maaf email atau password anda salah


Para Blantik di Dewan Perwakilan Rakyat

Pebisnis dan dinasti politik menguasai DPR periode 2024-2029. Sinyal berlanjutnya kemunduran demokrasi.

arsip tempo : 172863116823.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172863116823.

WAJAH lembaga legislatif yang coreng-moreng agaknya belum akan berubah. Lihat saja daftar 580 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dilantik pada 1 Oktober lalu. Selain masih didominasi inkumben, anggota DPR periode 2024-2029 tampak makin sarat dengan kepentingan oligarki dan dinasti politik.

Sebanyak 354 nama, atau 61 persen dari total anggota Dewan, adalah pebisnis dan/atau terafiliasi dengan korporasi. Sedikitnya 174 orang juga punya kekerabatan dengan para elite partai politik di pusat ataupun di daerah. Latar belakang anggota legislatif yang sebagian besar pebisnis dan terhubung dengan dinasti politik itu memicu kekhawatiran: para wakil rakyat ini lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentingan orang banyak. 

Dengan tergerusnya demokrasi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tabiat lembaga legislatif lima tahun ke depan bisa saja lebih buruk dibanding pada periode sebelumnya. Apalagi DPR selama ini terkenal sebagai sarang penjilat kekuasaan dan pencari cuan. 

Sinyal menguatnya oligarki dalam Pemilihan Umum 2024 sebenarnya sudah bisa ditebak. Riset dan peliputan Tempo, yang dipublikasikan dalam laporan bertajuk "Ribuan Pengusaha Berebut Kursi Senayan" pada edisi 19 Januari 2024, mengidentifikasi sebanyak 2.029 nama di antara 9.918 calon anggota DPR terafiliasi dengan 6.059 perusahaan, baik sebagai pemegang saham maupun pengurus. Mayoritas di antara mereka mendapat nomor urut teratas alias “nomor jadi”.

Betul, konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Pebisnis juga tidak diharamkan menjadi anggota DPR. Kemampuan mereka sebagai pengusaha bisa menjadi modal bagus untuk menjalankan fungsi Dewan dalam mengawasi pemerintah, menyusun undang-undang, serta membahas anggaran negara. Ada pula pandangan bahwa legislator yang sudah mapan secara ekonomi akan lebih fokus bekerja untuk rakyat.

Masalahnya, sepak terjang Dewan selama ini tidak begitu. Dalam dua periode pemerintahan terakhir, lebih dari separuh kursi Senayan juga diduduki kalangan pebisnis. Selama itu pula tugas pengawasan, legislasi, dan penganggaran DPR tak berfungsi. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Mineral dan Batubara, serta pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja hanya segelintir contoh betapa para wakil rakyat makin melupakan publik. Mereka justru menjadi sekutu pemerintah yang dicengkeram kepentingan oligarki.

Buruknya kualitas partai politik di Indonesia menjadi pangkal semua persoalan tersebut. Alih-alih menyiapkan kader yang kompeten, partai politik bekerja lima tahunan menggaet siapa pun yang punya modal, terutama duit, untuk mendulang banyak suara dalam pemilu. Partai politik, seperti halnya DPR yang mereka kuasai, pada akhirnya hanya menjadi paguyuban para blantik.

Kondisi tersebut tak hanya membahayakan demokrasi. Tantangan ekonomi ke depan amat berat. Jika DPR terus tak berfungsi, bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto justru menjerumuskan Indonesia ke jurang resesi.

Bila DPR kembali tak berfungsi, barisan masyarakat sipil, aktivis, jurnalis, dan cerdik cendekia sebaiknya segera bersiap untuk melawan. Parlemen jalanan bisa menjadi satu-satunya harapan untuk menjaga demokrasi.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 11 Oktober 2024

  • 10 Oktober 2024

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan