Supaya Mahasiswa Tak Bersandar pada ChatGPT
AI membuat dosen khawatir mahasiswa sekadar menyalin jawaban ChatGPT. Disarankan meminta mahasiswa menjawab lewat visual.
Maryam, seorang dosen berpengalaman, tengah mengoreksi jawaban tugas esai beberapa mahasiswanya. Namun ada sesuatu yang terasa aneh. Meski tidak ada kemiripan karya satu sama lain, setiap jawaban mereka memiliki alur yang terlalu sempurna dan menggunakan bahasa yang terlalu canggih untuk mahasiswa semester awal.
Intuisi Maryam memberi sinyal bahwa ada yang tidak beres. Dengan hati-hati, Maryam memutuskan untuk bertemu satu per satu dengan para mahasiswa tersebut untuk lebih memahami pemikiran mereka dan melihat apakah ada sesuatu yang perlu diselidiki.
Maryam mulai mengajukan pertanyaan yang lebih dalam tentang gagasan yang mereka jelaskan dalam esai. Ia ingin mengukur sejauh mana pemahaman mahasiswanya terhadap materi yang diajarkan. Namun, semakin ia bertanya, semakin jelas terasa bahwa jawaban-jawaban ini tidak mungkin berasal dari pemikiran mereka sendiri. Setelah bertanya lebih dalam, beberapa orang mahasiswa mengaku bahwa mereka menggunakan ChatGPT untuk membantu mengerjakan tugas esai mereka.
Baca: Memanfaatkan ChatGPT untuk Tugas Sekolah
Cerita Maryam di atas hanyalah ilustrasi. Namun kisah tersebut menggambarkan situasi yang akan dihadapi oleh banyak guru dan dosen ketika mengevaluasi pembelajaran siswa setelah kemunculan ChatGPT, program kecerdasan buatan (AI) generatif yang dikeluarkan OpenAI, pada akhir tahun lalu.
Dua kolega saya di Center for Education and Learning in Economics and Business (CELEB) Universitas Indonesia (UI), yakni Ledi Trialdi dan Ratih Dyah Kusumastuti, telah menulis white paper atau buku putih (belum melalui telaah sejawat atau peer review) yang membedah dampak AI dan model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT bagi para pengajar. White paper tersebut juga memberikan rekomendasi bagi dunia akademik untuk beradaptasi melalui berbagai inovasi pembelajaran.
Meskipun program AI seperti ChatGPT punya kemampuan untuk menulis naskah akademik sekelas artikel jurnal, masih terdapat beberapa keterbatasan dan risiko yang masih sulit diatasi—termasuk potensi masalah integritas akademik seperti dalam kasus Maryam.
Ilustrasi penggunaan ChatGPT. Pexels
Tulisan ini bermaksud untuk menindaklanjuti white paper tersebut: bagaimana dosen dan guru kemudian bisa merancang soal yang sulit diakali dengan AI dan ChatGPT?
1. Gunakan Media Visual yang Kompleks
Sejauh ini, versi ChatGPT yang terbuka pada publik masih terbatas pada masukan (input) dan keluaran (output) berupa teks saja, sehingga belum mampu mengolah selain teks, seperti video atau gambar. Karena itu, pendidik dapat mengembangkan soal ujian dalam bentuk gambar yang perlu diinterpretasi atau dianalisis oleh siswa.
Walau demikian, saat ini OpenAI tengah menggodok versi ChatGPT terbaru, yakni GPT4, yang dikabarkan mampu mengolah input gambar. Meski batas kemampuan program tersebut masih jadi bahan kajian, pengajar dan dosen perlu tetap mengikuti perkembangan terbaru supaya bisa terus memperbarui metode pengujian dan asesmen mereka.
Misalnya soal dapat dirancang untuk meminta peserta didik memberikan jawaban yang juga harus berbentuk gambar seperti mindmap (peta pikiran), flowchart (diagram alir), atau infografik yang kompleks dan butuh analisis yang personal, sehingga harapannya sulit diakali dengan ChatGPT. Selain meredam potensi kecurangan, rancangan soal yang mengedepankan elemen visual bisa punya sejumlah manfaat akademik.
Hal ini, misalnya, tidak hanya mengevaluasi pengetahuan pelajar atau mahasiswa, tapi juga menilai kreativitas mereka menjawab dalam bentuk non-teks. Soal seperti ini juga dapat menilai kemampuan visualisasi data sebagai kompetensi komunikatif yang penting dalam karier mereka ke depannya.
2. Wajibkan Peserta Didik Mencantumkan Referensi Akademik yang Spesifik
Sejauh ini, AI seperti ChatGPT masih memiliki keterbatasan dalam memunculkan referensi rujukan, apalagi referensi akademik berkualitas dan rujukan yang terbaru. Karena itu, ChatGPT bisa saja menyarankan format referensi yang rapi sesuai dengan standar penulisan American Psychological Association (APA)—tapi bisa jadi gagal mencantumkan satu pun referensi kredibel pada jawaban yang dihasilkan. Bahkan, dalam banyak kasus, ChatGPT kedapatan memalsukan sumber referensi yang digunakan dalam jawaban.
Dengan demikian, kalaupun mahasiswa dapat memperoleh jawaban dari suatu soal menggunakan AI, mereka harus bekerja dua kali untuk menemukan dan mencocokkan esai dengan berbagai referensi yang relevan dan kredibel untuk melengkapi esai tersebut.
Memberikan kewajiban bagi peserta didik untuk selalu mencantumkan referensi spesifik pada hasil kerja mereka diharapkan dapat meredam penggunaan AI dalam mengerjakan tugas atau ujian. Bahkan, kelengkapan dan ketepatan penggunaan referensi dapat menjadi tolok ukur hasil pengerjaan yang berkualitas sekaligus indikator bahwa jawaban tersebut kemungkinan tidak dikeluarkan oleh program AI.
Ilustrasi penggunaan ChatGPT. Unsplash
3. Meminta Peserta Didik Mengkritik Hasil Jawaban AI
Pengajar dapat menyusun serangkaian pertanyaan terstandar sebagai soal tugas atau ujian, kemudian meminta peserta didik memasukkan pertanyaan atau “prompt” tersebut pada layanan AI. Kemudian mereka diminta untuk mengkritik hasil jawaban AI tersebut menggunakan konsep-konsep dan materi yang telah mereka pelajari sebelumnya.
Penilaian ditekankan pada kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis dan mengevaluasi kualitas informasi terhadap hasil pembelajaran mereka.
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu aspek pembelajaran yang dikhawatirkan terancam oleh kemampuan AI. Penggunaan program AI yang tidak bertanggung jawab dan sikap menelan mentah-mentah hasil jawaban berpotensi menghasilkan peserta didik yang tidak mampu berpikir kritis.
Memang ada perbedaan pendapat perihal sejauh apa AI seperti ChatGPT mampu meniru kemampuan manusia dalam berpikir kritis. Karena hal ini pula, pengajar dan dosen perlu punya kemampuan yang baik dalam mendesain pertanyaan atau prompt yang tepat dalam perencanaan soal.
Namun, setidaknya, format tugas yang ketiga ini melatih dan meningkatkan kesadaran pelajar dan mahasiswa untuk lebih kritis terhadap jawaban AI dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang dihasilkan.
Pada akhirnya, penggunaan ChatGPT tidak perlu dilarang. Hanya, penggunaannya perlu diatur lebih lanjut agar dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tanpa mengorbankan integritas akademik dan keadilan dalam proses evaluasi pembelajaran.
---
Artikel ini ditulis oleh Imam Salehudin, lektor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Terbit pertama kali di The Conversation.