Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Penegakan etika di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian terpuruk ketika Dewan Pengawas KPK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada Ketua KPK Firli Bahuri pada Kamis, 24 September lalu. Firli dilaporkan ke Dewan karena menggunakan helikopter bertarif Rp 20 juta per jam menuju Baturaja, Sumatera Selatan, pada Juni lalu. Tindakan Firli itu layak dikategorikan sebagai pelanggaran berat, dan putusan yang paling tepat adalah merekomendasikan agar Firli segera mengundurkan diri sebagai Ketua KPK.
Ada argumentasi bahwa Firli menyewa helikopter itu menggunakan dana pribadinya. Walaupun menggunakan dana pribadi, hal itu juga tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kode Etik KPK, yang melarang anggotanya menunjukkan gaya hidup hedonisme. Apalagi KPK selama ini dikenal kerap menyuarakan soal nilai-nilai integritas, termasuk mengedepankan pola hidup sederhana.
Hal lain yang perlu ditelisik lebih lanjut adalah dugaan adanya pihak tertentu yang memberikan fasilitas mewah tersebut. Semestinya Dewan dapat berkoordinasi dengan Kedeputian Penindakan di lembaga antirasuah itu untuk menyelidikinya. Jika dugaan ini terbukti, Firli dapat dikenai pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang gratifikasi dengan ancaman penjara maksimal seumur hidup.
ICW memiliki empat catatan atas putusan Dewan Pengawas terhadap Firli. Pertama, Dewan tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat Deputi Penindakan. Pada 2018, ICW melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang beperkara di KPK. Berdasarkan laporan tersebut, pada September 2019, KPK mengumumkan bahwa Firli terbukti melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi berat. Ironisnya, Dewan Pengawas malah menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik.
Kedua, Dewan luput melihat tindakan Firli saat menggunakan helikopter mewah sebagai bagian dari rangkaian berbagai kontroversi yang melingkunginya, dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika akan melakukan penangkapan sampai pengembalian "paksa" Rossa Purbo Bekti. Dengan demikian, pemeriksaan Dewan hanya bersifat parsial. Semestinya rekam jejak Firli dapat dijadikan faktor pemberat sebelum Dewan menjatuhkan putusan.
Ketiga, putusan Dewan sudah barang tentu tidak akan menciptakan efek jera. Sanksi ringan itu bahkan berpotensi menjadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya dalam kasus serupa di masa mendatang. Ketentuan dalam peraturan Dewan Pengawas praktis tidak mengandung hukuman yang signifikan untuk sanksi ringan. Paling-paling hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar, atau pelatihan.
Keempat, putusan Dewan akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada KPK. Pada saat masyarakat mengharap adanya ketegasan dari Dewan Pengawas terhadap Firli, yang terlihat justru sebaliknya.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, Firli selayaknya mengambil inisiatif untuk segera mengundurkan diri. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, Undang-Undang KPK dengan tegas menyebutkan bahwa untuk menjadi pemimpin KPK harus memenuhi sejumlah syarat, termasuk tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Firli jelas tidak lagi memenuhi syarat tersebut, karena telah dua kali melanggar kode etik KPK. Kedua, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebutkan bahwa penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Dulu, banyak pihak beranggapan komposisi Dewan Pengawas yang diisi orang-orang yang berintegritas setidaknya dapat mengurangi dampak buruk berlakunya Undang-Undang KPK baru yang telah melemahkan lembaga terebut. Namun hal ini justru terbukti keliru. Lima anggota Dewan Pengawas ternyata tidak mampu menjaga tiang etika kelembagaan KPK. Apakah Dewan Pengawas sebaiknya dibubarkan saja?