daerah penyangga Surabaya lain, banyak industri manufaktur yang memilih berlokasi di Pasuruan.

Upaya menghubungkan Surabaya dengan Malang sekaligus Kabupaten Banyuwangi dalam jaringan jalan tol Trans Jawa dimulai sejak 1986 dengan dibukanya ruas tol Surabaya-Gempol yang melintasi Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Pasuruan. Kecamatan Gempol, yang berlokasi di Kabupaten Pasuruan, kemudian menjadi titik utama pembangunan jalan tol pada era Jokowi. Gempol menjadi titik pertemuan (junction) dan titik perpindahan (interchange) antara Surabaya dengan Malang dan Kabupaten Banyuwangi.

Pada Juni 2015, ruas tol Gempol-Pandaan sepanjang 13,6 km resmi beroperasi, yang menghubungkan dua kecamatan di Kabupaten Pasuruan, yaitu Kecamatan Gempol dan Kecamatan Pandaan. Ruas tol ini menjadi pintu akses utama yang akan menghubungkan Surabaya dengan Malang. Pada Juni 2019, ruas tol Pandaan-Malang sepanjang 38,5 km resmi beroperasi, yang menghubungkan Kabupaten Pasuruan dengan Malang.

Dari Gempol pula, pada Maret 2017, dibuka ruas tol Gempol-Pasuruan sepanjang 34,5 km yang membelah Kabupaten Pasuruan dan membuka akses yang akan menghubungkan Surabaya dengan Kabupaten Banyuwangi. Pada Juni 2019, ruas tol Pasuruan-Probolinggo sepanjang 31,3 km resmi beroperasi, yang menghubungkan Kabupaten Pasuruan dengan Kabupaten Probolinggo.

Setelah akselerasi pembangunan jalan tol, angka kemiskinan Kabupaten Pasuruan menurun tapi sangat lambat, hanya 0,19 persen per tahun, dari 10,72 persen pada 2015 menjadi 9,24 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin hanya turun 1.900 jiwa per tahun dari 169 ribu jiwa menjadi 154 ribu jiwa. Dari pengalaman Pasuruan pada era tanpa jalan tol, angka kemiskinan justru turun secara progresif hingga 1,35 persen per tahun dari 21,67 persen pada 2006 menjadi 10,86 persen pada 2014, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 17.300 jiwa per tahun dari 309 ribu jiwa menjadi 171 ribu jiwa.

Penghiliran Tambang dan Kemiskinan

Penghiliran atau hilirisasi tambang dengan pelarangan ekspor bijih tambang, dengan nikel sebagai eksperimen awal, menjadi strategi utama pembangunan era Presiden Jokowi selain akselerasi pembangunan infrastruktur. Kebijakan penghiliran tambang diklaim akan menciptakan kesejahteraan dan membawa Indonesia menjadi negara maju.

Selain penerimaan fiskal dari rente ekstraktif dan penciptaan lapangan kerja, argumen untuk adopsi strategi penghiliran tambang sering kali juga didasarkan pada nasionalisme ekonomi untuk penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi di dalam negeri melalui industrialisasi berbasis komoditas tambang. Pemberian insentif fiskal yang masif, akses ke bijih nikel murah, kemudahan bagi pekerja asing, konsesi lahan industrial park berskala besar untuk pusat pemurnian dan pengolahan bijih nikel hingga pembangkit listrik captive berbasis batu bara, serta bebas pajak ekspor hasil penghiliran dikonstruksi sebagai biaya yang pantas dikeluarkan demi transisi menuju industrialisasi, menjadi produsen kendaraan rendah emisi karbon di masa depan.

Sejak kebijakan penghiliran nikel digencarkan dan berpuncak pada pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020, investasi ke industri penghiliran nikel melonjak. Banjir investasi di industri logam dasar yang sangat didominasi penanaman modal asing, sebagian besar menuju Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, terutama Kabupaten Morowali dan Kabupaten Halmahera Tengah.

Kabupaten Morowali, yang kemudian mengalami pemekaran pada 2013 menjadi Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara, menjadi daerah terdepan yang mengadopsi penghiliran industri berbasis ekstraktivisme. Terjangan penghiliran nikel menerpa Morowali, terutama sejak beroperasinya Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada 2015. Hanya dalam lima tahun, setengah dari produksi nikel Indonesia berasal dari kawasan IMIP yang mengukuhkan diri sebagai kawasan industri pengolahan nikel terbesar di Asia Tenggara. Dengan kluster industri baja nirkarat, baja karbon, dan komponen baterai kendaraan listrik di kawasan seluas sekitar 6.000 hektare, IMIP seketika mengubah wajah Morowali secara drastis dan melambungkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Namun penghiliran terlihat tidak berdampak luas bagi perekonomian lokal. Merepresentasikan kekuatan kapital global yang mengendalikan industri penghiliran nikel yang terintegrasi secara vertikal, IMIP gagal menciptakan pertumbuhan inklusif di Kabupaten Morowali. Setelah pembangunan infrastruktur penghiliran industri pengolahan nikel, angka kemiskinan Morowali menurun tapi lambat, hanya 0,47 persen per tahun, turun dari 16,37 persen pada 2015 menjadi 12,59 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin hanya turun 523 jiwa per tahun, turun dari 37.600 jiwa menjadi 33.413 jiwa.

Dari pengalaman Kabupaten Morowali pada era sebelum penghiliran, angka kemiskinan turun secara progresif hingga 1,90 persen per tahun dari 30,14 persen pada 2006 menjadi 14,97 persen pada 2014, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 2.263 jiwa per tahun dari 52 ribu jiwa menjadi 34 ribu jiwa.

PSN, Kemiskinan, dan Mimpi Pertumbuhan Inklusif

Pengalaman serupa terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah. Mengikuti jejak Kabupaten Morowali, Halmahera Tengah kini tumbuh menjadi daerah terdepan penghiliran nikel. Terjangan penghiliran nikel menerpa Halmahera Tengah, terutama sejak beroperasinya Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di lahan seluas 5.000 hektare pada 2018. IWIP, yang merupakan kawasan industri pengolahan nikel terintegrasi untuk produksi baterai kendaraan listrik, segera menjadi tulang punggung ekonomi Halmahera Tengah. Namun penghiliran nikel terlihat tidak berdampak luas bagi perekonomian lokal. IWIP, yang menguasai pengelolaan kawasan yang ke depan akan mencapai hingga 15 ribu hektare, akses ke deposit bijih nikel, industri pengolahan nikel dan baja nirkarat, hingga industri bahan baku baterai kendaraan listrik, gagal menghasilkan pertumbuhan inklusif.

Seiring dengan penghiliran nikel yang didukung kapital global, masyarakat lokal bertransformasi dari masyarakat agraris-bahari menjadi masyarakat buruh upahan. Setelah pembangunan infrastruktur penghiliran industri, angka kemiskinan Kabupaten Halmahera Tengah menurun tapi lambat, hanya 0,50 persen per tahun, turun dari 13,94 persen pada 2018 menjadi 11,44 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin turun hanya 154 jiwa per tahun, turun dari 7.510 jiwa menjadi 6.740 jiwa. Berdasarkan pengalaman Halmahera Tengah pada era sebelum penghiliran, angka kemiskinan justru mampu turun secara progresif, hingga 1,49 persen per tahun, dari 24,56 persen pada 2010 menjadi 14,15 persen pada 2017, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 440 jiwa per tahun, dari 10.500 jiwa menjadi 7.420 jiwa.

Destinasi Wisata Dunia dan Kemiskinan

Salah satu strategi pembangunan yang menonjol pada era Presiden Jokowi adalah upaya menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi sekaligus mesin pendulang devisa. Pada 2017, pemerintah menetapkan 10 destinasi unggulan di luar Bali, atau disebut The 10 New Bali, sebagai fokus dan prioritas pengembangan pariwisata nasional, yaitu Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo, Kepulauan Seribu, Danau Toba, Wakatobi, Tanjung Lesung, Morotai, dan Tanjung Kelayang. Pada 2019, sepuluh destinasi pariwisata prioritas ini dikerucutkan menjadi lima destinasi pariwisata super-prioritas, yaitu Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, dan Likupang.

Secara konseptual, lima destinasi wisata prioritas nasional ini dikembangkan ke arah pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang memiliki ciri utama memberikan pencerahan kepada wisatawan untuk menghormati dan melindungi karakter kultural lokal, memberikan manfaat ekonomi secara luas kepada masyarakat lokal, melindungi alam dan lingkungan hidup, serta berorientasi pada pengalaman wisata yang berkualitas dan unik, tidak semata bertujuan pada jumlah. Pada praktiknya, pengembangan pariwisata di lima destinasi super-prioritas ini banyak terfokus pada upaya pembangunan infrastruktur amenitas (amenity), aksesibilitas (accessibility), dan daya tarik wisata (attraction).

Dengan posisi strategisnya sebagai pintu gerbang untuk memasuki pesona wisata Pulau Flores dan sekitarnya, Labuan Bajo memiliki Bandara Komodo yang beroperasi penuh sejak 2015 dan statusnya ditingkatkan menjadi bandara internasional pada 2024. Dengan bentang alam yang sangat memukau, keindahan laut, dan keanekaragaman hayatinya, termasuk Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo ditetapkan sebagai destinasi pariwisata prioritas pada 2017, yang kemudian ditingkatkan menjadi destinasi pariwisata super-prioritas pada 2019. Pembangunan infrastruktur kunci untuk meningkatkan standar pariwisata di Labuan Bajo antara lain ratusan hotel dan resor, kawasan terpadu waterfront pantai marina, hingga puluhan plaza komersial dan pusat belanja. 

Seiring dengan transformasi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata tingkat dunia, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Manggarai Barat terdongkrak naik. Namun dampak kesejahteraan dari pembangunan destinasi wisata tingkat dunia ini terlihat rendah. Angka kemiskinan Manggarai Barat menurun tapi lambat, hanya 0,41 persen per tahun, turun dari 20,12 persen pada 2015 menjadi 16,82 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin hanya turun 131 jiwa per tahun dari 51 ribu jiwa menjadi 50 ribu jiwa. Dari pengalaman Manggarai Barat pada era sebelum destinasi wisata prioritas, justru angka kemiskinan bisa turun secara progresif hingga 1,62 persen per tahun dari 30,19 persen pada 2006 menjadi 17,20 persen pada 2014, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 2.038 jiwa per tahun dari 58.900 jiwa menjadi 42.600 jiwa.

Pengalaman serupa terjadi dalam pengembangan destinasi wisata unggulan di Kabupaten Lombok Tengah, yaitu di Kawasan Mandalika. Jauh sebelum Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika diresmikan pada Desember 2015, infrastruktur konektivitas telah dibangun, yaitu Bandara Internasional Lombok yang beroperasi sejak 2011. Mandalika kemudian ditetapkan sebagai destinasi pariwisata prioritas pada 2017, lalu ditingkatkan menjadi destinasi pariwisata super-prioritas pada 2019.

PSN, Kemiskinan, dan Mimpi Pertumbuhan Inklusif

KEK Mandalika dibangun sebagai kawasan pariwisata terpadu tepi pantai dengan standar infrastruktur pariwisata kelas dunia, dari hotel dan resor, area komersial, taman hiburan, hingga fasilitas olahraga, yaitu sirkuit internasional dan lapangan golf. KEK Mandalika dibangun dalam tiga zona, yaitu Zona Barat dengan ikon Kuta Beach Park, Zona Tengah dengan ikon Sirkuit Internasional Mandalika yang beroperasi sejak 2021, dan Zona Timur dengan ikon destinasi meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) dan taman hiburan (theme park).

Seiring dengan transformasi Mandalika sebagai destinasi wisata tingkat dunia, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Tengah terdongkrak naik. Namun dampak kesejahteraan dari pembangunan destinasi wisata tingkat dunia ini terlihat rendah. Angka kemiskinan Lombok Tengah menurun tapi lambat, hanya 0,43 persen per tahun, dari 18,14 persen pada 2011 menjadi 12,93 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin hanya turun 2.355 jiwa per tahun dari 158 ribu jiwa menjadi 130 ribu jiwa.

Pengalaman pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Tengah di era sebelum destinasi wisata prioritas justru jauh lebih inklusif dengan angka kemiskinan yang turun secara progresif. Angka kemiskinan turun hingga 2,02 persen per tahun dari 27,98 persen pada 2006 menjadi 19,92 persen pada 2010, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 14.900 jiwa per tahun dari 231 ribu jiwa menjadi 171 ribu jiwa.

Infrastruktur dan Kemiskinan

Infrastruktur merupakan input penting untuk pembangunan. Infrastruktur yang memadai akan memperbaiki produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, menurunkan kesenjangan, serta meningkatkan akses si miskin terhadap peluang ekonomi produktif. Namun, tanpa visi dan afirmasi yang kuat, dorongan besar melalui investasi infrastruktur bisa menjadi sia-sia tanpa dampak yang berarti pada produktivitas, pemerataan, dan kemiskinan.

Jenis infrastruktur yang dibangun akan menentukan seberapa besar manfaatnya. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan pertanian adalah hal krusial untuk penanggulangan kemiskinan sekaligus pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kenaikan produktivitas pertanian membutuhkan infrastruktur perdesaan yang memadai, pasar domestik yang bebas distorsi, teknologi tepat guna, dan dukungan institusi ekonomi desa yang sesuai. Dengan tingginya economic rate of return dari infrastruktur pertanian, menjadi krusial untuk mendorong investasi pada infrastruktur baru ataupun perawatan infrastruktur perdesaan yang sudah ada.

PSN, Kemiskinan, dan Mimpi Pertumbuhan Inklusif

Terlihat jelas bahwa fokus PSN bukanlah infrastruktur pertanian dan perdesaan, tempat sebagian besar penduduk miskin berada. PSN terlihat berfokus pada infrastruktur konektivitas, terutama jalan tol yang secara jelas bias perkotaan, serta infrastruktur penghiliran tambang dan infrastruktur destinasi wisata dunia yang sangat padat modal. Arah dan prioritas kebijakan infrastruktur secara jelas adalah pertumbuhan ekonomi dan mobilitas penduduk, khususnya di Jawa dan daerah perkotaan. Tidak mengherankan PSN gagal menghasilkan pertumbuhan inklusif.

Kebijakan PSN secara jelas didasarkan pada strategi pertumbuhan ekonomi yang diyakini akan memberikan manfaat bagi rakyat banyak (pro-poor growth). Namun, ketika kapabilitas rakyat lemah, mereka tidak pernah mampu memanfaatkan peluang yang tercipta di pasar. Rakyat dengan daya tahan dan daya saing yang lemah ini masih harus pula dihadapkan pada biaya transaksi ekonomi yang tinggi, seperti pungutan liar dan korupsi, hingga terbatasnya kesempatan ekonomi akibat minimnya pembangunan infrastruktur pertanian dan industri padat karya yang merupakan sumber penghidupan sebagian besar masyarakat.

Lebih jauh, strategi penanggulangan kemiskinan berbasis pertumbuhan ekonomi (pro-poor growth) sulit dilakukan pada perekonomian yang terbelah oleh kesenjangan pendapatan yang lebar. Perbedaan kinerja pro-poor growth yang bertolak belakang antara era Orde Baru dan era reformasi banyak terjelaskan oleh perbedaan tingkat kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi juga sulit memberi manfaat yang luas ketika sektor informal yang subsisten dan marginal adalah besar dan tidak terintegrasi dengan sektor formal-modern. Pro-poor growth juga sulit diwujudkan ketika perekonomian masih sangat bergantung pada ekspor komoditas primer dengan diversifikasi struktur produksi yang rendah dan tanpa pendalaman industri.

Rubrik Studia merupakan hasil kerja sama antara Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Tempo. Artikel ini ditulis oleh Direktur IDEAS Yusuf Wibisono bersama peneliti IDEAS, yakni Tira Mutiara, Sri Mulyani, dan Fajri Azhari.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 Oktober 2024

  • 17 Oktober 2024

  • 16 Oktober 2024

  • 15 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan