maaf email atau password anda salah


Risiko Bencana Penangkapan Karbon PLTU

Tak ada teknologi yang bisa memerangkap karbon (carbon capture) di atas 80 persen. Risiko kebocoran karbon dalam tanah.

arsip tempo : 172656065462.

Pekerja melintas di depan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara. ANTARA/Andri Saputra . tempo : 172656065462.

ASEAN Centre for Energy (ACE) merilis laporan yang menekankan negara ASEAN tidak perlu buru-buru mengakhiri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk memerangi perubahan iklim. ACE berencana mempertahankan PLTU dengan porsi yang signifikan dalam rencana transisi energi ASEAN.

Laporan itu juga menyarankan pemberian tambahan waktu transisi energi kepada negara ASEAN untuk meningkatkan kapasitas jaringan listrik. Harapannya, transisi energi bisa makin mulus karena ada jaringan yang bisa mengakomodasi pasokan setrum dari sumber energi terbarukan. 

Untuk mengurangi dampak negatif batu bara, ACE mendesak negara-negara ASEAN mengganti teknologi PLTU kuno dengan teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi (high-efficiency low-emission) yang dianggap lebih ramah lingkungan. 

PLTU, menurut ACE, juga perlu memasang teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) serta penggunaan carbon capture utilizaton and storage (CCUS).

Menariknya, pandangan serupa dipromosikan oleh World Coal Association—saat ini bernama Future Coal—pelobi internasional untuk kebijakan pendukung batu bara.

Sekilas, pandangan ACE dan Future Coal mungkin menjanjikan. Namun artikel kami justru membuktikan ada risiko berbahaya dalam perpanjangan kegiatan operasi PLTU versi ACE. 

Risiko ini perlu dipertimbangkan secara saksama agar tidak menjadi perkara yang lebih besar di masa depan.

Solusi Semu Teknologi Efisien

Secara teknis, PLTU yang efisien dan rendah emisi dalam bayangan ACE adalah pembangkit teknologi ultra superkritikal. Sejumlah pihak menganggap teknologi ini lebih ramah lingkungan dibanding teknologi pembangkit biasa. Sebab, meski lebih sedikit pembakaran batu bara, energi yang dihasilkan lebih banyak.

Kendati demikian, anggapan tersebut meragukan karena teknologi ultra superkritikal justru menciptakan masalah baru. Studi kasus di Australia menunjukkan bahwa pembangkit listrik dengan teknologi ini lebih sering rusak dan memerlukan lebih banyak perbaikan. 

Pembangkit yang byar-pet justru berujung pada lonjakan tarif listrik pada 2018-2019, atau 10 tahun sejak teknologi ini beroperasi di Negeri Kanguru pada 2007. 

Kegagalan pembangkit listrik ultra superkritikal untuk menyuplai listrik secara stabil bertentangan dengan tujuan ACE mencegah kelangkaan listrik serta mempersiapkan transisi yang lebih lancar menuju energi bersih dan terbarukan.

Risiko Penyimpanan dan Pemakaian Karbon

Teknologi lain yang diadvokasi ACE adalah penangkapan dan penyimpanan karbon yang berfungsi menangkap serta menyimpan emisi karbon PLTU di dalam tanah. Banyak penyedia teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon yang mengklaim mereka berhasil mengurangi emisi PLTU hingga 95 persen.

Sayang, performa teknologi ini tidak pernah sebaik yang digembar-gemborkan banyak kelompok. 

Laporan organisasi think tank global, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menunjukkan tak satu pun teknologi tersebut yang bisa memerangkap karbon di atas 80 persen. Bahkan ada produk yang hanya memerangkap emisi karbon sebesar 15 persen.

Risiko besar lain adalah kebocoran karbon yang disimpan di dalam tanah. Kebocoran ini bukan hanya bisa memangkas keberhasilan pengurangan emisi, tapi juga mencemari air tanah sehingga membahayakan komunitas setempat. 

Pendukung teknologi penangkapan karbon mengklaim bahwa kemungkinan kebocoran sangat kecil. Sekalipun terjadi, dampaknya tidak akan menjadi bencana. 

Namun klaim tersebut masih bersyarat: “apabila hasil tangkapan karbon disimpan dengan benar".

Masalahnya, kebocoran 1 persen setiap 10 tahun sudah cukup untuk menciptakan dampak signifikan bagi kenaikan temperatur bumi. Menjaga tingkat kebocoran karbon pada level yang aman membutuhkan pengawasan dan penegakan aturan yang ketat. 

Pengawasan penangkapan karbon untuk mencegah kebocoran juga akan menambah pekerjaan rumah di tengah lemahnya penegakan aturan di negara berkembang, terutama Indonesia.

Masalah lain adalah soal efisiensi penangkapan karbon. Secara teknis, teknologi ini dianggap berhasil apabila mampu menangkap 90 persen karbon yang keluar dari cerobong asap PLTU. Artinya, masih ada 10 persen emisi PLTU yang terlepas ke atmosfer.

Kemampuan tersebut bisa saja ditingkatkan. Tapi biaya dan energi yang kita butuhkan sangatlah besar.

Di sisi lain, penghamburan uang melalui penangkapan dan penyimpanan karbon yang harganya makin mahal hanya akan memperpanjang keberadaan PLTU batu bara yang merusak lingkungan.

Penggunaan karbon yang disimpan (carbon utilization) juga tak kalah kontroversial. Secara teori, karbon ini bisa dimanfaatkan untuk mengekstraksi minyak serta mengawetkan makanan. 

Kendati demikian, secara praktik, pemanfaatan karbon di pasaran masih sangat sedikit. Jumlahnya kurang dari 1 persen dari emisi CO2 PLTU batu bara. 

Pengolahan CO2 menjadi bahan bakar minyak juga sangat boros karena memerlukan energi tambahan. Apalagi ada kehilangan energi rata-rata 25-35 persen dari proses konversi. 

Riset peningkatan efisiensi konversi CO2 ke BBM memang masih berjalan. Namun sejauh ini belum ada solusi untuk meningkatkan efisiensinya.

Mengapa Setengah Hati?

ACE semestinya tidak bisa mengandalkan solusi berbasis teknologi yang belum matang dan berisiko tinggi. ACE perlu lebih mengedepankan solusi yang tidak berisiko, hemat modal, dan berdampak positif, seperti energi bersih terbarukan berbasis komunitas atau pemulihan hutan secara agresif. 

Energi bersih terbarukan berbasis komunitas membuka kesempatan bagi masyarakat yang terisolasi secara geografis ataupun termarginalkan secara sosial dan ekonomi untuk memanfaatkan energi secara mandiri. 

Energi terbarukan berbasis komunitas juga bisa lebih menghemat penggunaan lahan. Ini dapat meminimalkan konflik agraria dan konflik sosial yang sering terjadi di area proyek pembangkit listrik. 

Sementara itu, pemulihan hutan besar-besaran tidak memerlukan teknologi yang rumit agar bisa lebih banyak menangkap emisi karbon. Soalnya, hutan mampu menangkap 30 persen dari seluruh emisi karbon di atsmosfer, tidak terbatas dari cerobong PLTU. 

Penelitian terkini juga menunjukkan bahwa penghijauan tidak harus dilakukan dalam sebuah proyek berskala besar dan terpusat di kawasan hutan. Penanaman tanaman hutan di daerah pinggiran kota atau desa, bahkan sekadar taman kota yang tersebar di jutaan titik, tetap berpeluang menurunkan emisi karbon. 

ACE juga perlu mempertimbangkan solusi penggantian langsung PLTU batu bara kuno dengan pembangkit listrik energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Biaya pembangkit ramah lingkungan ini makin menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagian besar anggota ASEAN adalah negara berkembang. Mereka tidak memiliki kapasitas fiskal besar. Karena itu, mereka perlu berhati-hati dalam mengadopsi teknologi—apalagi jika keandalannya meragukan dan mahal.

Sungguh mengherankan mengapa kita harus menggantikan PLTU batu bara dengan PLTU batu bara lain. Ibaratnya, kita masih ingin mengganti ponsel monofonik ke ponsel polifonik yang sama jadulnya. Mengapa tidak sekalian beli smartphone saja?

Artikel ini ditulis bersama Panji Kusumo, peneliti ekonomi lingkungan dari Celios. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan