Tinggal di daerah yang gersang dan tandus membuat warga di Gunungkidul, Yogyakarta, punya sistem pertanian dan pengolahan pangan tradisional yang khas. Secara turun-temurun, warga di sana menjalankan sistem pertanian tadah hujan. Lalu, karena hasil panen yang sangat bergantung pada cuaca, warga terbiasa mengawetkan hasil ladang agar bisa disimpan lama untuk mencukupi kebutuhan pangan hingga musim panen berikutnya.
Konsep pertanian yang dijalankan warga itu pun tak bertujuan komersial. Justru para petani dan peladang berfokus merawat tanaman hingga panen sebagai upaya memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya (subsistens).
Hal itu rupanya menjadi solusi kebutuhan pangan warga setempat ketika pageblug virus corona menerpa. Saat pembatasan sosial di banyak daerah diberlakukan, para anak muda dan warga desa yang merantau ke kota-kota besar memilih pulang kampung. Dusun Wintaos di Girimulya, Gunungkidul, adalah salah satu contoh desa yang menerima “serbuan” arus ruralisasi (perpindahan masyarakat dari kota ke desa) itu.
“Fenomena ini memperlihatkan bahwa desa dengan sistem pertanian yang dijalankan di sana memberikan jaminan sosial, termasuk di antaranya jaminan pangan dan perasaan aman bagi para pemuda yang merantau,” ujar Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan, yang berlokasi di Wintaos, dalam diskusi siaran langsung di akun Instagram Sekolah Pagesangan.
Sekolah Pagesangan, yang berbasis komunitas, didirikan oleh Diah sekitar 12 tahun lalu. Sekolah ini menggunakan konsep pendidikan kontekstual dan terbuka untuk seluruh warga. Di sini warga bisa belajar pengetahuan umum dan ilmu-ilmu praktis dalam pengelolaan lahan pertanian. Tema belajar bertani dipilih sebagai muatan proses belajar karena dianggap sebagai salah satu potensi terbesar warga di sana. Salah satu misi sekolah ini juga bertujuan mengatasi salah satu persoalan di desa tersebut: menahan laju urbanisasi anak muda.
Salah satu metode yang dilakukan di Pagesangan adalah pengenalan budaya bertani kepada anggota kelompok belajar usia dini, yakni anak-anak usia 6-13 tahun. Materi yang diajarkan misalnya “sobo pawon”, yakni beraktivitas di dapur (pawon) untuk mengenal benda-benda di sana. Lalu, ada “sobo tegal” atau beraktivitas di ladang untuk memperkenalkan kegiatan bertani yang dijalankan orang tua mereka. Tapi, meski sudah ada aneka kegiatan dan program yang bagi orang dewasa tampak menarik dan ideal itu, belum tentu para anak muda desa kemudian mau bertahan di kampung halaman.
“Sampai sekarang minat anak muda Wintaos untuk merantau ke kota masih tinggi,” kata Diah saat dihubungi terpisah. Menurut dia, persoalan urbanisasi di Gunungkidul sama dengan daerah lain, yakni persoalan sistemik. “Ada banyak faktor yang membuat anak muda setempat merasa perlu untuk keluar dari desa,” ujarnya. Kalaupun ada anak muda yang bertahan di desa, kata Diah, jumlahnya tak banyak, hanya sekitar 10-20 persen dari setiap angkatan belajar. “Dari 17-20 anak, yang bertahan paling 1 atau 2 orang, sisanya masih tergoda untuk menjadi buruh urban.”
Diah mengatakan, perlu pendekatan khusus agar anak-anak desa tidak pergi ke kota dan tetap bertahan di desa meneruskan kegiatan pertanian orang tuanya. “Anak muda dan remaja itu pola pikirnya masih menuruti hal-hal yang membuat mereka senang,” tutur dia. Karena itu, kata dia, proses pendidikan yang dilakukan di Pagesangan diproyeksikan sesuai dengan minat anak-anak. “Enggak bisa dipaksakan dari orang luar, harus digali suara mereka, apa yang mereka mau. Lalu, dicari irisan dengan potensi yang ada di lingkungan.”
Salah satu upaya Diah untuk membuat warga “betah” di desa dan bersemangat menggarap lahannya adalah dengan membentuk kelompok masyarakat pengolah pangan hasil tani warga. Di Pagesangan terdapat potensi hasil bumi yang sangat beragam, dari koro yang bisa dijadikan tempe, tiwul, kacang ijo, kacang tanah, kacang tholo, beras merah, hingga beras jali. Hasil kebun itu dialokasikan dari hasil ladang warga yang surplus (melebihi kebutuhan diri sendiri dan keluarga). Produk hasil olahan kelompok beranggotakan para ibu dan perempuan muda desa itu lalu dipasarkan dengan sistem pemasaran langsung ke konsumen.
Menurut Diah, sebagian dari “murid” Pagesangan yang memilih tinggal di desa akhirnya menjadi pengelola toko bahan pangan yang diberi nama Kedai Sehat Pagesangan. Tak hanya dipasarkan untuk warga sekitar, aneka produk hasil bumi itu juga mereka pasarkan secara luas melalui media sosial. “Nanti uang dari keuntungan penjualan itu dikelola bersama untuk keperluan komunitas dan kesejahteraan anggotanya,” kata dia.
Tapi, bagi warga Wintaos, ukuran kesejahteraan mereka bukan sekadar pendapatan dalam bentuk uang. “Lewat proses ini, kami mendapatkan banyak pengalaman, pengetahuan, pertemanan, dan keluarga. Ini yang kami namakan kesejahteraan.” ***
PRAGA UTAMA