Putusan Setengah Hati Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi menolak membatalkan kemenangan Prabowo-Gibran. Tidak berani membuat putusan progresif.
Tempo
Selasa, 23 April 2024
SPEKULASI putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. berakhir kemarin. Seperti dugaan banyak orang, putusan hakim konstitusi yang menangani sengketa pilpres 2024 ini menolak gugatan yang menyoal kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, meski tidak bulat.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 22 April 2024 itu mengecewakan karena lembaga hukum tertinggi ini hanya menjalankan tugas sebagai pengadil sengketa hasil pemilihan umum. Para hakim konstitusi tidak secara mendalam memeriksa permohonan penggugat yang mendalilkan adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilu presiden 2024.
Bentuk kecurangan yang diajukan kubu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, antara lain, campur tangan langsung Presiden Joko Widodo untuk meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka melalui perubahan aturan dalam Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi; penggunaan fasilitas bantuan sosial; dan pengerahan lembaga negara untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran satu putaran.
Para penggugat, sejak awal, berharap hakim konstitusi bertindak tidak normatif atau berani melakukan judicial activism dalam membuat putusan. Hakim diharapkan tidak semata menafsirkan Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 soal selisih hasil suara pemilu. Penggugat berharap hakim konstitusi membuktikan bahwa lembaga ini bukan seperti plesetan sejumlah orang: Mahkamah Kalkulator.
Mempersoalkan kecurangan yang terstruktur, masif, dan meluas ini bisa jadi juga dipakai penggugat setelah menimbang besar-kecilnya peluang memenangi gugatan. Berdasarkan hasil akhir rekapitulasi KPU, perolehan suara Prabowo-Gibran sangat jauh memimpin, yaitu 96.214.691 suara (58,6 persen), dibanding Anies-Muhaimin sebanyak 40.971.906 suara (24,9 persen) atau Ganjar-Mahfud 27.040.878 suara (16,5 persen).
Para penggugat juga mendalilkan hakim konstitusi sebagai "pelindung konstitusi", sehingga mereka akan mempertimbangkan bahaya akibat kecurangan yang brutal dalam pemilu presiden ini. Dalil itu diharapkan bisa membuat hakim konstitusi berani mengambil keputusan drastis, antara lain, memerintahkan pemilihan umum ulang.
Sikap Mahkamah Konstitusi dalam putusan 22 April 2024 ini mirip saat menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon wakil presiden. Sejumlah intelektual sudah mengingatkan bahaya gugatan itu yang akan melanggengkan politik dinasti dan ancaman bagi demokrasi, yang menuntut syarat pemilu yang jujur, adil, dan transparan. Mayoritas hakim konstitusi mengabaikan prinsip ini sehingga membuat putusan yang menjadi tiket bagi Gibran menjadi calon wakil presiden.
Masalahnya tak hanya di Mahkamah Konstitusi. Kritik juga harus dilayangkan kepada penggugat yang mengajukan dalil dan barang bukti yang lemah. Bukti-bukti lemah itu diperparah oleh sikap ambigu atau pragmatisme partai pendukung Anies dan Ganjar sebelum menempuh jalur hukum dalam mempersoalkan pemilu presiden ini.
Setelah pencoblosan dan hasil hitung cepat, yang memberi sinyal Prabowo-Gibran memimpin perolehan suara, para politikus pendukung kedua calon presiden itu bermanuver menjajaki pembicaraan awal untuk membangun koalisi. Upaya ini mengundang tanda tanya, apakah gugatan itu serius untuk mempersoalkan kecurangan pemilu atau ada tujuan lain?
Satu-satunya kabar baik dari Mahkamah Konstitusi adalah adanya dissenting opinion dari Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih. Berbeda dari lima kolega lain, ketiganya membenarkan ada masalah dalam Pemilu 2024, dari soal pemanfaatan bansos untuk kepentingan elektoral hingga mobilisasi aparat negara untuk memenangi pemilu, sehingga permohonan penggugat layak dikabulkan.
Dissenting opinion ini pertama kali muncul dalam putusan sengketa pemilu. Selama ini putusan MK selalu bulat untuk menjaga kredibilitas hasil pemilihan presiden. Dengan kata lain, perbedaan itu tak bisa dijembatani karena kecurangannya sangat faktual sehingga akan menjadi cacat atas legitimasi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini memang bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Ia seperti symptom dari masalah politik Indonesia. The Economist Intelligence Unit mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat. Para Indonesianis menyebutkan negara ini mengalami kemunduran demokrasi.
Apa yang dilakukan Jokowi dan kelompoknya dalam memenangkan jagoan mereka bisa dikategorikan sebagai kejahatan politik. Secara teoretis dan praktik di banyak negara, sangat sulit masalah seperti itu bisa diselesaikan melalui proses hukum yang singkat—hanya 14 hari—di Mahkamah Konstitusi. Tapi yang tak kalah penting adalah sistem hukum untuk menyelesaikannya, termasuk prinsip dan nilai yang dianut para hakim.
Kekecewaan terhadap hasil pemilu presiden, juga atas proses politik saat ini, hanya bisa diperbaiki dengan jalan politik. Ini bisa diawali dengan sikap sungguh-sungguh partai pengusung Anies dan Ganjar menolak bergabung dalam pemerintahan baru yang dihasilkan dari proses yang cacat ini.
Koalisi partai nonpendukung Prabowo-Gibran perlu membangun "kekuatan oposisi", menjalankan fungsi checks and balances, di parlemen. Dalam dissenting opinion, Saldi Isra juga menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat punya tanggung jawab menjaga pemilu agar berlangsung bebas, jujur, dan adil. Salah satu caranya adalah memproses hak angket Pemilu 2024.
Politik yang menghalalkan segala cara, yang sering diasosiasikan sebagai Machiavellianism, harus dilawan sebelum berakar dalam. Praktik penggunaan sumber daya negara untuk membela kekuasaan harus dipersoalkan agar tak terus berulang. Sebab, penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilihan presiden bisa berulang dalam pemilihan kepala daerah serentak pada November mendatang.