Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute
Setelah kelar sekitar 4,5 tahun yang lalu, program amnesti pajak kembali diangkat. Rencana kebijakan reformasi pajak tersebut kini sedang dikaji oleh semua elemen pemangku kebijakan sebagai ikhtiar alternatif dalam pemulihan ekonomi nasional.
Amnesti pajak diyakini memberikan efek yang sangat positif bagi perekonomian. Dia menjadi insentif bentuk lain bagi dunia usaha guna membangkitkan kembali aktivitasnya dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kebijakan pengampunan pajak ini juga akan berdampak meningkatnya penerimaan negara.
Pandemi telah menyebabkan pemerintah mengalami kekurangan (shortfall) penerimaan pajak yang sangat dalam. Realisasi penerimaan pajak pada 2020, misalnya, "hanya" Rp 1.070 triliun atau ekuivalen dengan 89,3 persen dari target Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020.
Wacana amnesti pajak jilid II agaknya juga didorong oleh realisasi amnesti pajak jilid I yang tidak memenuhi sasaran. Dari sisi tingkat partisipasi, jumlah wajib pajak yang ikut program amnesti kurang dari 1 juta orang. Jumlah tersebut hanya 2,4 persen dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017, yakni 39,1 juta orang.
Dari segi uang tebusan, realisasinya Rp 114,5 triliun, masih jauh dari ekspektasi sebelumnya yang Rp 165 triliun. Realisasi repatriasi dana, yang menjadi roh dari amnesti pajak, juga jauh di bawah target, yakni Rp 146,7 triliun. Ini sangat kontras dengan sasaran awal yang Rp 1.000 triliun.
Karena itu, pelaksanaan amnesti pajak selama Juli 2016 sampai Maret 2017 itu cuma menolong penerimaan perpajakan pada tahun berjalan, tapi sama sekali tidak memberikan dampak pada kinerja penerimaan perpajakan tahun-tahun selanjutnya. Bahkan, pasca-amnesti pajak, rasio pajak, alih-alih naik, malah turun.
Sampai di sini, program amnesti pajak agaknya merupakan kebijakan insidental dan tidak bisa diharapkan banyak untuk mendongkrak penerimaan pajak jangka pendek. Manfaat amnesti pajak bagi peningkatan penerimaan negara baru bisa dinikmati dalam jangka panjang, bukannya seketika pada saat itu juga.
Jika tujuan utama amnesti pajak adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, pemerintah semestinya mengoptimalkan data basis pajak lebih dulu. Data terkumpul sudah banyak, mulai dari data amnesti pajak itu sendiri, dugaan penghindaran pajak di Panama Papers dan Paradise Papers, hingga pertukaran data lintas negara (automatic exchange of information).
Informasi di atas menjadi tambahan basis data perpajakan. Kajian atas basis data tersebut niscaya memunculkan potensi pemajakan baru. Pengembangan basis data juga akan meningkatkan kemampuan dalam memperkirakan rencana penerimaan pajak, baik itu pajak penghasilan maupun jenis-jenis pajak lainnya.
Melaksanakan lagi amnesti pajak berarti memutar haluan kembali ke titik nol. Stok energi hanya tersedot untuk berdebat mengenai "cara", alih-alih berorientasi pada "hasil". Belum lagi penanggulangan masalah yang lebih hakiki, seperti pertumbuhan serta ketimpangan ekonomi. Jadi, efisiensi kebijakan harus menjadi kata kunci.
Dalam lingkup yang lebih sempit, kepatuhan membayar pajak juga akan tergerus. Apalagi kasus suap pajak yang merebak belakangan ini tengah menjadi sorotan publik. Masyarakat akan beranggapan bahwa tidak perlu segera patuh apabila pada akhirnya akan ada amnesti pajak jilid III dan seterusnya. Maka, wacana penerapan amnesti pajak jilid II perlu dikaji secara saksama.
Kalaupun pemerintah tetap berkukuh melaksanakannya, amnesti pajak jilid I memberi pelajaran yang sangat berharga. Kunci sukses amnesti pajak adalah kematangan persiapan, panjang durasi, fleksibilitas aturan, dan kesederhanaan prosedur.
Paradigmanya juga harus berubah. Target yang harus dikejar adalah repatriasi dana warga negara Indonesia (WNI) yang masih "ngendon" di luar negeri. Jangan sampai di balik kata "pengampunan pajak" terselip upaya fiskus (pemungut pajak) untuk menelusuri asal-usul kekayaan demi meraih setoran uang tebusan, denda, atau penalti.
Otoritas pajak tidak boleh lagi terkecoh. Deklarasi aset WNI di luar negeri tidak berkorelasi kuat dengan repatriasi. Repatriasi dana inilah yang paling krusial untuk saat ini. Kepulangan dana dari luar negeri niscaya akan memberikan efek pengganda bagi perekonomian domestik dengan segala mata rantai aktivitas turunannya. Intinya, kepentingan jangka menengah-panjang harus menjadi rujukan dasar.
Dengan demikian, program amnesti pajak harus diletakkan dalam kerangka konsolidasi fiskal. Penyusutan rasio defisit anggaran dan rasio utang negara secara bertahap tetap perlu diinisiasi. Toh, mulai 2023, defisit fiskal sudah harus kembali pada pakem Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, yakni maksimum 3 persen dari produk domestik bruto.