I D.G. Palguna
Mantan Hakim Konstitusi
Nemo judex in causa sua. Demikian sebuah maksim Latin yang secara harfiah berarti “tak seseorang pun dapat menjadi hakim bagi perkaranya sendiri”. Seorang hakim tidak mungkin bisa memutus suatu perkara secara adil jika ia memiliki kepentingan terhadap atau dalam perkara itu. Maksim itu kiranya tepat untuk menimbang dua permohonan pengujian, formal maupun materi, terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua permohonan tersebut sudah memasuki tahap pemeriksaan pendahuluan.
Awal September lalu, di harian ini saya menulis bahwa perubahan tersebut sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai revisi masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi (MK) serta masa jabatan hakim konstitusi. Revisi yang paling signifikan memang hanya “memberi hadiah” kepada mereka dengan masa jabatan dan/atau usia pensiun yang lebih panjang. Ini sama sekali tidak ada urusannya dengan penguatan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi dan co-arsitek yang mewujudkan Indonesia sebagai negara demokratis konstitusional. Jika permohonan pengujian terhadap undang-undang ini diajukan, sesungguhnya yang diuji adalah MK.
Dalam beberapa pekan ke depan kita akan menyaksikan bagaimana Mahkamah akan memperlakukan maksim “sakral” tadi. Pendirian MK dalam hal ini layak ditunggu mengingat MK sendiri telah secara tegas mengadopsi maksim itu sebagai bagian integral dari Sapta Karsa Hutama (SKH), yang tiada lain adalah kode etik dan perilaku hakim Konstitusi. SKH memuat tujuh prinsip, salah satunya prinsip ketakberpihakan. Dalam rincian penerapan prinsip ini, SKH menegaskan bahwa hakim konstitusi, kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan, harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena sejumlah alasan. Alasan itu adalah (a) hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak dan (b) hakim konstitusi tersebut dan/atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
Dalam konteks ini, persoalannya bukanlah apakah MK harus menolak memeriksa permohonan pengujian undang-undang itu dengan alasan menerapkan prinsip nemo judex in causa sua. Sebab, bagaimanapun, Mahkamah harus memeriksanya karena hanya MK yang memiliki kewenangan konstitusional menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dengan kata lain, jika prinsip nemo judex in causa sua diterapkan secara kaku, yang berarti MK harus menolak memeriksa permohonan pengujian tersebut, hal itu justru membuka kemungkinan diberlakukannya undang-undang yang diragukan konstitusionalitasnya.
Terlepas dari setuju atau tidak, pengesampingan prinsip ini sudah ada presedennya, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Namun, dalam kasus sekarang, persoalannya sangat berbeda karena yang menjadi titik sorot publik adalah bagaimana MK akan menguji dirinya sendiri ketika suatu undang-undang yang nyata-nyata menguntungkannya, dalam hal ini para hakimnya, diragukan konstitusionalitasnya.
Yang ditunggu masyarakat bukanlah amar putusan Mahkamah, apakah itu menolak atau mengabulkan permohonan, tapi bagaimana Mahkamah membangun argumentasi hukum dalam ratio decidendi (alasan putusan) dari putusannya untuk tiba pada amar itu. Di situlah publik akan menilai apakah kualifikasi integritas dan kapasitas hakim konstitusi yang tegas disuratkan oleh Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 akan menemukan pengejawantahannya dalam pertimbangan hukum putusan MK. Buat kesekian kalinya, kita semua, dan lebih-lebih MK, patut merenungkan sungguh-sungguh ucapan Lord Chief Justice Hewart dalam pertimbangan hukum kasus R vs Sussex Justices, ex parte McCarthy (1924): “Keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tapi juga harus terlihat ditegakkan.”