maaf email atau password anda salah


Ayo, Geruduk DPR Hari Ini

DPR akan mengesahkan RUU Pilkada yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Ayo, cegah mereka.

arsip tempo : 172660984124.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172660984124.

DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintahan Presiden Joko Widodo terang-terangan mengangkangi hukum demi memuluskan langkah dinasti Jokowi. Hanya dalam waktu tujuh jam, kemarin, Badan Legislasi DPR bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas setuju membawa perubahan keempat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke rapat paripurna hari ini.

DPR mempercepat pembahasan rancangan UU pemilihan kepala daerah itu setelah mandek berkali-kali selama empat tahun. Fraksi-fraksi di DPR sepakat membahas RUU tersebut sehari setelah Mahkamah Konstitusi membuat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora tentang ambang batas syarat jumlah kursi di parlemen untuk mengusung calon kepala daerah.

Hakim konstitusi mengubah ketentuan Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur hanya partai atau gabungan partai yang menguasai 20 persen kursi dewan perwakilan rakyat daerah atau 25 persen suara sah yang bisa mengusung calon gubernur, bupati, atau wali kota. Putusan MK yang progresif ini membuyarkan skenario kotak kosong koalisi partai pendukung pemerintah.

Putusan MK itu juga mengubah ketentuan penting dalam pilkada, yakni batas usia calon kepala daerah minimal 30 tahun saat mendaftar. Ketentuan ini sebelumnya ditafsirkan oleh hakim Mahkamah Agung sebagai batas usia saat pelantikan. Tafsir MA ini membuka peluang Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, bisa berlaga dalam pilkada. Kaesang baru genap 30 tahun pada 25 Desember 2024. Sedangkan pilkada serentak dilangsungkan pada 27 November 2024.

Merespons putusan MK itu, DPR membuat undang-undang baru dengan merevisi UU Pilkada yang ketentuan-ketentuannya bertentangan dengan putusan tersebut. Badan Legislasi mengubah Pasal 7 ayat 2 huruf e sesuai dengan tafsir MA. Sementara itu, ambang batas pencalonan kepala daerah tetap 20 dan 25 persen bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Delapan fraksi setuju dengan rumusan ini. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menolak. 

Pembahasan UU Pilkada itu memang menjadi pertarungan politik antara PDIP dan partai-partai pendukung Jokowi. Di Jakarta, PDIP hanya memiliki 14,01 persen suara. Mereka harus berkoalisi dengan partai lain jika ingin mengusung calon gubernur. Namun partai-partai lain sudah membentuk koalisi besar bernama Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang mengusung bekas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dari Partai Golkar dan mantan Menteri Pertanian Suswono dari Partai Keadilan Sejahtera.  

Kans PDIP mengusung calon gubernur terbuka kembali berkat putusan MK ini. Mengacu pada rasio jumlah suara penduduk Jakarta seperti putusan MK, ambang batas partai yang bisa mengajukan calon gubernur minimal 7,5 persen. PDIP pun tak perlu berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung calon kepala daerah sendiri.

Dukungan terhadap putusan MK bukan untuk menyokong PDIP yang ditinggalkan koalisi partai pendukung pemerintah, melainkan dukungan kepada demokrasi. Putusan MK itu menyelamatkan pembajakan demokrasi oleh partai-partai yang menjadi pelayan hasrat berkuasa Jokowi. Dengan membentuk koalisi besar, KIM Plus hendak menjegal calon pemimpin yang bisa mengimbangi calon kepala daerah yang mereka usung. Kalaupun tidak melawan kotak kosong, KIM Plus diduga menciptakan calon boneka melalui calon perseorangan agar bisa menang mudah.

Pembangkangan terhadap hukum oleh DPR dan pemerintah ini harus dihentikan. DPR dan pemerintah tidak bisa terus-menerus mengakali hukum untuk terus berkuasa. Setelah perubahan UU Pemilu mulus meloloskan anak sulung Jokowi menjadi calon wakil presiden, akal-akalan perubahan UU Pilkada ini tak boleh terulang.

Untuk mencegahnya, publik tak punya pilihan selain memprotes secara masif dan besar-besaran keinginan DPR mengesahkan undang-undang yang melawan konstitusi itu hari ini. Kita tak bisa mengharapkan lembaga-lembaga hukum bertindak terhadap keputusan DPR yang ugal-ugalan itu karena selama ini mereka telah menjadi alat dan pelayan kekuasaan.

Untuk mencegah pembajakan demokrasi dan konstitusi ini, kita mesti melakukan pembangkangan sipil. Pembangkangan sipil, gerakan masif tanpa kekerasan dengan mogok dari aktivitas rutin untuk mendatangi gedung DPR, merupakan hak demokratis warga negara yang dilindungi hukum ketika wakil-wakil rakyat dan pemerintah yang kita pilih mengangkangi konstitusi serta merusak demokrasi.

Hanya dengan gerakan masif seperti Reformasi 1998, kita bisa mungkin menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman para kartel dan pembajak demokrasi.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan