maaf email atau password anda salah


Berharap Aturan Transparansi Sawit Eropa Segera Berlaku

Petani sawit sebetulnya siap menghadapi European Union Deforestation Regulation (EUDR). Agar tata kelola sawit lebih baik.

arsip tempo : 172863128035.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172863128035.

PEMERINTAH Indonesia, Malaysia, dan Komisi Uni Eropa baru saja membentuk gugus tugas untuk merespons regulasi baru Uni Eropa, European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang bertujuan memastikan produk seperti minyak sawit, kopi, cokelat, karet, dan kayu yang diimpor tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi.

Awalnya aturan ini dijadwalkan akan berlaku pada Januari 2025. Namun, per 2 Oktober 2024, Komisi Uni Eropa mengusulkan aturan ini ditunda kembali selama 12 bulan untuk persiapan yang lebih matang. Dengan demikian, jika disetujui, aturan ini akan berlaku pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar serta pada 30 Juni 2026 untuk perusahaan berskala mikro dan kecil. Selain Uni Eropa, Inggris dan Amerika Serikat akan mengadopsi peraturan serupa.

Hal yang diatur dalam EUDR sebenarnya lebih-kurang sama dengan aturan yang ada di Indonesia. Misalnya, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun yang mengatur keadilan harga. Permentan Nomor 1 Tahun 2018 mengatur kewajiban perusahaan-perusahaan sawit membeli buah sawit dari petani melalui kelembagaan pekebun.

Dalam hal perlindungan dan pemberdayaan petani, ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Di dalamnya diatur soal kewajiban negara melindungi dan memberdayakan petani pekebun.

Aspek legalitas juga diakomodasi dalam kebijakan pemerintah. Ada Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Ada pula Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024.

Mengenai pendataan petani sawit, terdapat Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam inpres tersebut, pemerintah wajib mendata petani sawit, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Pendataan ini mencakup data petani, titik koordinat, dan poligon lahan perkebunannya.

Soal layanan investasi pun, di Indonesia sudah ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Salah satu tugas yang diemban institusi ini adalah menguatkan sumber daya manusia (SDM) untuk para petani pekebun dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan.

Kemudian, dalam hal tata kelola perkebunan, ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ada pula aturan turunannya, Permentan Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Regulasi ini mengatur tata kelola perkebunan untuk kesejahteraan pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Melihat aneka aturan yang ada di Indonesia tersebut, sebenarnya kita tak perlu takut pada pemberlakuan EUDR. Sebab, pada dasarnya, hal yang diatur dalam EUDR sama dengan aturan-aturan di dalam negeri. Namun aturan-aturan itu mesti ditegakkan secara konsisten agar petani diuntungkan. Permasalahannya, apakah para pemangku kepentingan industri sawit punya keinginan melaksanakan aturan-aturan tersebut secara transparan, kredibel, dan sungguh-sungguh atau tidak?

Permasalahan yang muncul kemudian soal harga komoditas, peningkatan sumber daya petani pekebun, legalitas, standar tanda daftar budi daya, dan sertifikat tanah sering kali lambat dieksekusi. Selain itu, beberapa ketentuan yang seharusnya ada dalam Permentan Nomor 7 Tahun 2009 justru tidak diatur. Contohnya, soal kewajiban perusahaan perkebunan di daerah membina dan memberdayakan petani. Demikian halnya dengan kewajiban mendata asal muasal buah yang diolah serta membeli hasil panen petani dengan harga adil.

Berbagai inisiatif perusahaan yang bersifat voluntary untuk pasar yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan juga tidak diatur. Seharusnya semua hal itu diatur dalam peraturan penilaian usaha perkebunan. Dengan demikian, Permentan No. 7/2009 perlu direvisi.

Selain itu, penguatan SDM petani tidak didukung anggaran yang sebenarnya tersedia. Contohnya, dana bagi hasil untuk daerah-daerah penghasil sawit hanya 10 persen yang disisihkan. Selebihnya diperuntukkan buat pembangunan infrastruktur.

Untuk pemetaan poligon seperti yang dipersyaratkan EUDR pun, sebenarnya BPDPKS bisa membuatnya. Namun sekitar 90 persen dana lembaga ini justru diperuntukkan bagi subsidi biodiesel. Begitu juga dengan syarat good agricultural practices training yang sebenarnya diperlukan untuk peningkatan kapasitas petani pekebun.

Dalam urusan tata kelola perkebunan, hal yang diatur EUDR juga sebenarnya sudah didorong pemerintah pada 2015. Namun realisasinya hanya berupa revisi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) serta perilisan Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun), serta sistem pangkalan dan pengelolaan data perizinan perkebunan. Di luar itu, tak ada perubahan berarti dalam hal tata kelola di tingkat petani.

Tata kelola sawit Indonesia tentu harus diperbaiki. Dengan memastikan pasar-pasar yang menjadi tujuan komoditas yang diproduksi petani sawit mempraktikkan keberlanjutan tanpa deforestasi. Hal ini tidaklah sulit dilakukan. Kuncinya, kemauan pemerintah memajukan petani.

Banyak petani sawit yang sudah sangat maju, hasil kebunnya dapat dilacak, dan tidak merambah hutan. Bahkan mereka mengkonservasi hutan. Petani seperti ini sangat siap mengikuti aturan EUDR. Bahkan mereka ingin aturan ini segera diberlakukan. 

Sudah saatnya pemerintah mendorong perusahaan-perusahaan perkebunan memperhatikan petani kecil. Pemerintah jangan lagi menggunakan petani sebagai tameng ketika ada tekanan pasar dan memanfaatkan mereka sebagai bahan komunikasi diplomasi. Petani sawit di daerah sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan perilaku perusahaan, bukan aturan asing.

Kebijakan pemerintah dan penegakan hukum di Indonesia harus lebih baik serta mampu beradaptasi dengan transformasi pasar. Tanpa hal itu, petani sawit sulit memperoleh posisi tawar yang kuat. Di sinilah pentingnya sebuah refleksi besar agar masalah-masalah tata kelola yang melemahkan petani sawit serta konflik-konflik agraria di perkebunan dapat diatasi dengan cepat dan serius.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 11 Oktober 2024

  • 10 Oktober 2024

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan