Dua aksi teror yang terjadi di Makassar dan Jakarta menunjukkan betapa ganasnya penyebaran paham radikal terhadap kelompok perempuan. Kejadian berulang itu sekaligus sebagai penanda kegagalan pemerintah dalam meredam operasi kelompok pengacau merekrut kader perempuan untuk sukarela melakukan serangan bunuh diri.
Pada Ahad pekan lalu, kelompok yang ditengarai berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara biadab menjadikan perempuan bernama Yogi Safitri Fortuna sebagai eksekutor bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Ironisnya, bom laknat itu meledak pada saat umat Katolik Makassar beribadah misa Minggu Palma, yang substansinya merayakan kedamaian.
Hanya berselang tiga hari, Zakiah Aini melakukan serangan sendiri (lone wolf) di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Perempuan berusia 26 tahun itu, yang menurut polisi merupakan anggota jaringan pengikut Abu Bakar Al Bagdadi, pendiri ISIS, secara membabi buta menembak anggota kepolisian, sampai akhirnya Zakiah mati sia-sia.
Kejadian beruntun ini memperpanjang deretan keterlibatan perempuan dalam tindakan terorisme. Tiga tahun lalu, kelompok serupa menggunakan perempuan, bahkan anak-anak, sebagai pelaku bom bunuh diri yang menewaskan 13 orang. Setidaknya sekarang ini terdapat 37 perempuan narapidana karena tindakan terorisme.
Kendati jumlah perempuan yang terlibat terorisme hanya 10 persen dibanding laki-laki, tren kenaikan yang terjadi belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi pergeseran peran dalam aksi teror dari laki-laki ke perempuan semakin nyata. Mereka yang semula banyak di belakang layar, sebagai perekrut ataupun bagian dari propaganda, bergeser menjadi garda terdepan pelaku serangan bunuh diri.
Masifnya perempuan menjadi perangkat komplotan pelaku teror tak lepas dari faktor keterjajahan mereka oleh pemikiran agama yang radikal, yang didapat lewat pengajian eksklusif dan media sosial. Keterlibatan perempuan dalam terorisme ini juga dipengaruhi oleh ideologi keluarga. Sebagian dari mereka tumbuh di keluarga fundamentalis yang menihilkan hidup. Distorsi pemahaman agama memberi cara pandang bahwa dunia banyak dosa dan menjadi algojo bom bunuh diri dianggap sebagai jalan keluar terbaik.
Dengan berbagai kejadian buruk ini, sudah sepatutnya pemerintah meninjau ulang semua program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Demikian pula operasi penangkalan yang dilakukan tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri yang tak kunjung memberi hasil maksimal.
Operasi pemberantasan terorisme terbukti jalan di tempat. Pendekatan memberangus radikalisme dan terorisme yang semata-mata mengandalkan pendekatan keamanan ternyata justru kontraproduktif. Alih-alih mengikis, berbagai operasi yang menekan eksistensi lewat pendekatan yang kaku justru memicu tumbuh suburnya pelaku lain, seperti perempuan, yang tak kalah radikal. Kegiatan penanganan deradikalisasi yang selama ini berfokus pada calon dan bekas teroris laki-laki juga perlu segera direvisi. Fakta sudah menunjukkan bahwa terorisme tak lagi mengenal gender.