maaf email atau password anda salah


Catatan bagi Pengganti Sri Mulyani

Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mencatatkan dua kegagalan besar. Jangan terulang di pemerintahan berikutnya.

arsip tempo : 171467091161.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171467091161.

MENJELANG pergantian kepala pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto, beredar kabar bahwa posisi Menteri Keuangan tidak akan lagi dijabat Sri Mulyani Indrawati. Bahkan di media sosial pernah beredar beberapa nama kandidat menteri berikutnya. Posisi ini krusial dan tidak bisa diisi sembarang orang. Sebab, sebagai bendahara negara, ia berperan dalam menjaga disiplin fiskal dan stabilitas perekonomian.

Sosok Menteri Keuangan selama ini, Sri Mulyani, dianggap sebagai figur dengan integritas dan kredibilitas yang baik sehingga mendapat kepercayaan tinggi dari pelaku pasar dan komunitas internasional. Menteri Keuangan yang non-partisan serta lebih banyak dituntun oleh pertimbangan profesional dan argumentasi rasional dalam pembuatan kebijakan menjadi kunci dari kepercayaan banyak pihak. Faktor ini tetap akan menjadi syarat utama bagi pengganti Sri Mulyani.

Terlepas dari apresiasi banyak pihak atas kepemimpinannya di Kementerian Keuangan selama ini, penulis menilai Sri Mulyani mencatatkan dua kegagalan selama menjalankan tugasnya. Dua kegagalan ini penting untuk menjadi catatan bagi figur penggantinya. Pertama adalah kegagalan meningkatkan penerimaan perpajakan. 

Meski mengeluarkan berbagai kebijakan reformasi perpajakan, seperti tax amnesty dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta yang terbaru pengembangan core tax system, kinerja penerimaan perpajakan kita tidak banyak berubah. Rasio pajak atau tax ratio pada 2023 hanya mencapai 10,23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Rasio itu masih lebih rendah dari posisi di awal masa pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015, yang sebesar 10,76 persen dari PDB. Kinerja penerimaan perpajakan kita stagnan dalam satu dekade terakhir, jika tidak bisa dikatakan menurun.

Kedua adalah kegagalan menahan beban utang pemerintah yang makin membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara signifikan. Akibanya, kemampuan APBN dalam menstimulus perekonomian dan melindungi rakyat miskin terus menurun. Beban bunga utang terus meningkat dalam satu dekade terakhir, terutama pasca-pandemi yang melejit sangat tinggi.

Sementara pada 2015 beban bunga utang "baru" di kisaran Rp 150 triliun, kini nilainya mendekati Rp 500 triliun pada APBN 2024. Beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020. Pada 2023, diperkirakan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak masih berada di kisaran 20,6 persen dan pada 2024 diproyeksikan di kisaran 21,5 persen, jauh di atas batas aman di angka 7-10 persen.

Tugas Menteri Keuangan Berikutnya

Melihat dua kelemahan Sri Mulyani itu, penulis menganggap syarat Menteri Keuangan berikutnya adalah memiliki program dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan serta menurunkan beban utang pemerintah. Menteri Keuangan berikutnya tidak boleh lagi melanggar disiplin makroekonomi atas nama apa pun. 

Pada masa pandemi, untuk pertama kalinya pasca-krisis 1997, pemerintah melanggar dua disiplin makroekonomi terpenting: disiplin fiskal berupa batas maksimum defisit anggaran 3 persen dari PDB serta monetisasi utang pemerintah oleh bank sentral dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer.

Pengganti Sri Mulyani juga harus mampu menurunkan ketergantungan APBN yang sangat akut pada pembuatan utang baru, terutama melalui penerbitan SBN. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penerbitan SBN melonjak dari hanya Rp 32,3 triliun pada 2004 menjadi Rp 439 triliun pada 2014. 

Di era Presiden Jokowi, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019. Di masa pandemi, penerbitan SBN melonjak menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Pasca-pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, yang tercatat sebesar Rp 1.097 triliun pada 2022. 

Bendahara negara berikutnya juga harus mampu meningkatkan penerimaan perpajakan tanpa bergantung pada harga komoditas global. Penyehatan APBN pasca-pandemi banyak terbantu oleh kenaikan harga komoditas global, terutama batu bara dan sawit. Tax ratio kita pun pulih dengan cepat, yaitu dari 8,3 persen dari PDB pada 2020 menjadi 10,4 persen dari PDB pada 2022. 

Namun, ketika commodity boom tersebut berakhir, tax ratio kita langsung melemah. Pada 2023, rasio pajak kita turun menjadi 10,2 persen dari PDB meski pemulihan ekonomi diklaim berjalan makin cepat. Hanya dengan kenaikan kinerja penerimaan perpajakan yang signifikan, kita akan mampu membuat redistribusi pendapatan dari kelas atas ke kelas bawah-menengah menjadi berjalan lebih cepat dan progesif. Hanya dengan rasio pajak yang lebih tinggi, kita akan mampu menurunkan rasio utang pemerintah pada akhir 2023 yang mencapai 38,59 persen dari PDB, dengan nilai absolut utang pemerintah menembus Rp 8.145 triliun.

Menteri Keuangan pada pemerintahan berikutnya juga harus mampu menurunkan beban utang pemerintah yang mencapai tingkat sangat memberatkan. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN "baru" di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, angka ini melonjak menembus Rp 700 triliun dan pasca-pandemi pada 2021 menembus Rp 800 triliun.

Pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp 500 triliun, tapi pada 2023 diproyeksikan melonjak mendekati Rp 1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp 1.100 triliun. Di era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata di kisaran 32,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2005-2014. Namun pada 2015-2022, di era Presiden Jokowi, angka itu melonjak menjadi 47,4 persen.

Berbagai catatan itu jelas tidak bisa dianggap sebagai sebuah prestasi mengesankan bagi seorang Menteri Keuangan. Dua kegagalan besar Sri Mulyani tersebut jangan sampai terulang oleh penggantinya.

Redaksi menerima artikel Opini dengan syarat panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan