Tantangan Perbedaan Pendapat di Pemilu 2024
Pemilihan umum bukan hanya ajang mencari pemimpin baru. Pesta demokrasi ini juga merupakan kesempatan untuk melatih perbedaan pendapat dalam masyarakat.
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Pesta demokrasi untuk memilih pemimpin negeri lima tahun ke depan sudah ada di depan mata. Debat antarkandidat sudah dilaksanakan dalam beberapa tahap. Setiap orang punya jagonya masing-masing. Ada yang sejak awal sudah menentukan pilihannya, tapi ada pula yang masih gamang akan memilih siapa.
Di media sosial keriuhan pun makin bergelora. Para pendukung dan tim sukses tiap capres mencoba mengedepankan konstruksi terbaik calon yang mereka jagokan. Baik menggunakan cara-cara yang etis maupun amunisi-amunisi yang destruktif, seperti peredaran berita bohong dan misinformasi yang masih mudah ditemui. Namun, pada kadar tertentu, hoaks relatif mudah dilacak. Sebab, banyak kanal yang menyediakan validasi untuk mengecek kebenaran berita-berita yang hadir.
Hal yang menarik, penulis memperhatikan, dibandingkan dengan dua pemilihan umum sebelumnya, grup percakapan keluarga, alumni sekolah, dan lainnya pada aplikasi perpesanan saat ini lebih kondusif dari pesan-pesan berantai yang sifatnya memojokkan para capres-cawapres peserta Pemilu 2024.
Selain mempromosikan masing-masing kandidat, para pendukung dan tim sukses capres-cawapres kerap mencoba mengklarifikasi ketika hal yang disampaikan sang kandidat kurang pas di mata publik. Berbagai upaya itu dilakukan untuk meyakinkan kelompok pemilih yang masih gamang. Kolom-kolom komentar berita politik begitu ramai. Ragam analisis mengemuka, baik dalam bentuk teks maupun video. Semua menyampaikan argumen dengan data yang mereka anggap benar.
Problem Pemilih Muda
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah para capres dan cawapres atau partai politik yang berkontestasi sudah betul-betul memikirkan perkara-perkara substantif tersebut? Jika membaca dokumen janji politik mereka, tentu jawabannya sudah. Tapi selalu ada gap antara yang ideal dan praktis. Apakah poin-poin yang disampaikan ketika debat atau kampanye sebatas janji muluk atau menjadi policy yang sangat realistis untuk diimplementasikan?
Pertanyaan lain, apakah pertarungan politik ini memang untuk meraih kebajikan politik, seperti kata Peter Merkl, “Politics at its best is a noble quest for a good order and justice (Politik, pada bentuk terbaiknya, adalah pencarian yang mulia untuk tatanan yang baik dan keadilan),” atau justru sebaliknya, “Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches (Politik pada tingkatan terburuk adalah upaya egois untuk meraih kekuasaan, kemuliaan, dan kekayaan).” Memang, pada akhirnya waktu akan membuktikan bentuk mana yang kemudian direalisasi para penguasa. Jika berpihak pada masa depan Indonesia, kebijakan yang ditampilkan para kandidat seharusnya yang membela kepentingan anak-anak muda. Fokus pada pembangunan jiwa dan raga generasi muda menjadi hal yang sangat penting.
Untuk kalangan anak muda, tentu tak mudah memilih kandidat yang dianggap dapat mewakili aspirasi mereka. Mereka juga sulit menentukan sosok yang benar-benar merepresentasikan kegelisahan mereka dalam mengarungi kehidupan dewasa ini. Apalagi anak-anak muda saat ini dihadapkan pada beragam problematika dan kompleksitas, seperti kasus perundungan, kekerasan, kekerasan seksual, isu mental health, ketimpangan akses pendidikan, kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, kompetisi yang begitu dahsyat antarsesama, gaya hidup, serta beragam isu lain.
Furlong dan Cartmel (2007) dalam buku Young People and Social Change: New Perspectives memberi pengingat, pengalaman hidup para pemuda di masyarakat modern telah mengalami perubahan signifikan. Sebab, mereka mengalami situasi ketika terdapat perubahan restrukturisasi pasar tenaga kerja, peningkatan permintaan untuk pekerja terdidik, praktik kerja fleksibel, dan kebijakan sosial yang membuat mereka memiliki periode ketergantungan lebih tinggi kepada keluarga. Di sisi lain, perubahan tersebut berpengaruh pada relasi mereka dengan teman, keluarga, pengalaman pendidikan, waktu luang dan gaya hidup, serta kemampuan untuk menjadi pemuda dewasa mandiri.
Berbagai impitan tersebut bersifat struktural dan membutuhkan penyelesaian struktural melalui kebijakan yang berpihak kepada kaum muda. Bukan penyelesaian yang sifatnya semata-mata personal, seperti perlunya anak muda berefleksi diri dan mencari cara-cara individu untuk menyelesaikan masalah mereka masing-masing.
Aktif di Ruang Publik
Untuk mewujudkan kondisi terbaik demokrasi publik, semua elemen masyarakat tentu harus aktif bersuara di ruang publik. Bagi anak muda, selalu ada beban sejarah untuk menjadi motor penggerak perubahan, kritis terhadap setiap kebijakan publik, terlibat dalam inisatif publik, serta berupaya meningkatkan kapabilitas dan kapasitas untuk dapat berkontribusi kepada masyarakat.
Penyematan itu dalam poin tertentu sangat membebani anak muda. Terlebih di tengah kompleksitas dan problematika yang sudah dipaparkan sebelumnya. Ketika anak-anak dituntut untuk menjadi sosok yang kapabel di dunia kerja, misalnya, dampak utama yang terjadi adalah berkurangnya keinginan untuk aktif di ruang publik. Mereka terjebak dalam pemikiran “untuk diri sendiri saja saya harus berjuang, bagaimana harus memikirkan orang lain”. Atau “saya harus memiliki banyak keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja di masa depan, tak ada waktu untuk memikirkan hal selain belajar”. Kompetisi individu memang menjadi pemicu utama dalam masyarakat yang serba kapitalistik dan hal ini sudah sangat terlihat dalam masyarakat hari-hari ini, terutama di wilayah perkotaan.
Henry A. Giroux (2009) dalam Youth in a Suspect Society berpendapat bahwa perlu adanya upaya untuk mendidik generasi muda dalam semangat demokrasi kritis dengan menyediakan kepada mereka pengetahuan, semangat, kapasitas kewargaan, serta tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa dan dunia. Meski demikian, Giroux mewanti-wanti, dunia pendidikan menemui tantangan batasan disiplin yang kaku, kultus keahlian, dan ideologi anti-demokratis yang menyulitkan upaya untuk mengkonstruksi kebebasan akademik.
Dałam beberapa poin, di Indonesia, ada momen ketika warga merasa khawatir menyuarakan pendapatnya di depan publik. Di ruang pendidikan, para siswa sering kali tak mudah menyuarakan pendapatnya karena khawatir dimarahi atau mendapat nilai buruk dari guru atau berbeda pendapat dengan teman.
Kekhawatiran tersebut membuat budaya perbedaan pendapat sulit terbentuk. Dalam kondisi tersebut, masyarakat akan lebih merasa khawatir ketika memiliki pendapat berbeda ketimbang punya keinginan mencari solusi terbaik yang perlu dihadirkan di ruang publik. Akibat minimnya latihan perbedaan pendapat, kita cenderung mengedepankan emosi ketika berbeda pendapat. Di satu sisi, ketika anak-anak muda tidak bersuara, suara mereka akan dibajak oleh kepentingan semu yang mengatasnamakan pemuda, dengan kepentingan elektoral semata.
Paparan pedagog kritis Paulo Freire dalam Learning to Question: A Pedagogy of Liberation perlu kita ingat terus-menerus. Freire menyebutkan salah satu bentuk eksistensi manusia hadir melalui pertanyaan-pertanyaan yang menjadi akar awal munculnya berbagai perubahan. Dalam proses tersebut, kemampuan berpikir kritis dibangun. Di negeri ini, tantangan untuk mewujudkan upaya tersebut tak semata-mata di ruang pendidikan, tapi juga di ruang keseharian dan politik publik kita belakangan ini.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.