Meningkatnya risiko politik uang dalam pemilihan kepala daerah beberapa pekan lagi perlu segera diantisipasi. Menurunnya pendapatan masyarakat akibat pandemi Covid-19 disebut-sebut menyebabkan praktik pembelian suara dalam pemilihan kali ini bakal semakin rentan terjadi.
Riset Lembaga Survei Indonesia yang dirilis dua hari lalu menemukan toleransi masyarakat terhadap politik uang saat ini berpotensi naik 50-80 persen. Sinyalemen ini dibenarkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Lembaga itu bahkan telah menerima laporan dari sejumlah wilayah tentang perilaku masyarakat yang mendukung praktik politik uang. Jika hal itu dibiarkan, kualitas pilkada dan demokrasi kita bisa terus menurun.
Apalagi, skala pilkada serentak pada 9 Desember mendatang cukup masif. Perhelatan demokrasi tersebut akan berlangsung di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota madya, dengan total pemilihan mencapai 270 wilayah. Kegagalan mengantisipasi politik uang berisiko membuat calon yang benar-benar berintegritas kehilangan kesempatan untuk berkompetisi secara adil.
Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu harus bisa merumuskan tata cara pengawasan politik uang yang lebih mumpuni dibanding biasanya. Di tengah kondisi perekonomian sebagian masyarakat saat ini yang tengah terpuruk akibat pandemi Covid-19, dikhawatirkan ada tim sukses pasangan calon yang mencoba memanfaatkan situasi. Menjelang pencoblosan, gerilya para operator politik untuk membeli suara para pemilih pasti meningkat. Mustahil berharap pilkada menghasilkan pemimpin yang bersih dan anti-korupsi jika kepala daerah terpilih melalui cara kotor semacam itu.
Politik uang memang bukanlah hal baru untuk pemilihan umum di negeri ini. Lemahnya kesadaran politik warga dan buruknya kondisi ekonomi mereka saat ini tentu berperan memperparah situasi. Namun akar persoalan politik uang ada pada amburadulnya akuntabilitas serta transparansi keuangan politikus dan partai politik. Peraturan yang ada justru memberi celah bagi para kandidat ataupun partai politik pengusung untuk menyembunyikan asal muasal dana kampanye dan penggunaannya.
Bukan hanya itu. Mekanisme pengawasan dana politik yang seadanya juga membuat situasi ini semakin menjadi-jadi. Selama ini, pengawasan dari lembaga penyelenggara pemilu lebih banyak bersifat administratif semata. Laporan keuangan tim kampanye dan kandidat kepala daerah tak pernah benar-benar diaudit.
Di level partai politik pun tidak pernah ada yang terbuka mengenai asal-usul dana mereka. Sumbangan-sumbangan lebih sering diberikan di bawah tangan, melalui rekening pribadi pengurus partai. Tidak mengherankan jika dana kampanye kandidat kerap diklaim berasal dari kantong sendiri. Tak pernah ada pemeriksaan secara saksama untuk menelusuri benarkah dana itu bukan sumbangan pengusaha ataupun kelompok tertentu. Banyaknya ruang gelap terkait dengan asal dan penggunaan dana politik inilah yang membuat politik uang kian sulit diberantas.
Mungkin sudah terlambat untuk menyelamatkan pilkada Desember nanti dari politik bagi-bagi uang. Tapi masih ada harapan untuk pemilihan berikutnya jika pemerintah bergegas memperbaiki sistem akuntabilitas dana politik di negeri ini.