Konsentrasi Kapital dan Oligarki
Nilai kekayaan miliuner Indonesia meningkat 14 kali lipat. Oligarki hanya akan berakhir ketika terjadi redistribusi kapital.
INDONESIA sudah lama menghadapi masalah kesenjangan ekonomi. Konsentrasi kapital secara signifikan terlihat sejak 1970-an dan semakin kuat sepanjang era Orde Baru, yang bahkan tidak mampu diluruhkan oleh krisis besar pada 1997-1998. Di era reformasi, kesenjangan tampak tidak memudar. Bahkan konsentrasi kapital di tangan segelintir elite justru menguat. Dalam dua dekade terakhir, konsentrasi kapital semakin kental di Indonesia.
Sepanjang 2006-2022, jumlah dan nilai kekayaan miliuner Indonesia melonjak tajam. Sementara pada 2006 hanya terdapat tujuh orang atau keluarga di Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 miliar (Rp 14,9 triliun), pada 2022 angkanya melonjak menjadi 46 orang atau keluarga. Dalam dua windu, total kekayaan miliuner ini meningkat lebih dari 14 kali lipat, dari US$ 12,3 miliar (Rp 182,9 triliun) pada 2006 menjadi US$ 176,7 miliar pada 2022 (Rp 2.627,7 triliun), yang berarti tumbuh 18,1 persen per tahun (compound annual growth rate).
Konsentrasi Kapital
Menurut Winters (2011), oligarki didefinisikan dengan kepemilikan kekayaan material yang sangat ekstrem, yang mustahil diraih tanpa mekanisme mempertahankan dan meningkatkan kekayaan (wealth defense). Oligarki dapat terus hidup berdampingan dengan demokrasi, bahkan semakin kuat, ketika ekspansi partisipasi politik dari kelas mayoritas yang miskin tidak menghasilkan aspirasi yang kuat untuk membatasi dan menghambat oligarki.
Indonesia telah lama mengalami kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. Namun kini kekayaan negeri semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elite ekonomi. Berbagai indikator dalam dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan konsentrasi kekayaan oligark yang semakin ekstrem. Skala oligarki, yang diukur dengan rerata kekayaan 40 orang terkaya, meningkat hingga lebih dari tujuh kali lipat dalam dua windu terakhir.
Baca juga: Bahaya Kesenjangan Ekonomi
Sementara pada 2006 skala oligarki hanya US$ 0,6 miliar (Rp 8,3 triliun), pada 2022 angka ini melonjak menjadi US$ 4,3 miliar (Rp 63,4 triliun). Dalam ukuran lain, yaitu intensitas oligarki (yang diukur dari rasio total kekayaan 40 orang terkaya terhadap produk domestik bruto/PDB), intensitas penguasaan kekayaan yang ekstrem oleh segelintir elite meningkat dua kali lipat dalam dua windu terakhir. Sementara pada 2006 intensitas oligarki hanya 6,1 persen dari PDB, pada 2022 angka ini berganda menjadi 12,9 persen dari PDB.
Ukuran yang paling jelas menunjukkan bahwa konsentrasi sumber daya material adalah material power index (MPI), yang mengukur kesenjangan dalam penguasaan kekayaan material antara oligark dan rerata penduduk dalam perekonomian. MPI-40, yang secara sederhana membandingkan rerata kekayaan 40 orang terkaya dengan rerata pendapatan penduduk, terus melonjak dari kisaran 1 : 350 ribu pada 2006 menjadi 1 : 890 ribu pada 2022. Sementara pada 2006 seorang oligark menguasai kekayaan 350 ribu kali lipat dari rata-rata penduduk, pada 2022 penguasaan oligark ini melonjak menjadi 890 ribu kali lipat dari rata-rata penduduk.
Kesenjangan yang lebih ekstrem ditunjukkan oleh MPI-5, yang secara sederhana membandingkan penguasaan kekayaan material oleh lima orang terkaya dengan rerata penduduk. Angka MPI-5 Indonesia meroket fantastis dari kisaran 1 : 1,28 juta pada 2006 menjadi 1 : 3,59 juta pada 2022. Meningkatnya MPI secara signifikan menunjukkan pertumbuhan kekayaan kelompok terkaya jauh lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata pendapatan masyarakat secara umum. Pertumbuhan ekonomi bias ke kelompok terkaya secara sangat tidak proporsional.
Daya Tahan Kapital
Transisi dari rezim otoriter ke demokrasi setelah 1998 memunculkan banyak harapan. Tapi kini semakin berlimpah bukti kegagalan reformasi, dari kepemimpinan nasional yang lemah, korupsi yang tetap merajalela, birokrasi yang tidak responsif, pertumbuhan ekonomi yang melemah, eksploitasi alam dan degradasi lingkungan yang semakin masif, hingga konsentrasi kapital yang tidak memudar dan bahkan semakin menguat. Indonesia yang demokratis adalah impian, tapi ia tidak didesain untuk melumpuhkan oligarki. Kini, seiring dengan pulihnya oligarki dari krisis, elite ekonomi telah mengkooptasi dan mendominasi institusi-institusi demokrasi.
Oligarki adalah kisah tentang upaya minoritas mempertahankan konsentrasi kapital. Elite ekonomi mengarahkan kekayaan material yang berada di bawah kontrolnya untuk mempertahankan serta mengokohkan kedudukan ekonomi dan sosialnya. Kesenjangan kekayaan material yang sangat ekstrem akan selalu menghasilkan kesenjangan politik yang juga sangat ekstrem. Hal ini terjadi karena penguasaan kekayaan material yang sangat masif di tangan segelintir elite menciptakan keunggulan kekuatan di ranah politik, termasuk dalam sistem demokrasi.
Kekuatan material signifikan secara politik karena ia memiliki kemampuan untuk membeli instrumen wealth defense. Secara tradisional, upaya mempertahankan kekayaan dilakukan dengan mengalokasikan sejumlah sumber daya material untuk praktik koruptif dan kuasi-koruptif. Cara mempertahankan kekayaan yang lebih elegan dilakukan oligark dengan mengarahkan sejumlah kekayaan materialnya ke kelompok profesional, dari manajer, pengacara, akuntan, konsultan pajak, hingga para pelobi politik, untuk mempertahankan kekayaan mereka sebanyak mungkin, terutama dari penguasaan negara, sehingga memindahkan beban yang seharusnya mereka tanggung ke kelas lain yang lebih miskin.
Baca juga: Memelototi Wajib Pajak Superkaya
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 14 April 2023. Tempo/Tony Hartawan
Oligarki di Indonesia muncul dan tercipta di era Orde Baru sebagai hasil dari eksploitasi pasar domestik, kekayaan alam, hingga anggaran negara. Meningkatnya nasionalisme ekonomi dan kenaikan harga minyak dunia pada 1973-1974 mendorong adopsi strategi substitusi impor dan dominannya peran negara dalam perekonomian. Badan usaha milik negara (BUMN) memainkan peran sentral dalam menjamin terwujudnya kepentingan nasional, dengan bank BUMN menjadi instrumen negara untuk menentukan sektor prioritas dan distribusi rente ekonomi.
Krisis minyak pada 1981-1982, yang membuat pendapatan minyak jatuh sangat dalam dan mengakhiri kapitalisme negara, mendorong reformasi dan deregulasi. Namun berakhirnya monopoli negara dan state capitalism tidak menghasilkan sistem pasar yang terbuka, melainkan memunculkan kekuatan ekonomi swasta kroni yang sangat besar. Monopoli negara secara sederhana bertransformasi menjadi monopoli swasta, dan kapitalisme negara bertransformasi menjadi kapitalisme kroni. Oligark mendominasi perekonomian dengan dukungan proteksi yang masif dalam bentuk kartel, kontrol harga, tata niaga ekspor-impor, hingga pemberian lisensi khusus.
Pada awalnya, segelintir elite ekonomi mendapat konsesi dan fasilitas eksklusif dari penguasa Orde Baru untuk memberikan dukungan finansial kepada militer. Semua pengusaha besar saat itu tumbuh dari payung kekuasaan seperti ini. Pengusaha keturunan menjadi pihak yang paling siap dan memiliki kapasitas untuk menyediakan dana di luar anggaran negara yang dibutuhkan kekuatan politik. Dengan cara ini, presiden yang baru naik ke tampuk kekuasaan mengendalikan militer sekaligus mengalahkan rival politiknya. Sejak 1980-an, keluarga dan kroni penguasa politik terjun langsung membentuk kekuatan bisnis mereka sendiri dan menjadi pemilik kapital, sering kali dengan membentuk kemitraan, baik dengan pengusaha nasional maupun internasional.
Kejatuhan rezim Orde Baru tidak meruntuhkan oligarki yang telah matang. Oligark mampu mempertahankan kekuatan ekonomi mereka bukan dengan transformasi bisnis di era ekonomi pasar terbuka dalam sistem politik yang demokratis, melainkan dengan memperdaya negara untuk menurunkan beban utang mereka dan membentuk aliansi politik baru. Oligarki dengan cepat bermetamorfosis dari sistem otoriter ke sistem demokrasi, dengan politik uang dan jaringan patron baru, serta membentuk ulang mekanisme distribusi sumber daya dan rente ekonomi bersama kekuatan politik baru yang terfragmentasi. Kekuatan oligarki lama berbaur dan menyatu dengan aliansi oligarki baru dalam format politik dan tata kenegaraan baru pasca-rezim otoriter.
Transformasi politik yang signifikan dan radikal pasca-krisis tidak menurunkan pengaruh politik pemilik kapital ini, bahkan semakin memperbesarnya. Sistem demokrasi langsung mudah diakuisisi dan didominasi oleh oligarki ekonomi. Demokrasi menjadi arena pertarungan yang nyaman bagi oligark untuk merebut kekuasaan dalam rangka memupuk kekayaan lebih lanjut. Transisi ke demokrasi sama sekali tidak memunculkan tantangan dari publik terhadap oligark atas penguasaannya yang sangat dominan dalam perekonomian.
Konsentrasi kapital oleh oligark yang melemah pasca-krisis 1997 dengan cepat pulih dan kembali menguat dengan cepat. Hampir semua orang terkaya Indonesia hari ini merupakan orang terkaya di era sebelumnya. Orang terkaya di era reformasi hari ini merupakan orang terkaya di era Orde Baru. Tidak ada yang berubah. Posisi pertama orang terkaya Indonesia pada 2022 diduduki oleh R. Budi dan Michael Hartono, yang seperempat abad sebelumnya, pada 1996, adalah orang terkaya ke-8 di Indonesia. Tiga orang terkaya di era Orde Baru—keluarga Wonowidjojo, keluarga Eka Tjipta Widjaja, dan keluarga Liem Sioe Liong—tetap berada di deretan teratas orang-orang terkaya di Indonesia hari ini.
Aktifitas warga yang tinggal di pemukiman padat pinggiran kali kawasan Kebon Kacang, Jakarta, 30 Mei 2023. Tempo/Tony Hartawan
Masa Depan Demokrasi
Transisi ke demokrasi pasca-rezim Orde Baru tidak pernah mampu menggugat kesenjangan material yang sangat ekstrem. Meski konsentrasi kapital terjadi di tengah ratusan juta penduduk yang hidup dalam kemiskinan, oligarki tidak pernah mendapat tantangan yang berarti dari akar rumput. Oligarki mengkooptasi demokrasi melalui politik uang dan pembentukan aliansi politik yang menyalahgunakan kekuasaan negara untuk kepentingan bisnis swasta.
Indonesia yang demokratis di era sistem pemilihan langsung telah menjadi tempat yang nyaman bagi oligark. Kontestasi demokrasi telah menjadi arena oligark untuk bekerja sama atau bersaing dalam mengejar kepentingan utama mereka: mengamankan dan mempertahankan kekayaan material. Alih-alih menjadi agen perubahan melalui pembuatan regulasi dan kebijakan afirmatif, partai politik semakin bertransformasi sebagai mesin pembentukan koalisi pengejar rente ekonomi serta pembagian kekayaan material semata.
Kekuatan kapital telah mendominasi sistem politik pasca-krisis. Oligark mampu mengubah peta dukungan suara, membalikkan momentum politik, hingga membeli hasil politik yang diinginkan dengan mengeksploitasi sumber daya ekonomi yang dimilikinya. Motivasi keamanan dan mempertahankan kekayaan menjadi faktor terpenting. Dengan keyakinan bahwa faktor yang akan menghancurkan kekayaan dapat datang dari mana saja dan kapan saja, wealth defense dengan mengalokasikan sejumlah besar kekayaan pada tahap awal kontestasi politik menjadi keharusan sebagai sebuah strategi defensif. Semakin tinggi jabatan politik yang diperebutkan dan semakin besar biaya kampanye yang dibutuhkan untuk memenanginya, semakin besar peluang oligark terlibat dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan tersebut.
Demokrasi dan oligarki dapat terus berdampingan dalam jangka panjang sepanjang mayoritas pemilih miskin tidak memiliki aspirasi untuk menantang konsentrasi kapital di tangan segelintir elite ekonomi melalui regulasi dan institusi yang representatif. Dibutuhkan reformasi politik dan ekonomi yang kuat untuk mencegah negara plutokrasi, ketika kekuasaan sepenuhnya dikendalikan oleh pemilik kapital. Memiliki demokrasi merupakan hal krusial, tapi ia bukanlah solusi untuk oligarki. Oligarki hanya akan berakhir ketika konsentrasi kapital, yang mendefinisikan oligarki, dapat diredistribusi secara efektif melalui reformasi agraria, aset alat produksi, dan kapital finansial.
Sejak awal, para pendiri bangsa telah mengamanatkan transformasi ekonomi untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Untuk transformasi ekonomi ini, konstitusi mengamanatkan negara untuk secara aktif menyusun ulang perekonomian agar perekonomian berkarakter kebersamaan dan kekeluargaan, dengan kepentingan bersama menjadi hal utama, bukan kepentingan orang per orang, dengan produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan anggota-anggota masyarakat (demokrasi ekonomi). Ketika demokrasi ekonomi mewujud, pada saat produksi dikerjakan dan dimiliki oleh semua, koperasi akan menjadi sokoguru perekonomian.
Artikel ini merupakan hasil riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang ditulis oleh Direktur IDEAS Yusuf Wibisono serta peneliti IDEAS Tira Mutiara, Huzni Mubarok, dan Fajri Azhari.