maaf email atau password anda salah


Wawancara Pura-pura Jokowi, Penipuan Publik atau Taktik Komunikasi

Presiden Jokowi melakukan wawancara pura-pura. Mengapa dapat dianggap melanggar prinsip kejujuran dan transparansi?

arsip tempo : 172667478826.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172667478826.

DALAM lanskap komunikasi politik masa kini, muncul praktik yang dikenal sebagai "wawancara pura-pura" atau wawancara yang dipentaskan sebagai bagian dari pencitraan. Fenomena itu diduga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi baru-baru ini melalui skenario yang telah direncanakan. 

Dalam wawancara tersebut, sekelompok individu yang berperan sebagai wartawan mengajukan pertanyaan yang telah disusun untuk mendukung agenda politik tertentu. Praktik itu memicu perdebatan tajam: apakah ini merupakan bentuk penipuan publik atau sekadar strategi komunikasi yang sah?

​Wawancara pura-pura sering digunakan untuk memastikan bahwa topik yang diangkat sesuai dengan agenda pemimpin sekaligus menghindari pertanyaan sulit yang mungkin muncul dalam wawancara yang tidak terkontrol. Di era media sosial, ketika pemimpin memiliki lebih banyak kendali atas narasi yang mereka sampaikan, praktik semacam ini makin umum dilakukan. Namun hal ini memunculkan pertanyaan etis yang serius, terutama dalam konteks kejujuran dan transparansi.

​Dalam perspektif teori agenda setting, praktik ini digunakan untuk mengarahkan perhatian publik pada isu-isu yang diinginkan oleh pemimpin. Harapannya, hasil wawancara akan membentuk persepsi publik yang diinginkan. Sementara itu, teori manajemen impresi menunjukkan bahwa wawancara semacam ini dapat digunakan untuk menciptakan citra kepemimpinan yang tanggap dan transparan, meskipun kenyataannya bisa berbeda.

​Namun, jika dilihat dari sudut pandang etika, wawancara pura-pura ini dapat dianggap melanggar prinsip kejujuran dan transparansi yang sangat penting dalam demokrasi. Kode Etik Jurnalistik Indonesia menekankan pentingnya integritas dalam pelaporan, dan tindakan berpura-pura sebagai jurnalis dapat merusak kepercayaan publik. Selain itu, tindakan ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menekankan bahwa pers harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang independen, bukan sebagai alat propaganda.

​Konsekuensi dari praktik ini dapat sangat merusak kepercayaan publik terhadap pemimpin dan institusi pemerintahan. Penyesatan masyarakat dapat memicu krisis kepercayaan, memperburuk polarisasi politik, dan mengurangi efektivitas komunikasi pemerintah. Di Indonesia, dengan tuntutan keterbukaan dan transparansi dari masyarakat yang makin tinggi, reaksi terhadap praktik ini bisa sangat tajam serta negatif.

​Sebagai alternatif, pemimpin politik dapat memilih pendekatan yang lebih transparan dalam berinteraksi dengan media. Misalnya, mereka bisa mengadakan sesi tanya-jawab langsung dengan wartawan dari berbagai media tanpa penyaringan pertanyaan lebih dulu. Hal ini mungkin lebih berisiko karena pertanyaan yang diajukan bisa sulit untuk dijawab atau membuat tidak nyaman, tapi pendekatan itu dapat meningkatkan kepercayaan publik. 

Pemimpin juga bisa memanfaatkan media sosial secara lebih interaktif. Di media sosial, masyarakat dapat mengajukan pertanyaan yang langsung dapat dijawab oleh Presiden atau juru bicaranya. Cara ini akan menunjukkan komitmen terhadap keterbukaan dan mendengarkan suara rakyat.

​Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pernah menekankan pentingnya kepercayaan publik dalam pemerintahan: "Kepercayaan publik adalah aset terpenting yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa hal itu, kebijakan terbaik sekalipun akan sulit mendapatkan dukungan dan legitimasi." Hal ini menunjukkan, dalam dunia politik, kejujuran dan keterbukaan adalah kunci untuk membangun serta mempertahankan hubungan yang sehat dengan masyarakat.

​Di Indonesia, mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, juga pernah mengingatkan tentang pentingnya menjaga integritas dalam komunikasi publik: "Kepercayaan masyarakat adalah sesuatu yang harus dijaga dengan hati-hati. Begitu hilang, sulit untuk mengembalikannya." Kalla menekankan bahwa pemimpin yang berusaha menutupi kenyataan dengan memanipulasi media akan menghadapi konsekuensi jangka panjang yang merusak.

​Pada akhirnya, pemimpin politik harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari strategi komunikasi yang mereka pilih. Kepercayaan publik adalah aset penting dalam pemerintahan yang efektif, dan tindakan seperti wawancara pura-pura dapat memiliki dampak besar terhadap hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Transparansi dan kejujuran dalam komunikasi publik adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan ini. Selain itu, praktik-praktik yang merusak nilai-nilai tersebut sebaiknya dihindari.

Mediatization of Politics: Implikasi dan Dampaknya

​Fenomena wawancara pura-pura juga dapat dipahami dalam konteks "mediatization of politics", sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana proses politik makin bergantung pada logika media. Dalam era digital, saat informasi dapat menyebar dengan cepat dan tanpa batas, pemimpin politik sering merasa perlu untuk beradaptasi dengan tuntutan media. 

Mediatization of politics mencerminkan bagaimana politik dipengaruhi oleh kekuatan media, termasuk cara-cara media membentuk agenda dan membangun citra publik. Konsep ini juga menunjukkan bahwa media menjadi pemain utama dalam menentukan bagaimana isu-isu politik dipresentasikan dan diterima oleh publik. 

Pemimpin politik kerap berusaha menyesuaikan strategi komunikasi mereka untuk memanfaatkan media dengan cara yang paling efektif. Hal ini dapat melibatkan pengendalian narasi, memanipulasi citra publik, atau bahkan mengatur wawancara dan pertemuan media agar sesuai dengan tujuan politik mereka.

​Pemimpin politik mungkin merasa perlu untuk melakukan tindakan seperti wawancara pura-pura sebagai bagian dari strategi komunikasi mereka, terutama dalam menghadapi tuntutan media yang sangat tinggi. Dalam beberapa kasus, tindakan ini bisa jadi merupakan respons terhadap kebutuhan untuk menjaga citra publik di tengah tekanan politik dan media yang intens. Namun hal ini juga dapat mengarah pada praktik manipulatif yang merusak kepercayaan publik.

​Mediatization of politics juga dapat mengakibatkan erosi kepercayaan publik jika masyarakat merasa bahwa mereka tidak mendapatkan informasi yang akurat dan jujur. Ketika pemimpin menggunakan teknik manipulatif, seperti wawancara pura-pura, risikonya adalah rusaknya hubungan dengan publik yang makin cerdas dan kritis. Kepercayaan publik bisa menurun jika masyarakat merasa diperlakukan tak jujur atau tidak transparan.

​Untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan mengendalikan narasi dan menjaga kepercayaan publik, pemimpin politik harus lebih transparan dalam melibatkan media serta masyarakat. Dengan membuka ruang diskusi yang lebih luas dan mendengarkan berbagai perspektif, kepercayaan publik dapat dibangun serta dipertahankan. Pemimpin juga harus memperhatikan bahwa tindakan mereka tidak hanya dipengaruhi oleh logika media, tapi juga oleh kebutuhan untuk berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan publik.

​Kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya melalui kata-kata, tapi juga melalui tindakan nyata. Praktik komunikasi yang jujur serta transparan penting untuk menjaga hubungan yang sehat antara pemerintah dan masyarakat serta memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik. Meskipun wawancara pura-pura mungkin tampak seperti cara mudah untuk menyampaikan pesan politik, dampak angka panjangnya terhadap kepercayaan publik tidak boleh diabaikan. 

Kepercayaan publik adalah fondasi dari pemerintahan yang efektif dan demokrasi yang sehat. Upaya menjaga kepercayaan tersebut harus menjadi prioritas utama dalam setiap langkah komunikasi yang diambil.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan