Bagi Agus Nur Amal, menjadi seorang pendongeng atau penutur hikayat membutuhkan disiplin diri untuk berkarya. Laki-laki 50 tahun yang dikenal dengan nama panggung PM Toh itu menganggap disiplin dirilah yang membuatnya bertahan menjadi pencerita selama hampir tiga dekade. "Kalau dulu olah vokal sambil berenang, sekarang setiap pagi jalan kaki. Intinya, harus disiplin sama diri sendiri," kata Agus kepada Tempo, Kamis lalu.
Menjadi pembawa hikayat, bagi Agus, adalah sebuah ibadah. Kuliah di Jurusan Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta membuatnya berpikir hal apa yang bisa dimanfaatkan untuk profesi setelah lulus. Sampailah dia pada hikayat. "Saat itu hikayat hanya dinikmati sekelompok kecil masyarakat," ujar seniman kelahiran Sabang, Aceh, itu. Berbekal ilmu seni pertunjukan, dia pun membawa hikayat menjadi cerita yang modern. Tak jarang ia menggunakan cara berhikayat untuk memperkenalkan sains dan teknologi.
Agus mengumpulkan barang-barang bekas, seperti sandal jepit yang dijadikan mainan mobil atau sepeda motor, sebagai alat peraga dalam bercerita. Dengan gaya seperti itu, ia bermain di berbagai tema cerita. Pada 1990-an, Agus menggarap cerita bertema politik yang represif ala Orde Baru. "Pohon Beringin Orde Baru" adalah salah satu kisahnya saat itu. Setelah datang masa reformasi, dia meninggalkan cerita politik dan mulai kembali menggarap cerita Nusantara.
Tidak hanya cerita Nusantara, Agus juga menggarap cerita-cerita tentang ilmu pengetahuan, kisah tokoh pejuang, hingga orang-orang yang berpengaruh dalam sejarah. "Saya bisa diterima oleh semua golongan dan elite. Ketika bercerita, saya menggunakan istilah yang ramah dan memainkan benda-benda yang dipersonifikasikan," kata dia.
Dengan cakupan semakin luas, dia pun butuh cara untuk menjaga fisiknya tetap prima saat bercerita. Berbagai cara bercerita sudah ada dalam pikirannya ketika memulai kariernya dengan menggelar pertunjukan keliling. Latihan vokal, latihan fisik, dan menjaga pola makan adalah kunci. "Saya minum air kelapa seminggu sekali, dan sekarang masih melakukan hal yang sama."
Andi Yudha Asfandiyar, pendongeng asal Kota Bandung, Jawa Barat, pun mafhum kondisi fisik ketika bercerita menjadi poin utama. Laki-laki yang punya gaya bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar, gerak, dan ekspresi wajah ini menjaga asupan nutrisi dan menghindari makanan seperti gorengan sebagai salah satu caranya berdisiplin. "Suara kalau serak itu bisa mengubah karakter dongengnya," kata lulusan Desain Grafis Institut Teknologi Bandung ini.
Selain strategi menjaga stamina, Andi selalu siap dengan atributnya, seperti buku gambar besar, spidol, dan boneka tangan bernama Mio. Hal lain, ketika tampil, dia hadir setidaknya satu jam sebelum pentas. Ia ingin berusaha menguasai panggung dan penonton dengan memastikan aspek teknis, seperti sistem suara dan tata letak panggung. "Saya juga biasa menyiapkan beberapa cerita untuk cadangan. Termasuk untuk kemungkinan di atas panggung yang seringnya di luar dugaan," ujar dia.
Mendongeng telah menjadi bagian hidup Andi sejak kecil. Di kampung halamannya di Malang, Jawa Timur, dia bersama beberapa temannya sesama bocah berkumpul setelah pulang sekolah untuk mendengarkan orang tua mendongeng. Kebiasaan itu menular bersamaan dengan bakatnya dalam menggambar. Ketika bercerita, dia melepaskan diri dari hikayat atau dongeng yang umum, seperti cerita si kancil. Pengalaman pribadi lebih banyak menjadi sumber ceritanya. "Intinya, saya bikin segala rupa untuk kreativitas anak-anak." ANWAR SISWADI | ARKHELAUS WISNU