maaf email atau password anda salah


Menepuk Air di Dulang Pelanggaran HAM Berat Papua

Blunder kedua TNI: menuding kelompok bersenjata di Papua sebagai pelaku pelanggaran HAM berat.

arsip tempo : 171453486171.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171453486171.

SETELAH Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Agus Subiyanto mengganti nama kelompok bersenjata di Papua kembali menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM), TNI kini menyebutkan mereka telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, merujuk pada kematian Komandan Rayon Militer Aradide Letnan Dua Oktovianus Sogalrey pada 11 April 2024.

Penyebutan pelanggaran HAM berat dalam pembunuhan itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Nugraha Gumilar, tanpa memerinci indikatornya. Nugraha hanya menyebutkan tindakan kelompok bersenjata di Papua itu telah mencederai upaya perdamaian dan percepatan pembangunan. Pernyataan ini makin menunjukkan TNI tak punya pemahaman mengenai hak asasi manusia.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ada dua jenis pelanggaran HAM berat: genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Genosida adalah pemusnahan terhadap seluruh atau sebagian kelompok etnis, ras, dan agama. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan disebut sebagai aksi—seperti penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan—yang dilakukan secara sistematis terhadap penduduk sipil.

Maka, merujuk pada makna dalam Undang-Undang Pengadilan HAM itu, penganiayaan dan pembunuhan terhadap Letnan Dua Oktovianus bukan pelanggaran HAM berat. TNI bukan penduduk sipil serta bukan pula bagian dari kelompok etnis, ras, dan agama tertentu. Lagi pula, selama ini, pelaku pelanggaran HAM berat merupakan aktor negara, seperti tentara. 

Pernyataan Nugraha itu seakan-akan menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Ada 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2023. Dari peristiwa 1965, Rumoh Geudong di Aceh, sampai kasus Wasior di Papua. Para korbannya adalah penduduk sipil yang punya latar belakang etnis dan agama tertentu. Sementara itu, semua pelakunya merupakan aktor negara, seperti tentara dan polisi.

Aktor non-negara, seperti kelompok bersenjata di Papua, tentu tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban HAM. Namun, menurut Andrew Clapham, pakar hukum hak asasi manusia asal Inggris, dalam artikel Human Rights Obligations of Non-State Actors (2006), salah satu syarat meminta pertanggungjawaban kelompok bersenjata dalam pelanggaran HAM adalah pelaku bagian dari kelompok yang mengendalikan kuasi pemerintahan atau pemerintahan semu di wilayah kekuasaan tertentu. Kelompok bersenjata di Papua jelas tak memenuhi kriteria ini. 

Jika TNI berkeras menyebutkan kelompok bersenjata melakukan pelanggaran HAM berat, mereka sama saja mengakui aspirasi kemerdekaan dan eksistensi kelompok bersenjata di Papua sebagai pemerintahan yang menguasai suatu wilayah. Padahal, selama ini, pengakuan terhadap aspirasi kemerdekaan Papua selalu dihindari pemerintah Indonesia. Penyebutan mereka dengan label kelompok kriminal bersenjata (KKB) bertujuan mengisolasi kekerasan oleh mereka dengan hukum pidana, bukan menempatkan mereka sebagai kelompok separatis yang mesti ditangani dengan diplomasi dan mediator. 

Pemerintah sebaiknya berfokus menegakkan hukum melalui kepolisian dengan menyelidiki, menerbitkan surat penangkapan, dan menyeret anggota kelompok bersenjata yang membunuh Letnan Dua Oktovianus ke pengadilan. TNI juga mesti menghentikan narasi bahwa kelompok bersenjata di Papua merupakan pelaku pelanggaran HAM berat.

Lebih dari itu, pemerintah mesti mengedepankan jalan dialog menyelesaikan konflik Papua dengan mengedepankan lembaga-lembaga sipil seperti Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Nasional HAM. Propaganda KKB sebagai pelaku pelanggaran HAM berat, selain sulit mendapatkan justifikasi, hanya akan memperpanjang konflik di Papua yang sudah berlangsung selama lebih dari setengah abad.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan