Peneliti Kebijakan Publik
Masyarakat sebenarnya tak perlu terkejut perihal korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), karena praktik lancung itu masif terjadi dalam perizinan sumber daya alam di Indonesia. Sejak 2015, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sudah mendalaminya dan bahkan, lewat jalur pencegahan, Komisi sudah mencoba memberikan masukan kepada kementerian dan lembaga teknis, termasuk KKP.
Mengapa korupsi perizinan itu masih marak? Berdasarkan evaluasi KPK dalam "Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam", ternyata penyederhanaan dan integrasi sistem perizinan dalam satu platform online single submission (OSS) yang dilakukan pemerintah belum mampu memangkas habis praktik korupsi dalam perizinan.
Jaringan aktor korupsi masih bercokol dalam sistem dan proses perizinan. Para aktor ini bahkan membentuk jaringan korupsi yang sistemik. Kajian Jacqui Baker (2020), yang didukung oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, menyebutkan ada 201 simpul jaringan dalam korupsi perizinan. Mereka itu terdiri atas 82 simpul pelaku usaha, 47 simpul dari dinas kabupaten/kota, 17 simpul dari orang kepercayaan kepala daerah, 14 simpul aktor swasta di luar simpul pelaku usaha, 9 simpul dari dinas provinsi, dan 8 simpul dari pemerintah pusat. Pengkajian ini dilakukan terhadap perizinan kehutanan di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Tak jauh berbeda dari kajian Baker, hasil operasi tangkap tangan dan penetapan tersangka oleh KPK terhadap kasus perizinan ekspor benur (benih lobster) di KKP juga membentuk simpul jaringan korupsi yang bekerja secara sistemik. Di dalamnya ada simpul Menteri KKP, simpul orang kepercayaan (staf khusus), dan simpul pelaku usaha. Besar kemungkinan aktornya akan terus berkembang dan simpulnya semakin banyak.
Mengapa jaringan tersebut terus berkembang-biak dalam sistem perizinan? Kajian KPK sebenarnya sudah menunjukkan kondisi terjadinya state capture corruption, kekuatan dalam pengambil kebijakan yang mengkooptasi kebijakan tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Kekuatan itu telah menyandera kekuatan negara dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Hariadi Kartodihardjo (2019) menyebutnya sebagai "institusi pseudo-legal". Mereka menjadi aktor yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah dan bahkan sangat mudah mengintervensi regulasi sesuai dengan kepentingan yang mereka inginkan.
Menelisik kasus KKP, "institusi pseudo-legal" ini masif bekerja mengintervensi regulasi serta kebijakan dan menggunakannya untuk mengambil rente dari regulasi dan kebijakan yang mereka buat tersebut. Biasanya aktor utamanya tak hanya menteri. Menteri hanya sebagai aktor perantara atau middle man. Pasti ada eminent person yang menggerakkannya. Merekalah sebenarnya penerima manfaat utama dari kebijakan yang korup tersebut. Aktor utama ini memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibanding menteri. Mereka bisa atasannya, ketua partai politik, kelompok oligarki ekonomi, atau pemilik modal besar dari luar negeri.
Penegakan hukum yang kuat dibutuhkan untuk menghadapi jaringan ini. Penegak hukum itu haruslah tidak mudah diintervensi oleh berbagai kekuatan lain. Pada level ini, kita masih sangat menggantungkan harapan pada KPK. Tapi, apakah KPK masih sanggup menanggung beban berat itu? Untuk kasus KKP, kita sangat memberikan apresiasi. Tapi saya pesimistis aktor utamanya bisa dijerat oleh KPK karena, selama ini, dalam kasus korupsi perizinan, KPK paling jauh menyentuh aktor perantara. Aktor utamanya (eminent person) masih lepas dari jerat hukum. Bahkan, dalam kasus sumber daya alam, mereka semakin memperkuat eksistensinya dalam mengkooptasi kebijakan dan regulasi kunci, termasuk dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Pada akhirnya, korupsi perizinan di Indonesia masih sulit diberantas. Selama penguasa masih memupuk jaringan "institusi pseudo-legal" dalam pemerintahan, selama itu pula kita akan terus tersandera oleh praktik korupsi perizinan. Jaringan itu akan semakin bertambah subur dengan adanya berbagai regulasi yang menjadi nutrisi bagi mereka untuk semakin mengkooptasi perizinan dan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Air. Itulah sebabnya kita menolak berbagai regulasi yang sudah mereka kooptasi tersebut, seperti Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.