Kebijakan Mitigasi Krisis Iklim Tak Sinkron dengan Kebijakan Pendidikan
Pendidikan perubahan iklim belum menjadi prioritas dari segi kebijakan ataupun pendidikan. Terdapat ketidaksinkronan gagasan.
Kelvin Tang
Selasa, 27 Agustus 2024
PERUBAHAN iklim dianggap sebagai ancaman terbesar bagi umat manusia di abad ke-21. Dampaknya tidak hanya berhubungan dengan permasalahan lingkungan, tapi juga permasalahan sosial dan ekonomi. Indonesia merupakan salah satu negara yang berisiko tinggi terkena dampak perubahan iklim. Sialnya, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak siap menghadapi dampak tersebut.
Pada saat yang sama, Indonesia sudah merasakan berbagai fenomena akibat perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan yang berkepanjangan, pergeseran pola curah hujan, peningkatan suhu, serta naiknya permukaan air laut.
Komunitas internasional melalui UNESCO menyepakati salah satu cara mempersiapkan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim, terutama generasi muda, adalah melalui pendidikan. Pendidikan perubahan iklim (climate change education) dikumandangkan UNESCO sebagai pendidikan formal, nonformal, dan informal yang membantu orang-orang memahami serta menghadapi dampak krisis iklim, juga memberdayakan mereka dengan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang dibutuhkan.
Penelitian yang saya lakukan, yang terbit di seri Nature Partner Journals Climate Action edisi 8 Juli 2024, tentang posisi dan kondisi pendidikan perubahan iklim di Indonesia menunjukkan pendidikan perubahan iklim di Tanah Air belum menjadi prioritas, baik dari segi kebijakan perubahan iklim maupun kebijakan pendidikan. Terdapat ketidaksinkronan gagasan pendidikan perubahan iklim dalam kedua kebijakan tersebut.
Tujuan Mitigasi Perubahan Iklim dan Pendidikan Harus Selaras
Menggunakan analisis tematik 20 teks kebijakan perubahan iklim, seperti Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim; 12 teks kebijakan pendidikan, seperti Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka di Indonesia; serta wawancara dengan 17 ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan, serta Dinas Pendidikan Kota Balikpapan, penelitian ini menemukan bahwa:
1. Pendidikan Perubahan Iklim Masih Termarginalkan
Kebijakan perubahan iklim dan kebijakan pendidikan memang menjelaskan pentingnya pendidikan perubahan iklim. Namun pendidikan perubahan iklim masih sangat termarginalkan dalam kedua kebijakan tersebut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Fokus pendidikan perubahan iklim sering kali mengabaikan inisiatif pendidikan yang lebih luas, termasuk yang menargetkan anak-anak dan masyarakat umum.
Perwakilan Direktorat Mitigasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, "Masalahnya adalah jejak karbon masyarakat belum diperhitungkan, belum diukur. Jadi kita tidak bisa memposisikan mereka sebagai pelaksana aksi dalam konteks yang lebih jelas."
Akibatnya, pelaksanaan pendidikan perubahan iklim lebih banyak melalui jalan nonformal, seperti pelatihan atau lokakarya. Ini ditujukan kepada pihak-pihak bersangkutan, seperti staf pemerintahan dan sektor swasta strategis. Namun pemerintah Indonesia mengakui akurasi pencatatan tersebut masih dipertanyakan karena tidak ada sistem yang mencatat, memonitor, serta mengevaluasi kegiatan dan hasilnya.
Selain itu, dengan sistem pendidikan desentralisasi, setiap daerah ataupun sekolah dapat menentukan sendiri isu pendidikan yang menjadi prioritas. Dinas pendidikan daerah dan sekolah-sekolah berlomba mengajukan mata pelajaran ataupun topik untuk menjadi prioritas, seperti pendidikan kewarganegaraan, bahasa daerah, dan pendidikan agama. Ini sering kali menghalangi isu pendidikan perubahan iklim menjadi topik prioritas di suatu daerah.
Integrasi isu perubahan iklim juga masih termarginalkan dalam mata pelajaran sains. Terminologi "pemanasan global" dan "perubahan iklim" dalam kebijakan pendidikan, misalnya, hanya dapat ditemukan secara masif dalam dokumen-dokumen yang diterbitkan pada 2022, bersamaan dengan pemberlakuan Kurikulum Merdeka.
2. Kurangnya Sinergi Antar-Kebijakan
Definisi dan tujuan pendidikan perubahan iklim dalam kebijakan perubahan iklim dan kebijakan pendidikan masih berbeda. Kebijakan perubahan iklim menggunakan gagasan capacity building atau pembangunan kapasitas yang menitikberatkan pada keterampilan teknis penanganan perubahan iklim.
Fokus pendidikan perubahan iklim dalam kebijakan perubahan iklim adalah pendidikan nonformal melalui pelatihan-pelatihan. Dengan demikian, pembangunan kapasitas tertuju terutama pada staf pemerintahan dan sektor swasta yang berhubungan dengan lima sektor pengendalian perubahan iklim, yaitu sektor energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan.
Sementara itu, kebijakan pendidikan memiliki gagasan agen perubahan dalam mengatasi perubahan iklim. Melalui pendidikan perubahan iklim, kebijakan pendidikan bertujuan menumbuhkan individu-individu yang memiliki landasan moral dan karakter yang kuat serta menghormati lingkungan. Individu-individu ini kemudian diharapkan dapat menerjemahkan nilai-nilai etik mereka ke dalam tindakan nyata sehingga dapat berkontribusi pada strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang efektif.
Kurangnya sinergi tujuan kedua kebijakan tersebut mengakibatkan program-program pendidikan perubahan iklim tidak efektif. Padahal, selain meningkatkan efektivitas dari segi implementasi ataupun pemanfaatan sumber daya, kebijakan yang bersinergi akan memudahkan pemantauan dan evaluasi dampak inisiatif pendidikan perubahan iklim.
Pendekatan pendidikan Jepang untuk pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development/ESD), contohnya, menunjukkan kebijakan yang selaras. Pemerintah Jepang mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan ke dalam kurikulum nasionalnya, memastikan bahwa siswa belajar tentang aspek keberlanjutan dalam berbagai mata pelajaran. Siswa mempelajari pentingnya hemat listrik sebagai aksi konsumsi berkelanjutan. Ini selaras dengan kebijakan nasional Jepang yang mengutamakan efisiensi energi untuk meredam perubahan iklim.
3. Dominan Nilai Ekonomi
Pertimbangan ekonomi yang mendominasi wacana kebijakan sering kali membayangi aspek pendidikan dan lingkungan dalam pendidikan perubahan iklim. Ini berpotensi memarginalkan pendidikan perubahan iklim dalam domain kebijakan.
Di Indonesia, strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus mengikuti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional, yang bertujuan meningkatkan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Proyek-proyek seperti pembangunan jalan tol, bandar udara, dan kawasan industri sering kali diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun dapat meningkatkan pendapatan daerah serta menciptakan lapangan kerja, proyek-proyek itu juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, peningkatan emisi karbon, dan degradasi ekosistem.
Dalam konteks ini, pendidikan tentang dampak lingkungan dari proyek-proyek tersebut sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting dibanding manfaat ekonominya. Akibatnya, pemahaman masyarakat tentang dampak lingkungan dari proyek-proyek pembangunan ini tetap rendah.
Fokus ekonomi dalam kebijakan perubahan iklim dan kebijakan pendidikan memang penting bagi Indonesia. Namun porsi penyampaiannya perlu diseimbangkan dengan penanganan dan pendidikan perubahan iklim. Pendidikan perubahan iklim juga dapat menjadi alat untuk memperkenalkan permasalahan rumit, seperti dampak pembangunan terhadap lingkungan, untuk meningkatkan pemikiran kritis para pelajar.
Masih Ada Harapan
Temuan-temuan di atas menunjukkan terdapat kebutuhan mendesak akan kebijakan yang terkoordinasi antara tujuan perubahan iklim dan pendidikan. Harapannya, desain dan implementasi pendidikan perubahan iklim dapat berjalan selaras dan efektif di Indonesia.
Saat ini usaha-usaha ke arah sana mulai tampak. Inisiatif seperti Kurikulum Merdeka versi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Program Adiwiyata yang dirumuskan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan ada upaya memasukkan pendidikan perubahan iklim ke sistem pendidikan formal.
Kurikulum Merdeka dirancang untuk pembelajaran yang lebih fleksibel sehingga memungkinkan integrasi topik-topik perubahan iklim ke dalam berbagai mata pelajaran. Kurikulum Merdeka juga memuat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Program lintas disiplin ini bertujuan memberikan kesempatan bagi peserta didik "mengalami pengetahuan" melalui proyek-proyek observasi lingkungan sekitar dan mencari solusi untuk masalah yang ditemukan. Salah satu topik P5 adalah "gaya hidup berkelanjutan".
Baca juga:
Program Adiwiyata juga dapat mendorong sekolah-sekolah yang berpartisipasi meningkatkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan siswa. Sekolah juga dapat mengevaluasi kegiatan pembelajaran berdasarkan tanggung jawab mereka untuk melestarikan lingkungan alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Pendidikan perubahan iklim yang ditujukan kepada masyarakat umum, khususnya generasi muda, menjadi sangat penting untuk mempersiapkan bangsa Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang diprediksi lebih ekstrem pada beberapa dekade mendatang. Hal ini menekankan perlunya pengarusutamaan pendidikan perubahan iklim dalam pendidikan formal di Indonesia.
Indonesia dapat memulai langkah awal dengan membuat kebijakan khusus mengenai desain dan implementasi pendidikan perubahan iklim yang holistik dan selaras, tidak tumpang-tindih. Misi ini dapat tercapai dengan adanya peran yang jelas bagi instansi yang bertanggung jawab atas pendidikan perubahan iklim dalam pendidikan formal di Indonesia.