maaf email atau password anda salah


Noda Hitam Pilkada Jakarta

Terindikasi memakai data kependudukan ilegal, kandidat independen tetap berlaga di pilkada Jakarta. 

 

arsip tempo : 172651265057.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172651265057.

KEPUTUSAN Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta meloloskan pasangan calon gubernur-wakil gubernur Dharma Pongrekun-Kun Wardana telah merusak kredibilitas pemilihan kepala daerah Jakarta 2024. Indikasi pelanggaran pencatutan data nomor induk kependudukan (NIK) sebagai bukti syarat dukungan maju dari jalur independen, yang semestinya bisa membatalkan pencalonan mereka, diabaikan begitu saja.

Pasangan Dharma-Kun diduga mencuri sejumlah besar data pribadi warga Jakarta dan daerah lain di antara 1,5 juta kartu tanda penduduk yang dikumpulkan hanya dalam waktu dua bulan. Dari total 1,5 juta KTP dukungan tersebut, yang dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU di tahap verifikasi faktual ialah 677.468 KTP. Semuanya diserahkan ke KPU dalam dua tahap dengan dua kali perbaikan di tahap verifikasi faktual yang juga tergolong kilat.

Sebelumnya sudah terlihat upaya mengelabui masyarakat lewat manipulasi tampilan layar hasil pengecekan pendukung pasangan calon kepala daerah perseorangan di website KPU. Ada pengaturan di display pemilik KTP Jakarta dengan keterangan "tidak mendukung paslon mana pun", padahal di database belakangnya ada. 

Semua kejadian itu bukan sebuah kebetulan. Sedari awal Dharma-Kun memang sengaja disiapkan sebagai kandidat abal-abal melawan Ridwan Kamil-Suswono, pasangan yang didukung Presiden Joko Widodo dan komplotan partai politik pendukungnya. Langkah ini ditempuh sebagai alternatif setelah skenario kotak kosong kadung menyebar ke publik.

Penyelenggara pilkada ditengarai ikut dalam persekongkolan tersebut. Terbukti pelbagai tuntutan untuk menganulir pendaftaran Dharma-Kun tidak mereka gubris. Bau konspirasi itu makin kuat karena instansi penegak hukum pun, bersama Badan Pengawas Pemilu, menolak menindaklanjuti ratusan laporan aduan pencatutan KTP ke tingkat penyidikan. Alasannya pun seadanya: dinamika dugaan penyalahgunaan atau tindak pidana itu belum cukup.

Padahal sejumlah pernyataan Dharma dan Kun telah mengkonfirmasi adanya penggalangan bukti dukungan yang serampangan. Sentra Penegakan Hukum Terpadu juga tak terusik saat keduanya mangkir dari panggilan pemeriksaan oleh Bawaslu Jakarta.

Semestinya aparat penegak hukum dan Bawaslu menginvestigasi dugaan pencatutan NIK tersebut. Tidak peduli besar-kecil data yang dicatut, tindakan tersebut bisa dijerat pasal pidana berlapis, seperti Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi. 

Menurut Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 dan Nomor 10 Tahun 2016, pencatutan data pribadi merupakan pelanggaran berat dalam pemilihan kepala daerah. Hukumannya minimal 12 bulan dan maksimal 36 bulan penjara serta denda minimal Rp 12 juta dan maksimal Rp 36 juta.

Sedangkan dalam Pasal 65 ayat 3 Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi diatur bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya. Tindakan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.

Pelbagai penyimpangan dan sanksi yang tegas tersebut tentu tidak perlu mendapat perhatian serius bagi penyelenggara pilkada yang sudah memperoleh “penugasan” untuk memenangkan kandidat tertentu. Bagi mereka, pilkada Jakarta cuma formalitas tanpa peduli kredibilitasnya bermasalah. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024

  • 13 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan