Akumulasi pestisida di lahan pertanian dan perkebunan meningkatkan risiko pencemaran lingkungan. Persoalannya, penggunaan pestisida tidak bisa dihilangkan begitu saja dari pertanian modern. Sementara itu, riset untuk menemukan formula yang ramah lingkungan butuh biaya triliunan rupiah. Belum lagi pengenalan produk ke pasar yang perlu waktu belasan tahun.
PT Pandawa Agri Indonesia menawarkan jalan tengah. Perusahaan yang didirikan pada 2014 itu merupakan produsen reduktan herbisida pertama dan satu-satunya di Indonesia. Reduktan ini diklaim mampu mengurangi pemakaian herbisida hingga 50 persen dari kebutuhan normal. “Kami berharap inovasi lokal ini bisa dijadikan solusi global,” ujar CEO Pandawa Agri Indonesia, Kukuh Roxa.
Pekan lalu, perusahaan yang berbasis di Banyuwangi itu mulai mewujudkan mimpinya untuk mendunia dengan mengekspor reduktan herbisida Weed Solution ke Malaysia. Selain ramah lingkungan, harga produk ini disebut lebih terjangkau oleh petani. Wartawan Tempo, Vindry Florentin, mewawancarai Kukuh pada Februari lalu. Berikut ini petikannya.
Mengapa Anda berfokus pada pengurangan pestisida?
Ide itu tercetus ketika saya berkuliah di Institut Pertanian Bogor bersama dua teman saya, Sigit Pramono dan Wahyudi, lalu bekerja di laboratorium pengujian pestisida. Dari situ, kami melihat bahwa dalam sebulan minimal ada satu produk baru pestisida yang didaftarkan. Ini luar biasa. Setelah kami amati, kok semua produk tersebut synthetic based dengan kandungan utamanya racun.
Bukankah penggunaan pestisida tidak bisa dilepaskan dari pertanian modern?
Kami paham pestisida sangat dibutuhkan oleh petani ataupun perkebunan. Tapi, di sisi lain, ini sudah digunakan puluhan tahun dan pasti ada efek samping yang perlu dicari solusinya. Dari situ, kami ingin mencari tahu bagaimana caranya bisa mengurangi penggunaan pestisida tapi tetap berfungsi layak bagi petani dan perkebunan. Itulah kenapa, setelah lulus dari IPB, kami tetap berfokus melakukan penelitian dan pengembangan reduktan sambil melakukan pendampingan ke petani. Jadi, kami betul-betul tahu bagaimana masalah di lapangan.
Kenapa tidak langsung membuat pestisida yang lebih aman?
Untuk membuat satu jenis formula pestisida, butuh dana yang tidak sedikit, bahkan di angka Rp 3 triliun lebih. Memulai dari nol mencari bahan aktif sampai bisa diterima pasar rata-rata butuh waktu 11 tahun. Industri ini sangat menantang bagi perusahaan di luar perusahaan yang basisnya sudah memiliki bahan aktif.
Kami dari awal memang secara sadar tidak mau masuk ke pestisida. Reduktan beda golongan dengan pestisida karena reduktan tidak bisa digunakan secara tunggal. Kalau digunakan tunggal, tidak akan berpengaruh ke tanaman. Harus dicampur. Reduktan ini bersifat netral dan aman. Karena itu, sejak 2014 kami mendapatkan surat izin edar bukan bahan pestisida.
Bagaimana peluang bisnisnya?
Bisnis pestisida sangat menjanjikan dan besar. Pasar pestisida Indonesia pada 2020 mencapai Rp 10 triliun. Kami juga melihat banyak negara sudah mulai mencari cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida. Contohnya, pemerintah Thailand sempat melarang penggunaan pestisida, dan itu belum ada solusinya, sehingga akhirnya didemo petani. Inggris juga mau mengurangi pestisida sebanyak 50 persen pada 2030.
Negara-negara itu sudah lama melakukan studi, ternyata penggunaan pestisida secara terus-menerus dan volume tinggi sangat berpengaruh terhadap hewan penyerbuk. Ini sangat berbahaya, karena hewan ini merupakan salah satu inti di rantai makanan kita. Kami berharap bisa memberikan solusi secara ilmiah dan terbukti di lapangan.
Ada alasan khusus memilih reduktan bagi herbisida?
Pestisida ada dua jenis, yakni herbisida dan insektisida. Herbisida digunakan untuk mengatasi tanaman pengganggu, seperti rumput. Pasar herbisida mencapai 40 persen dari total pasar pestisida. Sedangkan insektisida sekitar 20 persen. Itulah mengapa kami berfokus ke reduktan herbisida.
Kami pakai nama Weed Solution, yang merupakan reduktan herbisida yang bisa mengurangi pemakaian jenis herbisida apa pun hingga 50 persen. Dengan pengurangan 50 persen, petani dan perkebunan dapat menghemat biaya perawatan sebesar 10-40 persen.
Apa manfaat lain dari penggunaan reduktan?
Kami sudah menghitung, selama enam tahun berjalan, kami sudah mengurangi pestisida lebih dari 1 juta liter di berbagai provinsi dan menghemat biaya di kisaran Rp 7-8 miliar. Selain itu, penggunaan reduktan telah mengurangi risiko paparan ke 3.000 orang.
Selain Pandawa Agri, siapa pemain lain di bisnis reduktan pestisida?
Kami adalah perusahaan pertama dan satu-satunya di Indonesia yang bisa membuat reduktan pestisida. Ini kategori baru dan belum ada perusahaan lain. Bahkan kami cari di dunia pun belum ada kategori ini. Mungkin karena pendekatannya berbeda. Kalau di luar negeri, mereka punya banyak modal sehingga lebih berfokus ke pembuatan formula baru pestisida (yang ramah lingkungan).
Petugas menunjukan hasil penggunaan produk herbisida yang diproduksi PT Pandawa Agri Indonesia pada acara pelepasan ekspor perdana ke Malaysia di Banyuwangi, Jawa Timur, 17 Maret 2021. ANTARA/Budi Candra Setya
Bagaimana strategi menawarkan produk baru ini?
Awalnya, kami melakukan pendampingan ke petani. Pendekatan kami bukan langsung mengenakan biaya ke petani, melainkan dengan skema pendampingan. Jika produksi petani naik, kami mendapat bagi hasil. Porsi kami hanya 10 persen. Kami juga menawarkan produk kami ke perusahaan multinasional di dalam negeri, dan itu membantu mendatangkan penawaran dari luar negeri.
Siapa konsumen terbesar?
Sekarang lebih dari 70 persen pasarnya dari korporasi, dan sisanya masyarakat. Ke depan, kami akan seimbangkan. Ada mitra yang bisa membantu kami untuk menjangkau small holders dengan jaringan mereka.
Pasarnya di daerah mana saja?
Pasar paling besar di luar Jawa, yaitu Sumatera dan Kalimantan, karena banyak perkebunan. Kami suka masuk ke perkebunan karena otomatis akan masuk ke plasma milik masyarakat. Kalau kami masuk ke individu, satu-satu, butuh waktu lama.
Untuk pasar internasional, negara mana yang potensial?
Kami berharap dalam 3-5 tahun ke depan sudah masuk ke pasar ASEAN. Pasar potensial pertama jelas Malaysia. Di akhir 2020 kami sudah menyelesaikan pemenuhan regulasi yang dibutuhkan untuk mengekspor reduktan ke sana. Selanjutnya Thailand, karena pertanian mereka maju, namun di bidang agrokimia masih ada ketergantungan yang luar biasa. Vietnam juga pasar yang potensial. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kami bisa ke Brasil, karena mereka memiliki perhatian terhadap penggunaan pestisida.
Bagaimana permintaan reduktan selama pandemi?
Selama pandemi, secara total malah naik. Untungnya, kami sudah membikin beberapa proyeksi, jadi tidak terlalu kaget. Ada beberapa investasi yang memang tertunda, namun kami tetap bisa bekerja dengan baik.
Dengan kenaikan permintaan, bagaimana kesiapan produksi?
Kami sudah menyiapkan dana untuk menaikkan kapasitas produksi sampai 10 kali lipat dari 2018. Kami juga sudah menyiapkan bank tanah. Kalau permintaan naik lagi, lahan tersebut dapat dimanfaatkan.
Bagaimana memenuhi kebutuhan bahan baku?
Rata-rata pestisida yang ada di pasaran based on toxic. Sedangkan Indonesia kaya akan biodiversitas. Contohnya di Banyuwangi, yang merupakan kabupaten dengan garis pantai terpanjang di Jawa Timur. Ada gunung dan dua hutan lindung di sana.
Peneliti luar negeri keluar-masuk Banyuwangi untuk mengeksplorasi bahan-bahan di sana karena biodiversitasnya sangat melimpah. Dari situ, kami mencari bahan yang sesuai. Kami berinovasi menggunakan sumber daya lokal dan tidak bergantung pada impor. Kami berhati-hati memilihnya agar berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
***
CEO Pandawa Agri Indonesia, Kukuh Roxa. Dok Pribadi
Kisah Tiga Sekawan
Kukuh merupakan lulusan Agronomy and Crop Science (Ilmu Tanaman) Institut Pertanian Bogor pada 2011. Setelah lulus, dia bekerja di laboratorium Ecotoxycology and Waste Management, Agronomy and Horticulture Department, IPB. Pada 2014, bersama dua teman kuliahnya, Sigit Pramono dan Wahyudi, Kukuh mendirikan PT Pandawa Agri Indonesia. Memanfaatkan alam Indonesia sebagai sumber bahan baku reduktan, Kukuh berharap produk Pandawa mampu mengatasi masalah akibat pembasmi hama, tak hanya di dalam negeri tapi juga di seluruh dunia.