JAKARTA — Pendamping mantan narapidana terorisme yang juga anggota tim Kreasi Prasasti Perdamaian, Eka Setiawan, mengusulkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperbaiki program pendampingan supaya efektif bagi perempuan. Salah satu caranya melalui perekrutan anggota tim pendamping perempuan. "Selama ini yang saya tahu seluruh anggota tim pendamping itu dari laki-laki," ujar Eka kepada Tempo, kemarin.
Eka mengemukakan bahwa perekrutan perempuan dalam tim dapat membuat proses pendampingan lebih mulus. Selama ini, pendampingan bagi eks teroris perempuan kerap terhambat faktor teknis karena mereka kerap menjaga jarak dengan laki-laki. Selain itu, perempuan dinilai lebih terbuka kepada sesamanya dibanding kepada laki-laki.
Dia menceritakan pengalamannya dalam mendampingi proses pemulihan sosial Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah. Keduanya dipenjara lantaran merencanakan penyerangan ke Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua pada 2018. Mereka baru bebas pada Januari 2021.
Guna memuluskan pendampingan, Eka menyatakan harus meminta istrinya berkomunikasi dengan Dita dan Siska. Kelancaran komunikasi dibutuhkan untuk membangun kedekatan supaya mereka semakin terbuka atas kondisinya. Tanpa hubungan yang erat, dia khawatir keduanya dapat kembali berhubungan dengan kelompok teror melalui media sosial. "Proses pendampingan ini sangat personal dan tidak bisa dilakukan secara instan," kata dia.
Polisi melakukan identifikasi dan olah TKP di lokasi bom bunuh diri Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, 28 Maret 2021. TEMPO/Iqbal Lubis
Terjadinya pengeboman di Makassar dan penembakan di Mabes Polri pada pekan lalu menambah panjang daftar keterlibatan perempuan dalam aksi teror. Menurut peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Milda Istiqomah, ada 39 perempuan yang menjadi tahanan dan narapidana terorisme selama 2000-2020. Selain jumlah yang semakin banyak, peran perempuan dalam aksi teror kian vital, dari pembawa pesan hingga menjadi pelaku bom bunuh diri.
Pengajar Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Amanah Nurish, mengatakan program deradikalisasi belum menjangkau perempuan secara efektif. Karena itu, dia mengatakan, peran perempuan dalam program deradikalisasi harus ditambah. Tak hanya sebagai staf biasa, Amanah mengatakan, kaum hawa juga harus memiliki andil yang setara dengan laki-laki dalam merumuskan strategi pemulihan sosial bagi mantan pelaku teror. "Perempuan harus dilibatkan bukan hanya sebagai anggota, tapi juga sebagai orang yang bertanggung jawab, misalnya sebagai koordinator atau direktur," kata dia.
Selain merekrut perempuan, Amanah mengatakan, BNPT harus mengadopsi pendekatan berbasis gender untuk membaca pola relasi perempuan-laki-laki dalam kelompok teror. Tanpa pendekatan ini, dia mengatakan, pemerintah akan kesulitan menyusun strategi untuk meningkatkan ketahanan perempuan dari aliran-aliran radikal.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar, mengatakan pemerintah perlu membuat strategi khusus menangani perempuan dalam program deradikalisasi. BNPT, kata dia, perlu memperluas jangkauan pendampingan di luar program deradikalisasi. Terutama, kata Al Chaidar, dalam hal menyiapkan lingkungan tempat eks narapidana terorisme tinggal. "Pemerintah tidak bisa begitu saja melepaskan mantan teroris, terutama perempuan, kembali ke masyarakat," kata dia.
Zakiah Aini sesaat sebelum melakukan aksi penembakan di Mabes Polri, Jakarta, 31 Maret 2021. Istimewa
Upaya membangun kesadaran deradikalisasi di masyarakat dapat ditempuh melalui program kontrawacana terorisme. Melalui program ini, kampanye yang digaungkan adalah praktik moderasi beragama. Chaidar mengatakan BNPT tidak bisa menerapkan program itu sendirian. Ulama dan tokoh masyarakat setempat harus diajak menjadi mitra untuk meningkatkan keterbukaan masyarakat terhadap perempuan mantan pelaku teror.
Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mengatakan lembaganya tidak dapat menjadi penentu keberhasilan program deradikalisasi bagi perempuan. Sebab, saat pelaku teror menyelesaikan masa hukumannya, dia akan kembali berinteraksi dengan masyarakat. Karena itu, koordinasi antarlembaga di pusat dan daerah sangat dibutuhkan untuk memastikan lingkungan setempat menjadi ekosistem yang kondusif dalam pemulihan pasca-penjara. "Program deradikalisasi memang tidak bisa dilakukan sendirian," kata Irfan.
Meski demikian, Irfan mengklaim BNPT telah menggandeng sejumlah psikolog untuk memantau kondisi dan menyiapkan solusi dalam program deradikalisasi bagi perempuan. Pemerintah pun menyiapkan sejumlah bantuan dana untuk menjadi bekal perempuan lebih mandiri melalui wirausaha.