maaf email atau password anda salah


Guru Besar Sesat Makna

Guru besar Fakultas Hukum UGM, Sigit Riyanto, menyoroti skandal guru besar di Tanah Air. Kolom terakhirnya sebelum meninggal.

arsip tempo : 173057944476.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 173057944476.

SECARA normatif dan praktik baik universal, profesor atau guru besar adalah jabatan akademik yang diberikan kepada seorang akademikus karena kelayakannya sesuai dengan kaidah dan capaian akademik yang relevan. Jabatan akademik ini dikreasikan relevan dengan misi fundamental dan reputasi perguruan tinggi yang bersangkutan.

Realitasnya, ada saja orang yang ingin mendapatkan jabatan akademik ini dengan jalan pintas untuk beragam alasan dan kepentingan. Mereka bersedia melakukan trade-off atau kompromi yang mendistorsi tata kelola, standar mutu, etika, dan reputasi akademik, yang semestinya dirawat serta dipertahankan institusi pendidikan tinggi. 

Praktik semacam ini membuka ruang bagi perolehan jabatan profesor yang tidak autentik dan tak bertanggung jawab, bahkan menjustifikasi pelanggaran etika ataupun hukum, seperti pemalsuan karya akademik serta “jual-beli” karya akademik. Jabatan profesor akhirnya diperoleh tanpa mematuhi kaidah, proses, dan standar capaian akademik yang autentik, melainkan atas dasar proses manipulatif dan transaksional yang merusak tata kelola serta ekosistem pendidikan tinggi

Perolehan jabatan akademik melalui proses instan dan tidak patut, serta mengabaikan nalar, etika, dan kaidah akademik, patut diduga melibatkan kepentingan-kepentingan non-akademik, menggadaikan reputasi, serta merusak sistem pendidikan tinggi yang bermutu dan kredibel. 

Hal ini terkonfirmasi oleh fakta tentang praktik obral gelar dan jabatan akademik kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik seperti ini tak jarang melibatkan pejabat dan politikus dengan alasan yang sulit dipahami akal sehat serta tak relevan dengan misi fundamental pendidikan tinggi ataupun visi tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fakta lain yang tak kalah memalukan adalah terkuaknya informasi tentang perolehan jabatan guru besar yang diduga disertai praktik suap dan manipulasi karya akademik yang menjadi acuan dalam menetapkan layak-tidaknya seseorang memperoleh jabatan guru besar. 

Lebih memprihatinkan lagi, praktik-praktik semacam itu diinisiasi oleh dan melibatkan otoritas perguruan tinggi yang bersangkutan. Praktik lancung ini pun didukung oleh institusi yang seharusnya bertanggung jawab melakukan pengawasan dan pembinaan. Inilah kemerosotan parah standar mutu, budaya, dan integritas akademik, yang berpotensi memicu proses penghancuran sistem pendidikan.

Praktik culas di dunia akademik, seperti jurnal predator, jurnal bajakan, joki karya tulis, mafia sitasi, paper mills, dan asesor kenaikan jenjang jabatan dosen yang tak kredibel, seolah-olah menjadi hal lumrah serta dianggap wajar, baik oleh para dosen, perguruan tinggi, maupun pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Kampus sebagai Pengawal Peradaban

Praktik culas ini akhirnya meruntuhkan harapan publik kepada kampus sebagai pengawal peradaban dan moral bangsa. Universitas adalah benteng akal sehat, etika, dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan berlandaskan pada pemikiran jernih, etis, dan beradab.

Praktik universal mengajarkan bahwa universitas wajib mengedepankan kebenaran, kejujuran, dan kemaslahatan. Tapi, ketika otoritas perguruan tinggi berpihak pada kepentingan pragmatis dan keuntungan individu atau kelompok, benteng itu telah keropos. Akal sehat, kebenaran, kejujuran, dan kredibilitas pun tergadaikan. 

Pengabaian kaidah dan etika akademik berarti sengaja merendahkan martabat perguruan tinggi serta civitas academica yang berproses di dalamnya, bahkan mendistorsi perguruan tinggi menjadi lingkungan yang anarkis dan kumuh. Fakta semacam itu sejatinya mencerminkan perilaku koruptif dan nir-etika di lingkungan perguruan tinggi.

Perilaku semacam itu juga merupakan pengkhianatan terhadap tugas dan tanggung jawab akademikus ataupun institusinya untuk senantiasa menjaga akal sehat dan kejernihan nurani dengan menyuarakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. 

Pengangkatan profesor yang tak berkontribusi pada pencapaian misi fundamental pendidikan tinggi justru merendahkan martabat serta merusak ekosistem dan tata kelola. Kebijakan otoritas perguruan tinggi yang didasari kepentingan pragmatis individu atau kelompok sama saja menggadaikan etika dan standar akademik, bertentangan dengan karakter cendekiawan sejati, bahkan membusukkan institusinya.  

Fakta-fakta tersebut bahkan memicu upaya menyakralkan jabatan dan sebutan profesor. Sejatinya, jabatan apa pun, entah guru besar, dekan, rektor, menteri, presiden, jenderal, gubernur, atau bupati, tidak perlu disakralkan. Jabatan hanyalah sampiran yang sifatnya sementara dan relatif; ada saatnya harus dilepas dan ditinggalkan.

Kalaupun ada makna sakral pada jabatan profesor, hal itu semestinya mengacu pada cara mendapatkan, pelaksanaan fungsi, dan perannya. Hal inilah yang harus dihormati, tak boleh dilanggar atau dipermainkan. Ketika ada orang yang mendapatkan jabatan tersebut dengan melanggar etika, menyalahi proses dan tata cara yang benar, itulah pelanggaran dan serangan terhadap kesakralan jabatan profesor. Pelanggarnya layak disebut nista dan noda.

Salah kaprah dan kekacauan pemahaman tentang jabatan akademik ini ironisnya turut diikuti otoritas yang mengemban amanat strategis dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Abdul Haris, misalnya, menyatakan bahwa guru besar dapat diangkat oleh perguruan tinggi dan oleh negara di salah satu artikelnya. 

Guru besar yang diangkat perguruan tinggi hanya berkenaan dengan kepentingan akademik dan merupakan jabatan internal. Sementara itu, guru besar yang diangkat oleh negara berlaku di seluruh Indonesia dan kepakarannya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pernyataan tersebut tentu menyesatkan. Faktanya, di seluruh dunia, seorang guru besar di suatu perguruan tinggi pada saat yang sama juga menjadi guru besar (eksternal) di perguruan tinggi lain, baik di negaranya maupun di negara lain. Artinya, dia menjalankan peran dan fungsinya dalam koridor akademik secara universal, bukan hanya internal. Justru aneh jika seorang profesor hanya melakukan tugas keilmuan di lingkungan internal seumur hidupnya.

Sebagai jabatan akademik, profesor menjalani peran dan fungsinya untuk dan sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan, termasuk pengembangan ataupun penyebarannya secara universal. Itulah mengapa ada kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. 

Sebagai bagian dari kaum cendekiawan, guru besar menjadi rujukan pengembangan ilmu serta membangun bangsa menjadi bangsa yang maju dan beradab. Namun kini publik justru disuguhkan guru besar sesat makna.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024

  • 31 Oktober 2024

  • 30 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan